Mohon tunggu...
Dr Dyah Prawesti, SpOG, MHSM
Dr Dyah Prawesti, SpOG, MHSM Mohon Tunggu... profesional -

Bekerja sebagai Dokter Spesialis Obgyn di Hinchingbrooke Hospital, Cambridgeshire, United Kingdom. Lulus Dokter Umum dan Spesialis Obgin dari FKUI serta Master of Health Service Management dari UNSW Sydney, Australia.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

Invisible Hand

3 Januari 2014   17:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:11 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Gimana istri saya Dok, udah baikan kan..?! Saya mau ketemu dong sekarang...Saya sudah lihat bayi saya, cantik banget..., hidung dan bibirnya persis istri saya Dok, nah kalo mata dan jidatnya, itu dari saya Dok...". Rasanya jantungku berhenti berdegup mendengar celotehan suaminya itu. Tak tega rasannya mennyampaikan berita kematian istrinya di tengah kebahagiaannya mendapatkan seorang buah hati. Namun dengan mengingat bahwa di tangan sang Pemilik nyawalah kematian dan kehidupan ini ada, maka dengan menggertakkan  gerahamku kata-kata itu mengalir, terdengar begitu dingin di telingaku sendiri.

"Selamat ya Pak atas kelahiran putrinya...!! Iya, saya tahu putri Bapak cantik sekali, mirip sama ibunya, karena tadi saya juga membantu proses persalinannya... Tapi kemudian ada komplikasi persalinan yang sangat tidak diharapkan terjadi Pak...Kejadian ini sangat jarang terjadi...bla bla bla....".

Kata-kataku semakin lama semakin terasa mendengung di telingaku sendiri, seiring dengan air muka si suami yang berubah mendengar penjelasanku. Air muka sedih, yang kemudian berganti marah... Butuh waktu berjam-jam untukku menenangkan sang suami dan meminta maaf bahwa meskipun kami sudah mengusahakan yang terbaik, namun keputusan akhirnya bukan di tangan kami.

Menerapkan konsep bahwa mengusahakan yang terbaik, kemudian menyerahkan hasilnya pada yang berhak memutuskan menurutku adalah suatu keharusan bagi seorang dokter bila dirinya tidak ingin menjadi gila atau berputus asa dalam menangani pasien-pasiennya. Faktanya, ada begitu banyak hal yang tidak diketahui dan berada di luar kontrol manusia, termasuk seorang dokter (meskipun sudah ditraining berpuluh-puluh tahun). Segala teori dan konsep yang ada di literatur, mungkin hanya secuil pengetahuan yang bisa didapat manusia. Sisanya, yang mungkin masih seluas lautan itu, masih teka-teki dan misteri.

Beberapa hari berselang setelah kejadian pulmonary embolism itu, seorang bidan di kamar bersalin menyarankan agar tim stase kami mengadakan tirakatan. Pasalnya, pasien-pasien di bulan kami stase ini begitu membanjir dan dengan kasus yang aneh-aneh. Mungkin terdengar klenik, dan nyerempet (atau bahkan memang termasuk perbuatan) syirik, tapi memang begitulah "budaya setempat". Aku tak tahu siapa yang mengawali dulunya, namun bila ada tim stase atau residen yang bila bertugas selalu banyak pasien, atau kasus-kasus yang datang sulit dan berdarah-darah, biasanya akan digelari "pembawa pasien". Rekan satu tim yang akan bertugas dengannya juga akan selalu berpesan (yang sekedar candaan) untuk mandi kembang tujuh rupa dulu sebelum jaga. Tapi kurasa toh tak ada yang mengerjakannya, bisa sempat mandi sebelum mulai bertugas jaga malam itu hanya ada dalam mimpi. Aku juga digelari "pembawa pasien" dan biasanya rekan-rekan satu tim segan bertugas bersamaku karena  kasus-kasus aneh banyak datang di jam-jam jagaku. Tapi aku tak begitu ambil peduli. Aku selalu menjawab, mudah-mudahan bila berpraktik kelak pasienku juga banyak...Dan kasus-kasus sulit serta aneh adalah bahan belajar yang menarik.

Aku sudah menghabiskan waktu setengah malam itu di kamar operasi melakukan seksio sesarea yang antriannya sudah menyaingi antrian sembako operasi pasar. Bahkan para petugas di kamar operasi sudah mulai berkeluh kesah, "Ya ampuuuunnn Dok, kok gak abis-abis sih pasien yang seksio...kenapa ga dilahirin normal aja sihhhh...capek dan ngantuk banget nih kita...". "Gedubrak", pikirku dalam hati... "Kalo bisa dilahirin normal ya ngapain juga saya seksio booosss...nambah-nambahin kerjaan ajaaa, dibayar juga kagak...!!!" jawabku santai. "Buka OK (kamar operasi) sebelah juga yuukkk, biar cepet kelar nih antrian...Masih empat lagi tuh yang mau seksio. Ntar kalo udah kelar kan kita bisa makan roti bakar, indomie, sama jeruk panas rame-rame..." rayuku pada para petugas di kamar operasi. Padahal, saat itu kami sudah memakai 2 kamar operasi. Roti bakar, indomie, dan jeruk panas (aku tak minum kopi, untuk residen yang harus selalu terjaga 24 jam dalam sehari itu adalah hal aneh di mata para kolegaku) dari warkop depan IGD adalah hiburan kami di tengah malam, ganjal perut sekaligus mata agar tetap bisa melayani pasien. "Dokter yang traktir niiihhh...??" seru mereka bersemangat. "Beresss..." jawabku sambil mengerlingkan mata pada asisten operasiku.

"Jahit kulitnya yang rapi ya..." pesanku pada juniorku yang menjadi asisten operasi tadi sambil melepaskan sarung tangan dan jubah operasiku. Niatku ingin meluruskan kaki dan punggung beberapa saat tidak kesampaian karena seorang perawat OK sudah menyodorkan gagang telpon, "telpon dari kamar bersalin Dok," terangnya sambil menyambung setengah mengomel, "Emang kita ga boleh istirahat bentar ya, masak ngirim pasien buat seksio ga ada berhentinya sejak sore...". Aku hanya nyengir menanggapi omelannya sambil mengambil gagang telpon. "Mbak..!! Pasien suspek ruptur uteri nihhh...Pasiennya syok dan janin IUFD..." belum sempat aku mengucap sepatah kata, orang di seberang telpon sudah nyerocos dengan nada panik.

Singkat cerita, pasien yang dilaporkan oleh rekan jaga malamku tadi adalah seorang perempuan berusia 30 tahun, dirujuk oleh kolegaku yang telah selesai pendidikan. Pasien itu sedang hamil kedua, cukup bulan, dan sudah masuk proses persalinan sejak pagi hari tadi. Seorang paraji (dukun bersalin) sedianya akan menolong dia bersalin di rumahnya, di daerah pelosok provinsi sekitar 30 km dari rumah sakit ini. Namun ternyata persalinannya macet dan terpaksa sang paraji merujuknya ke sebuah tempat bidan praktek swasta di kota. Tidak jelas apa saja yang telah dikerjakan oleh paraji itu sebelum merujuk si pasien. Kebetulan kolegaku ini sedang berpraktek sore di situ, dan dia diminta tolong oleh bidan yang dirujuk tadi untuk membantu melahirkan si bayi.

Begitu kolegaku memeriksa si pasien di tempat bidan itu, dia curiga dengan bentuk perutnya yang aneh, dan kondisi pasien yang tampak sesak dan kesadarannya mulai terganggu. Tidak ditemukan denyut jantung janin dan walaupun pembukaannya lengkap, namun kepala janin masih tinggi, tidak masuk ke pintu atas panggul. Karena mesin USG di tempat bidan itu sedang rusak, kolegaku tidak dapat melakukan pemeriksaan lanjutan. Namun dia curiga telah terjadi ruptura uteri, yaitu robeknya dinding rahim dengan janin di dalamnya, yang menyebabkan perdarahan hebat di dalam perut, dan mengakibatkan kematian janin. Kematian ibu pun bisa terjadi dalam hitungan menit akibat kehabisan darah. Karena terbatasnya dana si suami, maka akhirnya kolegaku memutuskan untuk membawanya ke satu-satunya rumah sakit pemerintah di kota ini.

"Sedia darah ya, minta 1000 cc PRC (packed red cell/sel darah merah), dan 500 cc FFP (fresh frozen plasma, bagian plasma darah yang kaya akan faktor pembekuan darah)..." pesanku pada juniorku sebelum meminta pasien itu dikirim ke kamar operasi secepatnya karena kondisi hemodinamiknya yang semakin memburuk. Pasti perdarahan hebat terjadi, dan sumber perdarahan harus segera diatasi dengan operasi. Darah yang keluar harus segera digantikan juga, dan faktor pembekuan darah menjadi vital untuk membantu menghentikan perdarahan yang terjadi.

Aku menanti pasien itu di pintu utama kamar operasi setelah meminta tim OK menyiapkan satu kamar untuk operasi emergency ini. Aku jelaskan kondisi pasien pada sejawat anestesi yang bertugas saat itu, dan bahwa aku tak mungkin menunggu komponen darah datang dulu untuk melakukan operasi, karena perdarahan berjalan terus bila aku tak melakukan sesuatu. Kami harus bersiap dengan skenario terburuk, pasien bisa mati di atas meja operasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun