Mohon tunggu...
Dr Dyah Prawesti, SpOG, MHSM
Dr Dyah Prawesti, SpOG, MHSM Mohon Tunggu... profesional -

Bekerja sebagai Dokter Spesialis Obgyn di Hinchingbrooke Hospital, Cambridgeshire, United Kingdom. Lulus Dokter Umum dan Spesialis Obgin dari FKUI serta Master of Health Service Management dari UNSW Sydney, Australia.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

Invisible Hand

3 Januari 2014   17:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:11 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akhirnya pasien itu tiba juga di depan kamar operasi diantar oleh beberapa juniorku yang melakukan resusitasi, dan diikuti suaminya yang tampak bingung dan gugup. "Pak, saya harus operasi istri Bapak sekarang ya..!! Mungkin saya harus angkat rahimnya agar perdarahan berhenti dan istri Bapak selamat. Tapi risiko operasi ini sangat tinggi, istri Bapak bisa tidak selamat. Tolong Bapak usahakan agar komponen darah yang kami minta bisa segera didapatkan ya Pak..!!" jelasku sesegera mungkin sambil membantu tim OK memindahkan pasien itu ke brankar steril. Wajahnya bertambah pias dan dengan suara gugup dia menjawab, "Tolong istri saya ya Dokter...Tapi saya mesti cari darahnya di mana? Bayar nggak ini buat minta darahnya?" tanyanya dengan gemetar.

Ironis sekali memang sistem pelayanan kesehatan tempat ini (mungkin juga di banyak tempat lain di negara yang mengaku berperikemanusiaan dan berperikeadilan ini). Di sini, bila seseorang membutuhkan komponen darah, maka keluarga atau orang yang bertanggung jawab mengurusnyalah yang harus pergi sendiri mencari komponen darah itu ke kantor Palang Merah Indonesia setempat. Bila di kantor PMI komponen dan golongan darah yang dimaksud tidak tersedia (dan sering sekali terjadi seperti ini), maka orang itu harus mencari sendiri orang lain yang bersedia menjadi donor darah. Kerumitan itu masih ditambah biaya beberapa ratus ribu untuk setiap kantong komponen darah yang diproses.

Jadilah keahlian mengurus darah adalah skill ekstra yang harus dimiliki oleh seorang residen obgyn, profesi yang sehari-harinya selalu berhubungan dengan darah. Bila ada pasien yang membutuhkan darah, dan persediaan PMI sedang kosong, maka kami menjalankan SMS berantai meminta sejawat dengan golongan darah sama untuk menyumbangkan darah. Kami tahu seluk beluk mengurus darah di PMI agar bisa segera mendapatkan komponen darah yang diperlukan. Bahkan kami terbiasa mengambil sendiri komponen darah itu ke Bank Darah atau PMI karena bila menggunakan prosedur biasa, maka banyak pasien kami tentu mati kehabisan darah. Berharap perbaikan sistem terlalu memakan waktu, dan kebanyakan pasien kami tak memiliki cukup waktu untuk menunggu. Karenanya, segera kusuruh salah satu juniorku membantu si suami mengurus komponen darah di PMI.

"Mbak, ada tempat di ICU nggak nih? Ini post op nya pasti masuk ICU kan..." ujar sejawat residen anestesi yang bertugas sambil menyiapkan alat dan monitor untuk operasi. "Lha, mana saya tahulah, kan situ penguasa ICU..." candaku sambil memasang gaun dan sarung tangan operasiku. "Kalo ICU nya penuh gimana dong, lagian kok nerima pasien kayak begini ga konfirmasi tempat di ICU dulu sih..." sahutnya dengan ketus. Aku tertawa mendengarnya dan menjawab, "Ya ampun Bang, masak iya pasien kayak gini mau ditolak. Mau disuruh pergi kemana lagi kalo ICU penuh? Ya udah, kalo ICU penuh ga ada ventilator, nanti kami gantian deh mompa napasnya sampe pasien bangun". Dan aku tidak main-main, bukan sekali dua kali kami terpaksa tetap memasang ventilator kamar operasi atau memompa napas pasien secara manual secara bergantian karena ICU dengan ventilator penuh.

Setelah semua siap dan sejawat anestesiku memberi lampu hijau, aku segera memulai operasi dengan diasisteni kolega yang merujuk tadi dan satu juniorku. Begitu rongga perutnya kami buka, genangan darah sudah memenuhi pandangan dan sebagian besar punggung janin pasien itu sudah berada di rongga perutnya. Setelah kami lahirkan bayinya yang dalam taksiran klinisku beratnya tak kurang dari 4 kg, tampaklah robekan luas memanjang vertikal dari puncak rahim sampai mencapai leher rahim di dinding belakang rahimnya. Tempat yang tidak lazim untuk terjadi robekan uterus, dan bentuknya yang compang camping berantakan membuat kami memutuskan untuk mengangkat sekaligus rahimnya. Kami memasang klem-klem dan mengikat pembuluh darah secepat mungkin agar sumber perdarahan segera teratasi. Namun bahkan saat rahim telah terangkat, lapangan operasi masih tampak menggenang terus. Genangan yang keluar merembes tidak lagi berwarna merah darah, namun sudah berwarna merah muda encer akibat sejawat anestesiku hanya bisa menginfuskan cairan RL dan koloid yang bening karena komponen darah yang kami nantikan tak kunjung datang.

"Udah loss coagulopathy nih..." cetusku panik, menyebut salah satu kondisi ketika darah hilang terlalu banyak, termasuk komponen pembekuan darah di dalamnya, sehingga perdarahan yang terjadi akan nyaris mustahil berhenti. "Udah teratasi belum perdarahannya..?? Tensi nadinya ajrut-ajrutan terus nih, bisa arrest kalo gini terus..." desak sejawat anestesiku menambah kepanikan. Arrest, atau henti jantung, adalah hal terakhir yang aku ingin pikirkan saat itu. "Kita ligasi hipogastrika aja..!!" seruku yang langsung dietujui rekan-rekanku, untuk melakukan pengikatan pembuluh darah yang memberikan percabangan ke arah rahim. Dengan mengikat pembuluh darah itu, maka tentu perdarahan akan berhenti. Namun masalahnya, saat itu aku (yang baru naik tahap 3 jenjang pendidikanku) baru memiliki pengalaman sekali melakukan ligasi hipogastrika pada pasien obstetri, sisanya biasanya kulakukan pada operasi-operasi ginekologi, di mana struktur anatominya lebih jelas dan pasien dalam kondisi stabil. Akhirnya kami menyusuri pembuluh darah panggul berusaha mencari arteri hipogastrika kiri dan kanan untuk kami ikat. Namun karena pasien syok akibat kehilangan banyak darah, semua pembuluh darahnya kolaps dan sulit untuk ditemukan.

Yang bisa kami temukan hanya arteri iliaka komunis kiri dan kanan, lebih proksimal (hulu) dan juga memberikan cabang-cabang pembuluh darah ke organ-organ vital yang berada dari panggul sampai ujung kaki. Kalau kami mengikat pembuluh darah ini, maka tentu organ-organ tersebut bisa rusak kekurangan darah. Namun bila tidak kami ikat, maka perdarahan tidak akan berhenti. Menanti bantuan tiba dari orang yang lebih ahli hanya akan memperburuk keadaan. Perdarahan harus dihentikan sekarang juga atau pasien akan arrest. Akhirnya, kami putuskan untuk mengikat arteri iliaka komunis kanan dan kiri dengan pertimbangan menyelamatkan nyawa pasien, walaupun taruhannya pasien mungkin akan tidak lagi bisa berjalan. Tapi aku mengikatnya hanya dengan jenis benang yang dalam beberapa hari akan terserap, sehingga kuharap organ-organ itu masih bisa diselamatkan sementara komponen pembekuan darah mengambil alih tugasnya.

Begitu kami ikat kedua arteri iliaka komunis, lapangan operasi mulai terkendali, tak ada lagi rembesan-rembesan darah yang tidak jelas asalnya. Dengan lega (dan setengah takut) kututup rongga perut pasien itu. Untungnya ternyata ruangan ICU dengan ventilator tersedia, karena semua tim jagaku sudah tak ada yang sanggup lagi  memompa manual napas pasien itu akibat loading pasien yang luar biasa banyaknya malam itu. Akhirnya menjelang pagi, komponen darah yang kami tunggu datang juga.

Pagi itu dan pagi-pagi esoknya, kami menanti dengan harap-harap cemas bagaimanakah kondisi pasien itu. Ternyata dia stabil di ICU, produksi urin (kencing) baik menandakan bahwa fungsi ginjal baik walaupun mengalami shock berkepanjangan. Pada hari keempat, pasien itu sudah benar-benar sadar di ICU. Saat pertama aku menemuinya di sana, yang pertama kali kuinstruksikan padanya adalah menggerakkan ujung-ujung jari kakinya, dan ternyata semua bergerak normal. Setelah dia dipindahkan ke ruang rawat biasa dari ICU, residen yang bertugas di bangsal melaporkan padaku bahwa pasien itu bisa berjalan seperti biasa. Pada hari keenam, pasien itu bisa dipulangkan dalam keadaan baik. Jangan tanya bagaimana semua itu bisa terjadi...

Pada sebuah pengajian rutin di departemen kami, seorang Ustadz pernah bertanya pada kami semua, "Dokter, kalau Dokter melakukan operasi emergency malam-malam dan pasiennya selamat, apakah Dokter merasa bahwa berkat Dokterlah maka pasien itu hidup? Padahal Dokter sudah lelah seharian bekerja, mata sudah tidak awas, tangan sudah gemetar, dan konsentrasi sudah mengawang-awang. Apakah tidak mungkin Dokter membuat kesalahan, salah memotong pembuluh darah atau organ lain. Salah menjahit sehingga malah berdarah-darah atau organ lain rusak. Sangat mungkin kan Dok?" yang kami tanggapi dengan anggukan kepala. "Jadi, pasti ada kekuatan yang mengendalikan Dokter kan? Yang memastikan bahwa mata Dokter melihat dengan baik, tangan Dokter bekerja dengan baik, agar pasien itu selamat?" lanjut sang Ustadz yang lagi-lagi kami jawab dengan mengangguk-angguk. "Maka sama sekali kita tak pantas untuk sombong, karena kita ini hanya perantara. Tugas kita hanya berusaha, kemudian berdoa. Hasil dan keputusan itu bukan urusan dan hak kita...".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun