Pada kanvas alam Indonesia yang luas, setiap sudutnya dilukis dengan keindahan alam yang begitu memanjakan mata bagi setiap yang memandangnya. Dari warna hijau zamrud hutan tropis hingga biru cemerlang lautan, negeri ini adalah mahakarya Pencipta yang sungguh luar biasa. Namun, goresan kuas kehidupan yang pernah penuh warna kini telah memudar. Hutan yang menjadi rumah bagi harimau Sumatera kian menyempit, sementara nyanyian burung-burung endemik semakin jarang terdengar. Dari sudut-sudut lain negeri ini cerita serupa berulang, badak Jawa hingga bunga bangkai raksasa, semuanya berada di ujung tanduk menunggu giliran menjadi sekedar cerita sejarah. Seperti lukisan yang terkena kabut waktu, potret puspa dan satwa Indonesia perlahan terancam menjadi kenangan.
Kepunahan: Bayangan yang Kian Dekat
Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiverse terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Keanekaragaman hayati di pulau Kalimantan saja setara dengan benua Eropa atau Australia. Dengan hanya 1,3% dari luas daratan dunia, negeri ini menjadi rumah bagi sekitar 10% spesies tumbuhan dan 17% spesies hewan di planet ini. Pulau-pulau seperti Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Sulawesi menyimpan keunikan ekosistem yang tak ditemukan di belahan dunia lain. Namun, ironi menyayat hati. Pada realita yang terjadi, semakin kaya negeri ini maka semakin terancam keanekaragaman puspa dan satwa negeri ini.
Bayangkan komodo, sang naga purba yang hanya hidup di Kepulauan Komodo. Seiring waktu, habitat mereka menyempit akibat penggundulan hutan dan perkembangan pariwisata yang kurang terkendali. Atau, lihat orang utan Kalimantan, primata cerdas yang kini berjuang melawan ancaman kebakaran hutan dan perluasan perkebunan sawit. Pada skala yang lebih kecil, bahkan kupu-kupu endemik seperti Ornithoptera Croesus dari Maluku juga menghadapi ancaman hilangnya habitat akibat perambahan manusia.
Di bawah permukaan laut, kondisi tak kalah mengkhawatirkan. Karang-karang di Raja Ampat memudar karena perubahan iklim dan penangkapan ikan yang tak berkelanjutan. Kawasan ini dikenal sebagai "Amazon Lautan" karena kekayaan hayatinya, namun ancaman polusi dan eksploitasi laut membuatnya terancam kehilangan reputasi tersebut. Pada setiap sisi, spesies ikonik kita menghadapi ancaman eksistensial yang nyata.
Apa yang Salah?
Kepunahan massal bukan hanya cerita masa lalu. Para ilmuwan percaya bahwa kita sedang berada di tengah-tengah "Kepunahan Masal Keenam," dan kali ini penyebab utamanya adalah manusia. Deforestasi, perburuan liar, pencemaran lingkungan, dan perubahan iklim menjadi kontributor utama.
Hal ini sesuai dengan pandangan Rheza Maulana yang juga menjelaskan apabila kepunahan keberagaman hayati Indonesia disebabkan oleh perubahan iklim, deforestasi, perburuan, dan perdagangan yang imbasnya meningkatkan risiko penurunan populasi hingga kepunahan di alam.
"Dahulu satwa liar dianggap lebih dari "binatang", dihormati, disegani, diberi gelar seperti "datuk". Ada pula konsep "hutan larangan", dilarang menebang dan memburu, khawatir menimbulkan bala. Satwa liar yang tadinya dihormati dan dilindungi, kini menjadi objek untuk dimiliki dan dieksploitasi. Masyarakat yang tadinya perawat dan pelindung, kini menjadi penakluk dan perusak", ujar Rheza Maulana yang menyayangkan ulah manusia yang menjadi alasan kepunahan puspa dan satwa Indonesia.
Di Indonesia, deforestasi menjadi penyebab paling nyata. Data menunjukkan bahwa setiap menit, hutan seluas tiga lapangan sepak bola hilang untuk perkebunan, tambang, atau pembangunan infrastruktur. Padahal, hutan adalah rumah bagi ribuan spesies, termasuk banyak yang endemik. Sebagai contoh, hutan hujan tropis Sumatera adalah satu-satunya tempat di dunia di mana harimau, badak, gajah, dan orangutan hidup berdampingan. Kehilangannya berarti kehilangan spesies-spesies ini secara global.