Mohon tunggu...
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bakul Es :
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Rapor Merah yang Terselip di Antara Rapor Biru Sang Presiden Jokowi

1 Oktober 2023   22:14 Diperbarui: 2 Oktober 2023   01:26 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar: kartunmania.com

Enam dari sembilan bahan pokok itu kecukupannya harus dipenuhi dari luar negeri. Yang mengejutkan adalah ketergantungan tinggi pada impor selain beras, dimana rerata impor daging selama 11 tahun terakhir mendominasi (35%), gula (28%), garam (14%) dan susu (13%). Ini adalah rasio jumlah impor barang terhadap total nilai impor enam barang itu.

Indonesia mencatat defisit perdagangan internasional untuk buah dan sayur mayur rerata US$1,3 miliar atau sekitar Rp19 triliun per tahun dalam 11 tahun terakhir, yang terjadi akibat jumlah impor lebih banyak dari ekspor. Tampak kebutuhan akan sayur dan buah meningkat pesat, sementara kemampuan produksi lokal untuk mencukupinya rendah, sehingga neraca ekspor pun tak berkembang dalam kurun waktu itu.

Ketidakmampuan bangsa ini memanfaatkan potensi sumber daya alam, baik lahan luas dan pekerja murah juga tampak pada penyediaan kebutuhan sekunder pangan lain. Misalnya, gandum yang merupakan ingredient pokok bagi produk turunan makanan. Survei Departemen Pertanian Amerika Serikat menyebut lebih dari dua pertiga gandum diperuntukan untuk makanan manusia, sementara 20% sisanya untuk hewan. 

Ada pertumbuhan konsumsi gandum sebesar 25% dalam 15 tahun, menunjukkan betapa pentingnya gandum bagi manusia. Sayangnya, keterbatasan kualitas lahan Indonesia karena diduga tidak memadai untuk menanam gandum membuat Indonesia sangat bergantung pada negara lain. Penikmat roti dan segala macamnya sangat bergantung pada produksi gandum di Negeri Paman Sam, Rusia, Ukraina, India dan Kanada.

Tempe dan tahu sebagai makanan paling populer di masyarakat menengah ke bawah, dan bahkan di-endorse oleh Presiden Soekarno dan juga kini Presiden Joko Widodo, yakni sebagai penganan favorit, rupanya membutuhkan negara lain untuk mencukupi kebutuhannya di dalam negeri. Kedua penganan itu berbahan baku kedelai, dimana Kementerian Pertanian menyatakan produksi kedelai dalam negeri hanya mampu menutupi tak sampai 10% dari total kebutuhan nasional pada 2022. Estimasi tahun lalu produksi lokal hanya 200.315 ton, sementara kebutuhannya sebesar 2.983.511 ton.

Beras adalah komoditas pangan utama, sekaligus komoditas politis. Ketersediaannya selalu bikin gaduh ruang publik, meskipun hal ini memang wajar karena banyak yang tidak terima dengan luas daratan yang cocok untuk pertanian padi, dan buruh murah, namun produksi padi loyo. Produktivitas tanaman padi Indonesia masih jauh dari ideal, akibatnya cadangan stok beras nasional sangat bergantung pada produksi di empat negara, yakni India, Thailand, Vietnam dan Pakistan.

Hal yang sama juga terjadi pada jagung. Sebagai bahan baku industri, jagung dapat diolah menghasilkan pakan ternak, minyak, tepung jagung, gula dan turunannya. Perkembangan energi hijau juga menempatkan jagung sebagai bahan baku produksi etanol untuk bahan bakar (biofuel). Situasinya, Indonesia sudah bertahun-tahun defisit jagung. 

Analisis kinerja perdagangan jagung Indonesia tahun 2020 dari Kementerian Pertanian menunjukkan, Indonesia hanya bergantung pada impor jagung pipilan kering sebesar 2,90% (IDR-Import Dependency Ratio) dan nilai SSR (Self-Sufficiency Ratio) sebesar 97,31%. Ini menunjukkan, Indonesia sudah bisa mencukupi kebutuhan jagung dalam negeri dengan proporsi yang cukup besar dari produksi sendiri. Tapi, jagung bentuk pipilan kering Indonesia belum memiliki keunggulan komparatif.

Ketergantungan tinggi kebutuhan barang pokok, serta komoditas penunjang lainnya membuat fundamental ekonomi Indonesia rentan terhadap gejolak apapun yang terjadi di luar negeri, khususnya pada indikator inflasi. Kejadian perang Rusia-Ukraina misalnya telah membuat harga gandum melonjak, sementara cuaca buruk di India dan Thailand akan berdampak pada kenaikan harga beras. 

Merujuk pada data inflasi makanan dalam 41 bulan terakhir, Indonesia mengalami rerata kenaikan inflasi harga makanan 2,39% (inflasi kalender/year to date) per bulan dengan lonjakan tertinggi pada Juli 2022 mencapai 8%, di atas inflasi umum. Pergerakan inflasi 2022 juga membuktikan bagaimana krisis global, seperti keamanan yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina langsung memberikan dampak signifikan pada inflasi di Indonesia.

Kerentanan ketahanan pangan Indonesia dari gejolak krisis pangan dunia cukup besar, tampak pada besaran impor mayoritas sembako. Juga tampak dalam empat komoditas utama seperti beras, gandum, jagung dan kedelai yang dipublikasikan oleh The Food Security Portal. Semakin mahalnya harga-harga kebutuhan pangan di pasar internasional membuat ada konsekuensi serius terhadap fundamental ekonomi nasional. Salah satunya adalah beban berat bagi pengeluaran rumah tangga di Indonesia, yang semakin ke sini semakin terbebani oleh inflasi harga pangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun