Kata orang, menjadi dokter adalah pekerjaan mulia
Kata orang, menjadi dokter itu harus menyediakan ekstra kesabaran dan empati untuk pasien
Kata orang, menjadi dokter itu berat, sekolahnya lama dan susah, profesi tak kenal jam kerja
Menurutku, menjadi dokter itu sekedar membentangkan batas kemampuan manusia, kemudian menunduk mengakui kehebatan Sang Pencipta
Aku masih ingat jawaban naifku dulu bila orang bertanya mengapa aku memilih obstetri dan ginekologi ketika aku berkesempatan melanjutkan pendidikan spesialis. Jawaban yang tetap sama sejak aku duduk di sekolah menengah, mungkin juga jawaban banyak dokter perempuan yang berada di posisiku. Perempuan tentu lebih nyaman bila diperiksa oleh dokter kandungan perempuan, dan menolong persalinan bayi untuk lahir ke muka bumi adalah pekerjaan paling menakjubkan. Terdengar seperti satu profesi yang selalu penuh cerita bahagia bukan? Walaupun sekarang aku tahu bahwa jawaban itu hanya mendeskripsikan secuil kehidupan seorang dokter obstetri dan ginekologi, namun aku tak pernah menyesal memilih bidang ini. Walau tak semua kisah di sini berakhir bahagia (dalam ukuran manusia), setidaknya semua itu (kuharap) membuatku semakin dewasa. Dan yang lebih penting lagi, aku selalu diberi kesempatan untuk merasa bodoh dan tak berdaya dibanding kuasa Sang Pemilik jagat raya...
Beberapa dasawarsa terakhir ini, dunia ilmu pengetahuan, dalam hal ini dunia kedokteran dan cabang lain yang mendukungnya begitu dihebohkan dengan berbagai penemuan dan pemahaman baru yang diyakini akan banyak mengubah konsep dan doktrin kolot sebelumnya. Sebut saja seperti pemahaman tentang sel punca (stem cell) yang dulunya diyakini bahwa hanya sel-sel tertentu saja yang memiliki sifat pluripoten, namun belakangan dibantah dan dibuktikan bahwa sel-sel matur pun ternyata memiliki potensi untuk berdiferensiasi menuju sel lainnya. Sebagai seorang klinisi (orang yang berusaha menerjemahkan berbagai jurnal ilmiah dengan rentetan terminologi statistik dan biologi njelimet untuk kemudian menerapkannya pada seorang pasien) maka aku lebih banyak menanti manfaat berbagai high tech research miliaran dollar itu agar pasienku bisa hidup, atau menikmati kualitas hidup yang layak. Kalau boleh meminta jalan pintas, aku sebagai klinisi lebih suka guidelines dan standar operating procedure (SOP) ketika menangani pasien dibanding disodori setumpuk jurnal ilmiah yang membahas detail patofisiologi biomelokular, karena begitu selesai membaca jurnal itu, hanya membuatku tambah pening dan tindakan apa yang harus kulakukan terhadap pasienku pun tak kudapatkan jawabannya. Itulah manusia, terbatas sekali kemampuannya. Bahkan untuk urusan kondisi dan penyakit di dalam tubuhnya sendiri pun, mesti berbagi tugas dengan banyak orang. Ada yang bertugas mempelajari dan memahami semua proses di tingkat biomolekular dan selular, baik di laboratorium maupun in vitro. Ada yang bertugas menerjemahkan hasil riset mereka agar berguna bagi para klinisi (yang konon kabarnya sering tertidur saat kuliah subjek-subjek tersebut di masa pendidikannya). Dan tentu ada klinisi, ujung tombak yang ditemui para pasien yang menderita penyakit agar mendapatkan terapi sesuai dengan perkembangan ilmu terkini. Klinisi pun harus berbagi tugas karena ternyata tubuh manusia itu terlalu besar (mungkin terlalu kompleks tepatnya), ada spesialis mata, telinga hidung tenggorokan, penyakit dalam, kulit kelamin, obstetri dan ginekologi, dan seterusnya dan seterusnya...
Fakta menarik yang kucermati dari kaca mata klinisi sepertiku, walaupun umat manusia mengklaim bahwa sekarang ilmu kedokteran begitu maju (dan bahwa setiap tahunnya ada orang menerima hadiah Nobel untuk bidang kedokteran), kata idiopatik masih banyak ditemui di berbagai literatur kedokteran. Menurut asalnya, kata idiopatik ini berasal dari bahasa Yunani yang kurang lebih terjemahan harfiahnya adalah kondisi atau penyakit yang tidak diketahui penyebabnya. Beberapa orang menjadikan kata ini sebagai pelesetan; idiotpatik, dengan maksud dokternyalah yang idiot sehingga tidak dapat menjelaskan kepada pasien mengenai penyebab kondisi atau penyakitnya. Well, idiot atau tidak, begitulah kenyataannya, tidak semua bisa dijelaskan...
Pagi itu ada sesuatu yang berbeda untukku dan tim stase IGD (instalasi gawat darurat). Kami berkesempatan untuk menikmati sarapan bersama di meja makan karena loadingpasien tidak begitu banyak dan semua nampak aman. Untuk kami yang memulai hari pukul 4 pagi, dan tidak keluar sebelum matahari tenggelam di malam harinya, maka menikmati kursi dan bubur ayam hangat adalah "sesuatu bangeeettt...". Walaupun suasana terkesan aman terkendali, namun level waspada dan alertness harus tetap tinggi karena ini adalah IGD, dan pasien-pasien yang datang kemari adalah mereka yang berisiko tinggi. Karenanya, setelah menandaskan bubur ayamku, segera aku memulai "patroli" dan mengawasi junior-juniorku menatalaksana pasien-pasien yang ada. "Mbak, ada pasien baru di depan..!!" seru seorang juniorku yang bertugas menerima pasien-pasien baru.
Saat aku memasuki ruang periksa akut (tempat memeriksa pasien baru di IGD), ada pemandangan tak lazim yang sedang terjadi. Seorang perempuan paruh baya berseragam serba putih mendampingi seorang perempuan berusia sekitar 25 tahun dengan perut jelas membuncit yang menangis terisak-isak. Umumnya, bila perempuan hamil akan melahirkan merasakan nyeri mules, maka dia akan menangis menjerit-jerit atau melolong, bukan terisak-isak. Tanpa diminta, perempuan paruh baya yang ternyata seorang bidan dari Puskesmas setempat menjelaskan pemandangan itu, "Dok, kasus IUFD ini..."katanya dengan suara lirih sambil menyerahkan buku periksa hamil pasien itu. IUFD (intra uterine fetal death) atau kematian janin di dalam rahim cukup menjadi penjelasan buatku mengapa pasien itu menangis terisak-isak, apalagi ini adalah kehamilan pertamanya.
Setelah memastikan bahwa kondisi pasien stabil dan tidak ada keadaan yang mengancam nyawa, maka barulah aku mewawancarai Bidan dan pasien tersebut. Menurut mereka, perjalanan kehamilan selama ini lancar dan tidak ada penyulit. Hanya saja, si pasien tidak ingat tepatnya kapan dia mendapat haid terakhir sebelum hamil. Dia juga tidak melakukan pemeriksaan USG di masa-masa awal kehamilannya untuk menentukan secara akurat usia kehamilannya karena alasan biaya. Bidan tersebut menambahkan, "mestinya sih sekarang sudah cukup bulan Dok, taksiran klinis saya beratnya sekitar 3,5 kiloan.."
Hasil pemeriksaanku dengan USG membuktikan memang tidak ada aktivitas jantung janin yang terekam. Namun selain itu, semua terkesan normal. Plasenta baik, air ketubannya cukup, tak tampak ada kelainan struktur anatomi, dan taksiran beratnya sekitar 3700 gram dan memang sesuai untuk kehamilan cukup bulan (meskipun tidak dapat mengeksklusi apakah ini suatu kehamilan lewat bulan). Sayangnya, selain data tekanan darah yang normal dari 5x pemeriksaan kehamilan sebelumnya, pasien itu tak memiliki data-data lainnya untuk dieksplorasi sebagai penyebab kematian mendadak si janin yang menurut pasien malam sebelumnya masih terasa bergerak dan menendang.