Dalam doa, masih aku sebut namamu
Temukan ia, yang sebenarnya tidak pernah kau tinggalkan
Tiga bait puisi menyulam sunyi benar-benar mendorong individu untuk kembali merenungkan keikhlasan dalam sepi. Kesungguhan hati dalam merjaut rasa agar yang tertinggal adalah yang betul-betul erat dan yang pergi merupakan sebuah takdir. Merencanakan setiap pengharapan dalam setiap doa yang tak bertepi, tetapi bersiap menepi jika hal itu untuk kebaikannya, kebaikan ia yang dulu pernah singgah dan menghiasi hari-hari.
Dalam satu judul puisi aku warna yang tidak harus diatas kanvas memberikan gambaran kepada penikmat kata untuk menyandarkan diri tidak pada satu hal saja, melainkan dapat saja pada hal lainnya. Maksudnya adalah kesiapan diri dalam memakna setiap peristiwa memberikan kuasa pada diri untuk memilih berbagai kondisi tidak berdasarkan pada pihak lain, tetapi murni atas dasar apa yang diyakini.
Ah sudahlah
Bila bagimu aku hanya kertas
Yang kau siap melukis wajah banyak orang saat diminta,
Kau salah
Sebab aku adalah warna dari semua cat, yang bisa menjadi bagian dari jutaan obyek tanpa harus berada di atas kanvas
Sederhanya adalah kesiapan dan kemantapan diri yang tidak menyandarkan setiap keadaan hanya pada satu sosok tertentu merupakan keniscayaan. Bahwa tiada kuasa yang lebih besar dibadingkan memilih untuk setia dan yakin terhadap pilihan diri. Anggapan yang salah adalah seringkali wadah yang hanyut dalam kepercayaan pada diri yang lain menjadi sasasran empuk dalam memanfaatkan dan dimanfaatkan, tetapi ketika kesadaran pada diri yang bebas menggelora, maka tiada lagi rasa yang mampu menahan dan menghalangi kemajuan untuk meraih yang lain.
Meskipun demikian, memori tentang dia seringkali menghantui dan memburu ruang ruang bahagia. Yang tak terjangkau tetapi masih mengisi ruang-ruang kosong pengharapan terhadap sosok. Harapana-harapan tentang keabadian menjadikan realitas kabur terhadap rasa.