Mohon tunggu...
Dyah R
Dyah R Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Bagian terbaik dari kehidupan adalah bagian yang kita syukuri."

Bersama suami dan anak-anak, domisili di Jogja. Pernah belajar di Fakultas Ekonomi UNHAS. Suka membaca di waktu senggang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagaimana Menghadapi Seseorang yang Tone Deaf?

28 Agustus 2024   23:50 Diperbarui: 29 Agustus 2024   00:03 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desain oleh @yayayoyo di canva edu

Belakangan ini publik sedang ramai dengan istilah "tone deaf". Sebenarnya apakah "tone deaf" itu? Secara sederhana, "tone deaf" dapat diartikan bersikap tidak peduli dengan selain dirinya, lebih tepatnya tidak peduli dengan kondisi sosial sekitarnya.

Terkait dengan hal tersebut, saya punya pengalaman berinteraksi dengan orang yang "tone deaf". Mungkin sudah tak terhitung rasa tak nyaman yang saya rasakan tiap kali harus (terpaksa) berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang tersebut.

Sebut saja dia "Cindy". Orangtuanya, saudara-saudaranya, dan keluarga besarnya benar-benar cukup stres dengan sikap Cindy yang selalu tidak peduli. Jika di whatsapp hari ini, besok baru dibalas, atau sering juga tidak dibalas. Padahal dia jelas-jelas dalam kondisi tidak sibuk. Hampir setiap hari, Cindy tidak pernah tidur malam. Setelah subuh barulah dia tidur. Ketika ditanyai oleh teman-temannya, jawabannya galau. Teman-temannya menganggap Cindy banyak masalah di rumahnya. Ketika ditanya oleh orang rumah mengapa dia rajin begadang, jawabannya selalu "karena saya punya masalah, saya pusing". Padahal menurut keluarganya, Cindy mengisi waktu begadangnya dengan nonton drama korea atau pantengin hp terus sampai subuh.

Ketika orangtuanya masuk ICU, Cindy bisa tetap masuk kantor dengan santai! Duh, bener-bener deh kami yang tahu faktanya, sampai terheran-heran. Dia lebih memilih masuk kantor daripada izin untuk jaga menemani orangtuanya yang sedang kritis.

Kami bahkan sampai ngomong dengan keras ke Cindy "itu tuh orangtuamu di ICU lho! Kamu paham gak sih ICU itu apa? Artinya orangtuamu sedang kritis." Namun apa yang kami peroleh? Ia tidak merespon apapun. Kami hanya dicuekin. Padahal kami tahu betul orangtua Cindy sangat baik, bahkan Cindy adalah anak yang selalu dimanjakan oleh orangtuanya.

Tak cukup sampai disitu. Cindy juga sering dikritik oleh orang-orang karena gaya berpakaiannya yang kadang-kadang tidak sesuai tempat. Namun apa yang diperoleh orang-orang tersebut? Lagi-lagi hanya sikap cuek Cindy.

Banyak yang heran mengapa Cindy "tone deaf" dan se-ndableg itu? Mohon maaf mungkin kata "ndableg" agak kurang sopan, namun sepertinya itu kata yang tepat.

Hal terparah dari Cindy yaitu saat memilih kebaya wisuda, dia malah memilih baju party untuk dipakai wisuda. Entah bagaimana kelanjutan beritanya, saya kurang mengikuti. Namun mendengarnya saja, sudah cukup membuat saya terheran-heran sekaligus gemas. Tak terbayang bagaimana sabarnya kedua orangtua Cindy dan keluarga besarnya dalam menghadapi Cindy.

Secara ringkas orang yang "tone deaf" biasanya merasa dia berhak "memilih temannya". Dalam hal ini, Cindy tidak bersikap tone deaf ke 1-2 orang yang menurutnya se frekuensidengannya, yang menurutnya "mau menuruti/ mengiyakan semua kata-katanya", juga yang menurutnya di circle tersebut dia bisa jadi "pemimpin"nya.

Latar belakang lingkungan, pendidikan, pola asuh, dan banyak hal lainnya yang dialami seseorang sejak kecil hingga dewasa, turut andil dalam perkembangan kepribadian seseorang hingga akhirnya ia menjadi "tone deaf".

Tips dari saya untuk menghadapi seseorang yang "tone deaf" cuma satu, yaitu berlakulah "tone deaf" juga khusus ke orang tersebut. Jika sangat terpaksa harus intens berinteraksi dan dia tetap "tone deaf", sebaiknya dibatasi saja. Kita sebagai manusia biasa juga perlu menjaga kewarasan diri kita sendiri. Membatasi diri ke orang tersebut sudah cukup, sebab yang dapat membuatnya berubah (selain kehendak Tuhan) adalah kemauan dari dalam dirinya sendiri untuk mau peduli dengan sekitarnya, peduli dengan sosialnya. Jika dari dalam dirinya sendiri tidak ada keinginan semacam itu, maka sia-sia menaruh harapan besar padanya. Kita hanya bisa mengingatkan dan mendoakan, namun belum tentu bisa merubah apapun keputusannya terkait sesuatu hal.

Mungkin ini bukan solusi yang tepat, namun setidaknya ini yang sudah saya terapkan terhadap "Cindy" si "tone deaf" demi kesehatan mental diri saya sendiri. Jika tertarik, selamat mencoba.

:)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun