Seorang pemuda dengan aura mempesonanya adalah satu dari penyemangatku melawan kanker yang makin sakit menggerogoti sekujur tubuhku ini. Hingga mungkin aku sudah tak kuat, ia masih menggema di hatiku, meski ia tak menyadari jika ia adalah bara semangatku untuk sembuh.
Ku tutup buku itu. Lututku lemas lalu jatuh di depan pusara Mei-mei. Ku pegangi batu nisannya dengan berlinangan air mata. Kenapa aku baru tahu saat ia telah tiada...
    ****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H