Diam, adalah jawabanku saat ini. Terasa begitu sakit saat kalimat pembantu terngiang dalam fikiranku, belum sempat aku menjelaskan ibuku menyelaku dengan cepat.
"Aku lebih baik tidak mengasuhmu waktu itu"
Duarr. Terasa seperti sesuatu yang menusuk bagiku. Entah berapa kata sakit lagi yang perlu aku dengar hingga aku memutuskan untuk masuk ke kamar dengan langkah yang cepat.
Kamar adalah bagian dari saksi atas kesedihanku. Bukan inginku untuk tidak membantu ibu tapi aku tau bahwa kuliah bukan membutuhkan uang yang sedikit.
"Apa aku salah jika bekerja dan ingin meringankan beban ibu, bagaimana bisa ia menyamakan aku dengan pembantu yang jelas aku anaknya. Apa jika aku tidak berbakti, maka ibuku memilih tidak membesarkanku waktu itu" benakku berputar dengan pertanyaan yang sama berulang kali. Hingga tak terasa air mataku menetes terus tanpa bisa ku cegah.
Andai ayah ada, mungkin aku tidak akan mendapat cacian sebesar ini dan kalimat yang terlalu perih untuk kucerna baik-baik. Ayahh. Kembalilah. Andai ayah masih hidup, Aku putri kecilmu membutuhkanmu. Meski hanya mimpi hiburlah aku ayahhh. Ini bukan rumah yang aku inginkan. Bukan tempat singgah yang menenangkan. Teringat sosok itu membuatku berderai hingga malam dan rasa kantuk datang menghampiriku. Berharap dapat membuatku istirahat sejenak tentang pahitnya dunia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H