Mohon tunggu...
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bakul Es :
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Polemik

23 Juni 2023   05:31 Diperbarui: 23 Juni 2023   12:43 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar: m.kumparan.com

Debat terbuka, nampaknya telah menjadi hal yang biasa, bahkan telah membudaya, begitu pikir si Jhon pada suatu ketika. Hanya untuk apa, dan demi apa? Lanjut pikiran si Jhon dalam gayutan tanya pada dirinya sendiri.

Apakah hanya untuk dan demi gagah-gagahan, agar memperoleh pengakuan bahwa diri seseorang itu adalah hebat, luar biasa yang bersuperioritas di antara selain dirinya? Begitukah yang ada dalam benak sebagian massal manusia saat ini, berseliweran di ruang publik, di media apa saja yang serba digital kekinian ini? Tiada putusnya si Jhon semburatkan tanya dalam renung pikirnya guna mencari dan memperoleh jawabnya. 

Terngianglah oleh si Jhon, mengenang dengan menengok masa lalunya, saat menjadi mahasiswa, saat kali pertama menerima ujaran sang Dosen mata kuliah Dasar-Dasar Filsafat. Bahwa filsafat itu adalah induk dari semua ilmu yang ada di dunia. Filsafat itu mengajarkan kepada manusia untuk berpikir, berucap dan bertindak dalam mencintai kebijaksanaan, tidak berat sebelah, objektif ilmiah selaras dengan nalar akal sehat manusia pada umumnya. Tabu dengan hal-hal yang irasional, tak masuk akal, apalagi serba mistis. Itulah yang bernama filsafat. Yang dalam bahasa universal adalah sebagai pandangan dan sikap hidup menurut pijakan yang diyakini sebagai kebenaran dalam   mengarungi jalannya kehidupan.

Sementara, di ranah filsafat itu sendiri, terjadi beraneka aliran dengan dasar pijakan masing-masing aliran yang diklaim sebagai kebenaran yang diyakini setelah melalui proses kontemplasi. Si Jhon pun kian bingung, karena kebenaran koq menjadi banyak menurut faham aliran masing-masing. Mulai dari aliran idealisme hingga realisme, dan naturalisme dengan pelbagai cabang varian yang terlingkup di dalamnya, kesemuanya menyatakan, inilah yang benar!

Lebih dahsyat lagi dalam kebingungan si Jhon manakala mencoba mendalami apa itu filsafat yang konon katanya adalah induknya ilmu, adalah bahwa masing-masing penganut faham aliran filsafat manakala dipertemukan pemikirannya, selalu melahirkan dan memunculkan sebuah polemik, perdebatan yang tiada habisnya. Dan, demikian itulah yang bernama kebijaksanaan yang karena cinta akan kebijaksanaan. 

Apakah si Jhon mememperoleh pencerahan yang terang benderang dalam menatap arti kehidupan nyata dengan bertitik tolak pada filsafat yang tersebut sebagai induknya ilmu dan cinta akan kebijaksanaan? Ternyata, tidak juga. Justru kebingunganlah yang diperolehnya ...

Betapa tidak? Pikir si Jhon. Kalaulah dengan berfilsafat dalam rangka mencapai sebuah kebenaran yang benar-benar dan benar, mengapa justru bermuara pada polemik, silang pendapat dan perdebatan? Lantas, kapan berujung dan dan berakhir pada kebijaksanaan, kebenaran, dan keharmonisan di antara sesama manusia?

"Saya tahu, semakin saya tahu, saya tahu bahwa saya semakin tidak tahu," begitu dalam bahasa filsafat idealisme. Lho, maksudnya apa ini? Kembali si Jhon dihantam oleh narasi yang amat retoris. Bila saja si Jhon tak berbekal logika berbahasa, kata dan makna sebuah bahasa, bukan tak mungkin si Jhon akan mengalami kebuntuan dalam berpikir yang berakibat pula menjadi stress bin linglung lantaran tak kuasa memenej sinyal-sinyal yang membingungkan dalam mengarungi dunia filsafat.

"Bisa dipahami ungkapan dalam filsafat idealisme dimaksud, saudara?" tanya sang Dosen Filsafat kepada para mahasiswa yang tengah menerima materi kuliah Dasar-Dasar Filsafat dalam suatu ruang kelas.

"Bisa, pak!" jawab si Jhon tanpa ragu-ragu sembari mengangkat tangan kanannya.

"Silakan dijelaskan, dan yang lain silakan menyimak dari apa yang akan diulas oleh kawanmu, si Jhon," kata sang Dosen.

"Ungkapan tersebut, pada galibnya adalah sederhana esensi maknanya. Hanya, bila di antara kita tak menguasai tentang kosa kata, makna kata, semantik maupun linguistik, maka kita akan terbuai oleh permainan kata dalam bahasa filsafat. Sehingga akan berujung pada kebingungan dalam memahami konteks bahasa filsafat. Inilah salah satu yang menjadikan mengapa mata kuliah filsafat dianggap sebagai momok oleh kawan-kawan mahasiswa." tandas si Jhon yang benar-benar disimak oleh para mahasiswa di ruang kelas. 

"Silakan dilanjutkan, saudara Jhon!" kata sang Dosen.

"Baik, pak, saya lanjutkan. Inti esensi dari ungkapan dimaksud adalah bahwa semakin seseorang mendalami satu disiplin ilmu, misal Fisika hingga khatam terhadap apa itu Fisika, maka seseorang itu akan sadar betapa masih banyak disiplin ilmu lainnya yang belum dipahami dan dikuasai. Misalnya, ilmu pertanian,kedokteran, hukum, sosial-politik, bahasa-sastra, teknik elektro, dan lain sebagainya. Sehingga pada saatnya, seseorang akan merasa sadar betapa dirinya menjadi bodoh, karena hanya satu disiplin ilmulah yang menjadikan dirinya disebut ahli, yakni ahli fisika. Namun, tidak sebagai ahli kedokteran dan ahli yang lainnya. Itulah Filsafat yang hanya bemain-main dan mengolah kata-kata dalam bahasa retorika belaka. Begitulah pemahaman saya, Pak. Terima kasih," ulas si Jhon.

Para mahasiswa jadi terkesima oleh ulasan si Jhon yang begitu tegas nan lugas dan gamblang dalam menanggapi salah satu narasi adagium dari Filsafat Idealisme yang dilontarkan oleh sang Dosen Filsafat. Dan, sang Dosen Filsafat yang dikenal killer itupun dibuat keki oleh si Jhon yang tak menganggap sebagai momok terhadap mata kuliah Filsat, yang dibuktikan dalam mengupas salah satu narasi dalam Filsafat Idealisme itu.

Bila memang cinta akan kebijaksanaan, mengapa harus berpolemik? Ah, filsafat sebagai pandangan dan sikap hidup yang ditularkan oleh para filsuf terdahulu dan terkini ... 

*****

Kota Malang, Juni di hari kedua puluh tiga, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun