"Adakah politik itu bijaksana dan bijaksana dalam politik, seperti pada praktiknya?" tanya sang belantik pada suatu ketika. Dan, pertanyaan itu tampaknya tertangkap oleh sang cerdik-pandai praktisi politik.
Sejurus kemudian, sang cerdik-pandai pun menuturkan fatwa politiknya dalam bahasa politis, terminologis, dan retoris. Mencoba meyepahamkan serangkai keterangan kepada sang belantik tentang apa, mengapa dan bagaimana politik dalam tataran konsepsi maupun dalam tataran implementasi.
Poltik itu kebijaksanaan, saudara ... Dan, kebijaksanaan itu selalu menggunakan akal budinya, pengalaman dan pengetahuan yang arif dalam ketajaman pikiran. Kita manusia harus melek politik, sebagaimana menurut sang aulia bahwa pada galibnya manusia itu adalah binatang yang berpolitik. suka atau tidak suka, setuju maupun tak setuju sebagai bagian dari hukum alam. Begitulah ulasannya yang diperdengarkan kepada sang belantik.
Sementara, sang belantik hanya bisa manggut-manggut, sedikit terkesima bercampur bengong. Sebab, ulasan sang cerdik-pandai itu dirasa asing yang tak begitu familiar di ranah kehidupan keseharian sang belantik, apalagi ketika harus menangkap intisari atau esensinya. Buta mata tuli telinga bagi sang belantik.
Arah dan tujuan suatu politik adalah keadilan, kesejahteraan, kemakmuran bagi keseluruhan rakyat dalam prinsip dari, oleh dan untuk rakyat dengan bingkai kedaulatan rakyat. Karenanya, kedaulatan adalah di tangan rakyat. Demokrasi, bukan demo terasi ...
Sang belantik, lambat laun tak tahan oleh nerocosnya sang cerdik-pandai mengulas politik dengan bahasa politik. Karena sang belantik merasakan seperti hanya diharapkan menjadi pendengar yang baik atas fatwa politik sang cerdik-pandai. Tak tahan!
Bila ada kedaulatan rakyat, dimanakah posisi kedaulatan Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta Segala? Tanya sang belantik tiba-tiba ...
Sang cerdik-pandai pun jadi kelabakan manakala harus menjawab dan menanggapi tanya sang belantik yang tak diduga, tak dinyana. Apalagi, tanya sang belantik diiringi oleh tanya selanjutnya, demikian ...
"Adakah fakta sejarah di sepanjang sejarah budaya dan peradaban manusia tentang tatanan hidup nan harmonis, tatanan hidup nan seimbang dalam praktik kehidupan, saling kasih-saling sayang dan saling memakmurkan di antara sesama manusia yang diletakdasarkan di atas pondasi politik?
"Kami hanya butuh kenyataan sebagai pembuktian, bukan hanya dalam kata-kata belaka, yang hanya bikin kami menjadi kian tak berdaya lantaran prinsip anda yang menjadikan politik adalah panglima dan serba segalanya."
Dan, ditutup oleh sang belantik dengan menandaskan ungkapan dan pernyataan.Â
"Bagi kami, lebih baik dagang kambing saja, dalam menyeimbangkan hidup. Memelihara, menggembala, dan memperdagangkannya. Sebab setiap hasil adalah menurut yang diusahakan oleh manusia dalam menjaga dan memelihara alam semesta demi terjaganya keseimbangan hidup dalam kehidupan yang diharapkan Tuhan semesta alam ..."
Perbincangan antara sang belantik dengan sang cerdik-pandai politik pun berakhir, tanpa titik temu atas topik yang diperbincangkan. Tentang politik dan dagang kambing dalam kenyataan pasti alam, sosial budaya dan peradaban. Politik dagang kambing, dagang kambing dalam politik yang acapkali melahirkan perilaku menghitamkambingkan urusan setiap kali bersentuhan dengan ranah politik teoritis maupun praktis.
*****
Kota Malang, Desember di hari kedua puluh lima, Dua Ribu Dua Puluh Dua.Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H