Mohon tunggu...
Dr Dyah Prawesti, SpOG, MHSM
Dr Dyah Prawesti, SpOG, MHSM Mohon Tunggu... profesional -

Bekerja sebagai Dokter Spesialis Obgyn di Hinchingbrooke Hospital, Cambridgeshire, United Kingdom. Lulus Dokter Umum dan Spesialis Obgin dari FKUI serta Master of Health Service Management dari UNSW Sydney, Australia.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

Invisible Hand

3 Januari 2014   17:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:11 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika si suami pasien datang, dengan berempati mendalam aku jelaskan kondisi kehamilan si istri, bahwa saat ini janinnya sudah meninggal di dalam rahim dan sebaiknya segera dilahirkan. Tangis dan isakan pasien itu semakin keras dan suaminya pun tak berdaya menenangkannya. Akhirnya, aku memberi isyarat untuk mengajak si suami keluar ruangan, dan meminta ibu pasien menemani dan menenangkannya di dalam (dari pengalamanku, umumnya cara itu lebih ampuh untuk menenangkan seorang perempuan).

Begitu menutup pintu, keluarlah pertanyaan yang dari tadi kunanti-nanti dari mulut si suami, "Kok bisa mendadak meninggal di dalam rahim, Dok? Istri saya sehat-sehat saja, juga rajin periksa hamil. Kata bu Bidan juga semua normal-normal saja. Kan aneh Dok, tiba-tiba gitu aja meninggal..?!". Hati kecilku spontan menjawab, "Wah, sama Pak pertanyaannya sama saya, saya juga bingung...". Namun untunglah otakku masih bisa mengendalikan mulutku untuk kemudian menjawab dan menjelaskan berbagai kondisi yang memungkinkan terjadinya sudden IUFD, seperti kehamilan lewat waktu, diabetes gestasional, kelainan imunologi, dan masih banyak lagi. Tapi semua sekedar kemungkinan, karena toh tidak ada data yang menunjang, dan untuk mengumpulkan semua data itu tentu memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Bila memungkinkan, maka autopsi pada jenasah bayinya setelah dilahirkan akan bisa juga memberi petunjuk penyebab kematiannya, namun tentu tidak ada orang tua di Indonesia yang mengijinkan jenazah bayinya diautopsi. Di beberapa negara, pemeriksaan autopsi pada kasus seperti ini bisa dilakukan walaupun keluarga tidak menyetujui. Walaupun terkesan tidak manusiawi, namun pelajaran yang diambil bisa menambah pengetahuan dan pemahaman kemudian. Anyway, untunglah si suami tidak mengenal kata idiotpatik, karena toh akhirnya dia cukup puas dengan "kuliah"ku walaupun aku tidak menyimpulkan dan menjawab pertanyaannya secara eksplisit.

"Bisa kejadian lagi ga Dok, kalo misalnya nanti istri saya hamil lagi..?" terusnya. Sebenarnya hatiku ingin menjawab, "Kalo ditanya bisa ato enggak, ya jawabannya bisa-bisa aja... Lha sekarang penyebabnya pun tak diketahui. Lagian saya ini Dokter, bukan peramal atau Tuhan...". Untunglah otak profesionalku sebagai dokter mengintruksikan mulutku menjawab dengan penuh empati, "Menurut kepustakaan sih Pak, kemungkinan kejadian seperti ini berulang sekitar 0,5 persen, kecil namun tetap ada kemungkinan. Nanti kalau ibu hamil lagi, sebaiknya kontrol dengan dokter kandungan di rumah sakit ya Pak. Supaya fasilitasnya lebih lengkap untuk memantau dan melakukan berbagai pemeriksaan dan kejadian ini bisa sedapat mungkin dihindari...". Si suami manggut-manggut mendengar penjelasanku. Bahkan bila semua protokol screening pemeriksaan kehamilan dan manajemen kehamilan terpadu dikerjakan seperti di berbagai negara maju pun, kejadian unexplained IUFD ini tetap sebesar 1 persen. At least, aku bukan satu-satunya dokter bodoh di dunia...

Seni menjelaskan suatu kondisi kepada pasien dan keluarganya memang ilmu tersulit dalam dunia kedokteran. Bayangkan, berbagai pengetahuan dan ilmu yang oleh seorang dokter harus ditimba bertahun-tahun (kebanyakan dalam bahasa Latin pula), harus bisa disarikan dan dijelaskan kepada seorang pasien dan/keluarganya dalam 10 menit dengan bahasa awam yang mudah dimengerti. Tak heran, banyak yang beranggapan bahwa parameter kesuksesan seorang dokter bukan terletak pada keahliannya menegakkan diagnosis, terapi sesuai, atau skill operasinya. Tapi justru terletak pada kemampuannya berkomunikasi dengan para pasiennya. Betapa tidak, berdasarkan kenyataan yang ada, rahasia ilmu kedokteran itu baru secuil yang  bisa dibongkar. Artinya, kebanyakan jawaban dari pertanyaan manusia tentu adalah "belum diketahui sampai saat ini", atau "masih sedang dalam penelitian", atau ya "idiopatik" sebagai kalimat penghalus dari "saya tidak tahu". Bayangkan, betapa merasa ruginya seorang pasien bila berobat pada seorang dokter yang bila ditanya kemudian menjawab dengan entengnya "saya tidak tahu". Terutama di Indonesia, kurasa itu adalah jawaban yang unacceptable.

Seperti kasus yang kutemui kali ini di sebuah rumah sakit jejaring pendidikanku kategori rural hospital. Mungkin ini satu-satunya rumah sakit negeri di kota atau provinsi ini, sehingga setiap detiknya, limpahan pasien tak ubahnya seperti air bah. Karena rumah sakit negeri, maka di sini tidak ada pasien yang ditolak karena tidak mempunyai uang atau karena bed ruang rawat dan kamar bersalin penuh. Bed penuh bukan masalah, para pasien yang datang dari berbagai penjuru itu tak keberatan tidur di atas folding bed seperti di tenda tentara. Bila folding bed pun sudah penuh terisi, maka tikar menjadi alternatif terakhir.  Suasana di kamar bersalin kurasa mirip seperti kamp pengungsi tsunami dengan tak kurang dari 50 ibu hamil atau pasca persalinan menjadi penghuninya. Bedanya adalah, mungkin setiap beberapa menit akan terdengar tangisan bayi baru lahir ditingkahi jerit kesakitan karena mules atau seruan-seruan panik para petugas medis yang kelelahan karena pekerjaan yang tiada akhirnya...

Bertugas di rumah sakit ini selalu menyisakan kesan istimewa tersendiri. Loading pasien yang terkadang (selalu sih sebenarnya) di luar akal, justru marangsang produksi adrenalin tetap tinggi dan jantung berdegup kencang. Sudah menjadi permakluman di antara kami residen obgyn, pasien-pasien yang datang ke rumah sakit ini membawa kasus yang tidak biasa. Bahkan kasus persalinan normal tanpa penyulit pun, bisa menjadi kasus sulit yang membawa tim jaga menuju meja audit dan terancam mendapat hukuman.

Sore itu kami sedang melakukan operan jaga di kamar bersalin. Ada beberapa pasien yang sedang in partu (dalam proses persalinan) dan ditargetkan mereka akan melahirkan bayi-bayinya malam itu. Setelah melakukan ronde dan melaporkan semua kondisi pasien pada konsulen jaga malam itu, aku menemani seorang juniorku membantu persalinan seorang perempuan. Perjalanan persalinannya lancar, bayi lahir normal dan langsung menangis, tampak sehat dan bugar. Si bayi kemudian ditangani oleh sejawat dari Perinatologi untuk ditimbang dan diukur, kemudian ditunjukkan pada si ayah (waktu itu IMD belum diberlakukan dan si ayah tidak boleh menemani istrinya melahirkan karena ruangan yang ekstra penuh).

"Selamat ya Bu...bayinya perempuan, cantik dan sehat...!!" seruku pada si pasien. Dia hanya tersenyum sambil terengah-engah dan memintaku untuk menyodorkan sebotol air mineral di meja samping tempat tidurnya. "Plasenta lahir lengkap, Mbak...Kontraksi uterus baik, perdarahan tidak aktif, dan ruptur perineum grade 2...Tanda vital stabil..!!" lapor juniorku yang membantu persalinannya itu. "Okay, lanjut perineorafi ya..." instruksiku padanya untuk menjahit luka di jalan lahir pasien itu. Kemudian aku berpaling pada si pasien, "Selamat sekali lagi ya Bu, seterusnya dijahit sama Dokter itu ya, dan nanti ibu ditensi sama mbak Bidan yang ini yaa... Saya mau periksa pasien yang lain dulu.."pamitku padanya. "Makasih banyak ya Dok..." jawabnya sambil tersenyum.

Belum tiga menit aku meninggalkan ruangan pasien itu untuk memeriksa pasien di sebelahnya, juniorku tiba-tiba berteriak... "Mbaaaakkkk...pasiennya apneuuu...!!!". Sontak aku melompat kembali ke ruangan pasien tadi yang hanya dibatasi oleh dinding teriplek dengan ruangan tempatku berada saat itu. "Ambil set resusitasi di depan..!!" seruku pada seorang siswa bidan yang tampak mematung pucat pasi menyaksikan seorang pasien tiba-tiba sesak dan tersengal-sengal di depan matanya. "Pasang monitor, panggil residen anestesi untuk evaluasi dan back up ICU..." instruksiku pada 2 juniorku yang lain. "Tensi tak terukur, Mbak...nadi 40x/m lemah, nafas gasping 6x/m, kontraksi uterus baik, tidak ada perdarahan aktif, saya belum selesai jahit perineum...". "Siapkan set intubasi..!!" seruku sambil memasang sarung tangan. Pasien itu segera kami intubasi dan pompakan nafas, dan seorang juniorku melakukan kompresi dada karena nadinya semakin melemah. Berampul-ampul adrenalin kami injeksikan, namun hasilnya tidak seperti yang kami harapkan. Lima belas menit kami melakukan resusitasi jantung paru, layar monitor menunjukkan flat nya aktivitas jantung, dan kedua pupil pasien itu berdilatasi maksimal.

Dengan berat hati aku terpaksa meminta resusitasi dihentikan. Semua yang hadir di ruangan itu tampak terkejut, cemas, dan ketakutan, tak terkecuali diriku sendiri. "Waktu kematian, 19.08..." kataku lirih sambil memberi isyarat agar semua alat monitor dan jarum yang terpasang pada jenazah pasien itu dilepaskan. Kejadian seperti ini bagai mimpi buruk bagi dokter obgyn seperti kami. Kasus yang seharusnya hanya kami baca di jurnal case report saja karena insidensinya yang hanya 1,1 setiap 100.000 kelahiran dan dengan prognosis sangat buruk. Pulmonary embolism (emboli paru), itulah yang terlintas di kepalaku saat itu sebagai penyebab tragedi ini, pembunuh ibu melahirkan nomor satu di negara-negara maju di mana masalah perdarahan dan infeksi sudah hilang dari daftar mereka. Namun lagi-lagi, tanpa autopsi, tidak mungkin kecurigaanku dibuktikan. Jangankan meminta ijin untuk autopsi pada suaminya, harus menjelaskan bahwa istrinya meninggal tiba-tiba saja sudah membuat kedua kakiku lemas.

Akhirnya setelah jenazah pasien itu dirapikan, aku memanggil sang suami ke depan ruangan. Sengaja tak kuajak masuk dulu, karena dia belum diberi tahu bahwa istrinya meninggal. Salah satu juniorku hanya sempat memberi tahu sang suami bahwa kondisi istrinya tiba-tiba memburuk tadi, dan kami sedang melakukan yang terbaik untuk menolongnya. Berdiri di posisiku sekarang adalah kondisi yang paling tidak mengenakkan sebagai dokter. Menyampaikan berita buruk, kemudian mengantisipasi reaksinya adalah tugas yang sama sekali tidak mudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun