Mohon tunggu...
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bakul Es :
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Menuju Zakat Fitrah yang Tepat

24 April 2022   21:11 Diperbarui: 14 April 2023   04:58 1193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana di artikel kami sebelumnya yang berjudul "Memaknai Ibadah Puasa Ramadhan" (https://www.kompasiana.com/dyahsaskent/6251c88b3794d130706de9c2/memaknai-ibadah-puasa-ramadhan), maka artikel ini merupakan sambungannya, dimana di artikel kami dimaksud diulas bahwa Puasa sebagai Perbaikan Sistem Keseimbangan,  baik sistem keseimbangan Alam maupun keseimbangan perilaku fisik manusia. 

Hal ini menunjukkan bahwa Allah sangat mengutamakan sistem keseimbangan. Tersebut dalam QS Almulk: 3-4, yang ditegaskan bahwa semua ciptaan Allah maha seimbang sempurna, sedangkan kerusakan berupa ketimpangan di permukaan Bumi adalah akibat ulah manusia, dan hal itu sudah terjadi sejak dahulu kala. Mari kita perhatikan QS Asy-Syura:30, "Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatanmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak dari kesalahan-kesalahanmu". Inilah arti pentingnya menjaga sebuah keseimbangan. 

Semua ibadah serta hukum atau ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur'an tujuan utamanya adalah menjaga sistem keseimbangan ciptaan Allah, termasuk Ibadah Puasa sebagai bagian dari proses perbaikan keseimbangan. Perlu diketahui bahwa di akhir kegiatan Puasa ditutup dengan kegiatan Zakat, yakni Zakat Fitrah dengan membayarkan 2,5 kg beras untuk dibagikan kepada mereka yang tidak mampu. Zakat Fitrah ini merupakan kegiatan simbolis atau pembinaan diri untuk menumbuhkan semangat membersihkan atau mengeluarkan bagian harta yang bukan menjadi hak kita.

Istilah Zakat itu sendiri secara etimologis mempunyai alternatif makna, antara lain: bersih, suci, tumbuh, berkembang, subur, dan lain-lain. Sebagian besar Ulama mengartikan kata Zakat  adalah tumbuh, berkembang ataupun subur. Dan mereka mengaitkan istilah pertumbuhan dan perkembangan dengan pahala. Ketika kita membayarkan Zakat, maka pahala kita akan tumbuh subur  dan berkembang semakin banyak. Kelak di akhirat akan diklaim dan dicairkan menjadi kemewahan hidup yang berlimpah. 

Hal yang demikian itu sungguh merupakan pemikiran yang keliru, dan bukti bahwa kapitalisme telah menyusupi dan mencengkeram agama, mencetak umat Islam menjadi kapitalis-kapitalis pahala yang berupaya berperilaku baik untuk mengejar deposit pahala. Yakni, yang akan bisa dicairkan di akhirat dengan nilai yang berlipat ganda. Namun bila Zakat kita maknai sebagai suci, bersih atau mebersihkan, maka Zakat merupakan kegiatan atau program pungutan guna membersihkan harta-harta manusia. 

Makna tersebut secara gamblang telah tersebut dalam QS At-Taubah:103, "Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka. Sesungguhnya doamu itu menumbuhkan ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha mengetahui".

Dari ayat tersebut sudah sangat jelas tentang pengertian Zakat, yakni kegiatan pungutan atau pembersihan terhadap sebagian harta seseorang yang menjadi hak bagi pihak lain.

Kemudian  perlu diingat dan disadari bahwa Zakat adalah lawan dari Riba. Bila arti Zakat adalah membersihkan atau mengurangkan harta buat pihak-pihak yang lebih berhak, maka sebaliknya makna Riba justru tumbuh atau bertambah. Artinya, bahwa dengan sistem Riba harta kita menjadi tumbuh berkembang karena telah memakan hak milik harta atau pendapatan yang menjadi hak pihak-pihak lain. Dalam Hadits yang telah umum tentang pengertian Riba disebutkan sebagai berikut: "Setiap pinjaman yang mengambil keuntungan atau bunga atasnya adalah riba". 

Mayoritas Ulama membatasi hanya bunga pinjaman yang tergolong Riba, sedangkan deviden atau keuntungan investasi untuk pemilik modal, bukan Riba dan halal hukumnya. Padahal, investasi yang menghasilkan deviden, sama dengan pinjaman yang berbunga, bahkan nilai dari deviden jauh lebih besar daripada bunga bank. 

Keduanya sama-sama berisiko, yakni risiko investasi adalah kegagalan atau kerugian usaha, modal bisa berkurang bahkan sampai habis. Sedangkan pinjaman berisiko macet, dana bisa hilang atau tidak kembali. Jadi, baik pinjaman maupun investasi adalah identik, sama-sama berisiko. Sehingga investasi yang mengambil keuntungan adalah Riba, haram hukumnya menurut Al-Qur'an.

Selain investasi, jenis usaha menyewakan barang atau menyewakan tanah untuk mendapatkan keuntungan, juga identik dengan pinjaman yang berbunga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun