Mohon tunggu...
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bakul Es :
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474

Selanjutnya

Tutup

Diary

Nista Damai

5 Juli 2023   15:07 Diperbarui: 6 Juli 2023   14:05 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar: cahayapengharapan.org

Entah mengapa, akhir-akhir ini alam pikiranku jadi terusik. Dan, aku kian terobsesi untuk mendalami tentang fenomena yang sedang hangat diperbincangkan lantaran viral dikonsumsi dan disaksikan oleh hampir semua kalangan. Lebih-lebih dari kalangan agamis yang bersandar pada satu agama mayoritas, bukan semuanya, yang telah dilegitimasi oleh negara.

Sesat, penistaan, penyimpangan, penodaan, bubarkan wadah lembaganya, tangkap dan penjarakan sang tokoh, serangkaian kata yang menghiasi setiap kali perbincangan itu ditayang di ruang publik, di media massa dan di media sosial apapun.

Keberadaan lembaga pendidikan berbasis agama yang begitu megah mempesona dengan tokoh sentralnya itulah yang dianggap kontroversi. 

Kontroversi? Ya, kontroversi kata mereka pada umumnya. Koq, bisa? Bisa saja. Sebab, ada yang tak lazim dari apa yang sudah menjadi kebiasaan yang telah mapan. Lho? Apakah lantaran lazim dan tak lazim, mapan dan tak mapan, sampai harus dituding menyimpang, sesat, dan lakukan penistaan dan penodaan terhadap agamanya sendiri? Selalu dalam tanya yang kucoba mencari jawabnya searif dan sebijaksana, damai tanpa gejolak yang berarti ...

"Tidak benar selain yang sudah dikaji dan telah dijalani." Boleh jadi, doktrin ini yang melekat pada diri mereka yang merasa benar, atau terlalu yakin. Bukan lantaran beningnya jiwa untuk sama-sama menggapai yang objektif ilmiah, fakta realita beriringkan data dan pembuktian yang tak terbantahkan. Sekali lagi, bukan hanya sekedar argumentasi asumsi bersimbahkan kepiawaian beretorika belaka. Bukan itu.

Kata "nista", menurut kamus adalah hina, rendah, tak enak didengar, aib, cela, noda. Itu kata kamus. Sehingga, "penistaan" adalah hal ihwal tentang hina, rendah, tak enak didengar, aib, cela, noda. Nah, apakah memang ada penanda dan gejala yang menjurus kepada semua itu, khususnya terhadap agama yang nyata mayoritas itu? Dimanakah sisi penistaannya?

Di kala agama sebagai sesuatu yang sulit didefinisikan, mengapa satu menyalahkan yang lain hanya karena beda cara pandang dan cara melaksanakan? Mengapa? Tanyaku menggelinding tak henti-henti ...

Sampailah aku pada pemahaman tentang pasal 156a KUHP, yang disebut-sebut sebagai klausul pijakan dalam menjerat seseorang tertuding dan tertuduh sebagai penista dan penoda agama.

"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia."

Sampai di sini, memang tampak jelas tentang perbuatan yang pada prinsipnya beraroma permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama yang dianut di negeri ini. Dan, ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara, bila terbukti dan bisa dibuktikan dalam persidangan di meja hijau sesuai dengan hukum positif di negeri ini.

Namun, masih ada rangkaian yang mengikuti poin (a) tersebut, yakni demikian:
"b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa."

Poin (b) tersebut tentunya tak bisa dipisahkan dengan poin (a) yang hanya menyoal seputar apa itu penodaan agama dengan segala aroma yang ditimbulkannya sebagai akibat dari perbuatan yang disangkakan terhadap barang siapa atau terhadap seseorang. Di poin (b) inilah seharusnya dicermati pula, bahwa penodaan agama atau penistaan agama dimaksud akan menjadi klop, utuh dan valid apabila nyata muaranya berakibat pada "motivasi, mendorong orang lain untuk tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang maha Esa." Kecermatan dan keseksamaan dalam mengupas permasalahan atau kasus, sudah seharusnya ditempuh agar tuduhan, sangkaan yang berkembang menjadi dakwaan, tidak menjadi pincang. Dalam artian, jangan sampai berkecenderungan subjektif, apalagi hanya karena didasari oleh like and dislike semata.

Begitu mudahnya menumpahkan kata nista dan penistaan, noda dan penodaan
Sementara, kata damai dan perdamaian antar sesama
Masih sebagai angan-angan yang tak kunjung tiba pengejawantahannya

Ada apakah kiranya?

Salam Seimbang Universal Indonesia_Nusantara ... 

*****

Kota Malang, Juli di hari kelima, Dua Ribu Dua Puluh Tiga. 

.

     

   

    

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun