makroprudensial. Kebijakan ini memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas sektor keuangan yang sangat vital untuk keberlangsungan ekonomi nasional.
Jember, 17 November 2024 - Pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak awal tahun 2020 sangat berdampak pada perekonomian global. Krisis ini tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga mengguncang stabilitas sistem keuangan dan perekonomian di berbagai negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang menghadapi tantangan berat dalam menjaga keseimbangan antara melindungi kesehatan masyarakat atau mendukung pemulihan ekonomi nasional. Berbagai kebijakan dilakukan oleh pemerintah untuk menghadapi krisis yang disebabkan oleh Pandemi COVID-19, salah satunya adalah kebijakanKebijakan makroprudensial mengacu pada serangkaian kebijakan yang dirancang untuk memastikan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan dan bukan hanya pada stabilitas individu lembaga keuangan. Fokus utamanya adalah untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan sistemik yang dapat menimbulkan krisis finansial. Kebijakan ini mencakup pengaturan terhadap risiko-risiko yang bisa mengancam kestabilan sektor keuangan, seperti risiko likuiditas, risiko kredit, dan risiko pasar.
Tujuan dari kebijakan makroprudensial adalah untuk mengurangi risiko sistemik yang dapat membahayakan stabilitas ekonomi. Kebijakan ini menjadi sangat penting terutama saat terjadi gejolak ekonomi global seperti yang terlihat pada masa pandemi COVID-19. Dengan meningkatkan ketahanan sektor keuangan, kebijakan makroprudensial dapat meminimalkan dampak negatif terhadap perekonomian termasuk penurunan tajam dalam aktivitas ekonomi, lonjakan pengangguran, dan kerugian besar bagi lembaga-lembaga keuangan.
Pandemi COVID-19 membawa dampak yang luar biasa terhadap sektor keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Krisis likuiditas, penurunan nilai aset, serta peningkatan ketidakpastian ekonomi memicu gelombang volatilitas yang tinggi di pasar keuangan global. Di Indonesia, sektor perbankan menghadapi peningkatan kredit macet akibat dampak ekonomi yang meluas terutama di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Sektor UMKM menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap krisis likuiditas sebab berdampak pada ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada lembaga perbankan. Sebagai akibatnya, perbankan terpaksa menghadapi lonjakan kredit macet (Non-Performing Loan/NPL) yang mulai meningkat pada tahun 2020 dan 2021. Berdasarkan data OJK (2020), rasio NPL untuk sektor UMKM mengalami kenaikan yang cukup tajam sebesar 30 bps menjadi 4,21 persen pada Juli 2020. Hal ini mencerminkan kesulitan yang dihadapi oleh pelaku usaha kecil dan menengah dalam mempertahankan kelangsungan bisnis mereka selama pandemi.
Selain itu, penurunan daya beli masyarakat dan perusahaan yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya membuat sektor keuangan terancam menghadapi risiko solvabilitas. Dalam situasi seperti ini, kebijakan makroprudensial berperan sebagai penyangga untuk mengurangi dampak krisis dengan memperkenalkan kebijakan yang mengutamakan ketahanan sistemik.
Untuk mengatasi masalah tersebut pada masa pandemi COVID-19, kebijakan makroprudensial di Indonesia dilonggarkan untuk memberi ruang bagi lembaga keuangan agar dapat bertahan dan mendukung pemulihan ekonomi. Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan berbagai kebijakan untuk memperlonggar persyaratan likuiditas dan meningkatkan kapasitas kredit sektor perbankan.
Salah satu kebijakan yang diterapkan adalah pelonggaran rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio atau CAR) bagi bank-bank komersial. Dengan adanya pelonggaran ini, diharapkan bank-bank dapat lebih leluasa untuk memberikan pinjaman tanpa harus khawatir melanggar batasan modal minimum yang ditetapkan. Selain itu, Bank Indonesia juga menurunkan suku bunga acuan untuk mendorong likuiditas dan mendukung pemulihan ekonomi.
Tidak hanya itu, pemerintah melalui OJK memberikan kelonggaran kepada lembaga keuangan dalam hal restrukturisasi kredit bagi debitur yang terdampak pandemi. Kebijakan ini bertujuan untuk membantu sektor usaha agar dapat bertahan selama masa krisis, sekaligus menghindari gelombang besar kredit macet yang dapat memperburuk kondisi sektor keuangan.
Kebijakan makroprudensial lainnya termasuk pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik pinjaman berisiko tinggi dan penguatan transparansi dalam sektor perbankan dan pasar modal dengan tujuan untuk mengurangi potensi gelembung aset yang bisa muncul akibat ketidakpastian pasar dan intervensi kebijakan yang mungkin tidak terkoordinasi dengan baik.
Pelonggaran kebijakan makroprudensial memang bermanfaat dalam mendorong pemulihan sektor-sektor yang terdampak, namun, di sisi lain hal tersebut dapat memperbesar risiko di sektor perbankan itu sendiri. Salah satu dampak yang perlu diwaspadai adalah peningkatan risiko kredit bermasalah yang lebih besar yang dapat mempengaruhi kesehatan keuangan bank-bank itu sendiri. Sebab, peningkatan kredit macet dapat menggerus rasio kecukupan modal (CAR) bank, sehingga membuat sektor perbankan rentan terhadap potensi krisis likuiditas.