Jangan terlalu mengejar senja hanya karena ada kenangan indah di dalamnya, bagaimana kau akan mendapatkan ketenangan hidup jika senja-senja yang kau temukan setelah kenangan itu tak seindah senjamu. Teriaknya.
Aku terdiam Sintaku.
Sudahlah, bukan senjanya yang harus kamu cari, tetapi sesuatu yang lain yang membuat kenangan itu yang harus kamu dapatkan, senja bisa saja berubah menjadi malam, siang, dan pagi. Tetapi bisakah sesuatu yang lain itu berubah? Jujur saja lah, rindu-rindumu belum tuntas kau luahkan. Ia Mendekat.
Aku Tho, mari berteman! Jabatnya tanganku.
Sintaku, semenjak pertemuan itu lah kami selalu bersama, hingga kami terdampar di Gunung Sibayak, dan menemukan surat balasanmu.
Kamu tahu sintaku ? Ia selalu memerkan kalau nama nya itu salah satu dalam huruf hijaiah. “tho” jika huruf-huruf itu di simbolkan dalam organ-organ tubuh manusia, maka “tho” itu berarti “hati”. Pantas saja jika hatiku lihai mengartikan gerak-gerik alam semesta ini. Katanya. Huh.
Sintaku,
Apa maksud dari isi suratmu, yang menyuruhku untuk berhenti mengerimimu surat dan berhenti mengharapkan mu? Benarkah itu dari hatimu? Benarkah itu kata-katamu? Atau hanya akal-akalan Lek Tho saja, agar aku berhenti menggilaimu. Aku rapuh Sintaku.
Sungguh isi surat balasanmu itu benar-benar membuat malamku buta, siangku tuli senja ku menghitam aku tersudut dalam kehampaan. Aku memujamu, aku rindu peluk hangat sapaan semangatmu, entah apa jadinya aku ini Sintaku.
Sintaku,
Ku sudahi dulu suratku ini. Baik-baik lah dalam ketiadaanku.