Saat kusentil, tak dirasakan jua
Tak mau menerima, justru bangga atas apa yang telah dicapainya
Dan dinyatakan sebagai yang paling benar
Tak kepalang tanggung hingga kerahkan semua yang dimiliki
Serba materi demi melampiaskan mimpinya
Tak mau peduli terhadap apa yang telah mengasupi dirinya
Sebagai seruan pengingat
Dengan pongah menanggapinya sembari unjuk  materi melimpah yang mengitarinya
Serta kekuasaan yang telah digenggamnya
Di kala sang patron kehidupan yang diidolakan
Tak pernah sejumputpun lakukan tindak teladan acuan
Lantas mempertontonkan tindak pembenaran seperti yang dijalankan saat ini
Masih pantaskah itu dikata sebagai pengikut-pendukung dari yang diidolakannya?
Pantaskah?
Silakan saja bila itu memang itu maunya yang nyata bukan karena-Nya
Seperti sang patron sang idola kehidupan yang selalu disebut-sebut sebagai tolok ukurnya
Tersesat di jalan nan gelap, namun dianggap sebagai terang bercahayaÂ
Silakan saja!
Namun, jangan coba-coba pengaruhi aku
Apalagi mengajakku untuk menyertainya
Sang kepala batu yang selalu bernafsu melaju dan berburu
Hanya demi mencapai tujuan beralaskan sok tahu
Namun serba gagu mengharu biru
Dan, sikapku?
Hanya satu kata, biarkanlah ...
Sejarah akan menjawabnya.
*****
Kota Malang, April di hari kedua puluh dua, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H