Mohon tunggu...
Dwy Susanto
Dwy Susanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

simple, sederhana, rajin menabung twitter : DwyCungKring

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sintaku (Tiga)

26 Januari 2016   23:25 Diperbarui: 26 Januari 2016   23:38 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Salam,

“Dalam keadaan rapuh aku tulis surat ini untukmu Sintaku.”

Terimakasih telah membalas surat ku yang kedua melalui mega palsu sebelah barat daya gunung sibayak. Sungguh ku tak sangka kamu tak selalu membisu, ternyata dalam kesibukanmu masih kamu sempatkan untuk membaca suratku, sampai-sampai kau membalasnya. Heuheuheu.

Kamu masih sama saja seperti dulu, kata-katamu lugas tidak suka terlalu banyak bertele-tele seperti aku. Seharusnya kata “Ibuk” itu tak perlu kamu perdebatkan dan ngomel-ngomel. Panjang sekali penjelasan tentang kata itu, ya! Aku mengerti.

Sintaku,-

Aku mengerti kamu sangat tergangu dengan ocehan-ocehan dalam suratku, tapi Sintaku aku hanya ingin memberitahumu bagaimana diriku, bagaimana kegiatanku, aku tidak pernah memaksamamu membalas surat-surat ku, aku juga memintamu membacanya di waktu senggangmu saja. Maaf jika aku berdalih lagi.

Seharusnya, kalimat “berhentilah mengirimi surat, berhentilah berharap, bukan aku tak mau, tetapi aku sudah memiliki seorang laki-laki lain,” tak perlu kau ucapkan. Kalimat itu benar-benar membuatku rapuh, hati dan fikiran berkecamuk, benarkah kalimat itu lahir dari hatimu, atau hanya dari fikiranmu yang menolak hadir diriku, berusaha membuatku tak berharap kepadamu, atau memang benar kamu sudah memiliki laki-laki lain selalin aku.

Berkali-kali Lek Tho aku perintahkan untuk membacanya berulang-ulang dibagian kalimat itu, aku masih belum percaya dengan isi baris kelima lembar kedua suratmu itu Sintaku. Tetapi, apapun yang terjadi aku harus memaksa diriku untuk mempercayai apa yang kau sampaikan itu semua.        

Oya, aku sampai lupa mengenalkan Lek Tho padamu, Lek Tho lah yang mengartikan dan membacakan surat pertama mu padaku. Dia aku kenal di tepi danau laut tawar, Takengon saat aku mengembara mencari mega senja. Aku lihat ia dari kejauhan terbaring di tepi danau, kepalanya menindih kedua telapak tangannya, mulutnya komat-kamit tidak jelas. Setelah aku sapa ternyata ia sedang membaca angin. Aku terkejut Sintaku. Bagaimana mungkin angin dapat di baca, mata kita pun tak dapat menangkapnya. Kamu ingin tahu apa jawabnya ?

Kebanyakan orang membaca dengan matanya, dan meninggalkan peran hatinya, aku membuka mata hatiku, mengolahnya dalam rasa, dan mengartikannya dalam jiwa. Katanya.

Sintaku, orang sok pintar dari mana lagi ini. Mendengar jawaban itu, kaki ku langsung mengajak melangkah pergi.

Jangan terlalu mengejar senja hanya karena ada kenangan indah di dalamnya, bagaimana kau akan mendapatkan ketenangan hidup jika senja-senja yang kau temukan setelah kenangan itu tak seindah senjamu. Teriaknya.

Aku terdiam Sintaku.

Sudahlah, bukan senjanya yang harus kamu cari, tetapi sesuatu yang lain yang membuat kenangan itu yang harus kamu dapatkan, senja bisa saja berubah menjadi malam, siang, dan pagi. Tetapi bisakah sesuatu yang lain itu berubah? Jujur saja lah, rindu-rindumu belum tuntas kau luahkan. Ia Mendekat.

Aku Tho, mari berteman! Jabatnya tanganku.

Sintaku, semenjak pertemuan itu lah kami selalu bersama, hingga kami terdampar di Gunung Sibayak, dan menemukan surat balasanmu.

Kamu tahu sintaku ? Ia selalu memerkan kalau nama nya itu salah satu dalam huruf hijaiah. “tho” jika huruf-huruf itu di simbolkan dalam organ-organ tubuh manusia, maka “tho” itu berarti “hati”. Pantas saja jika hatiku lihai mengartikan gerak-gerik alam semesta ini. Katanya. Huh.

Sintaku,

Apa maksud dari isi suratmu, yang menyuruhku untuk berhenti mengerimimu surat dan berhenti mengharapkan mu? Benarkah itu dari hatimu? Benarkah itu kata-katamu? Atau hanya akal-akalan Lek Tho saja, agar aku berhenti menggilaimu. Aku rapuh Sintaku.

Sungguh isi surat balasanmu itu benar-benar membuat malamku buta, siangku tuli senja ku menghitam aku tersudut dalam kehampaan. Aku memujamu, aku rindu peluk hangat sapaan semangatmu, entah apa jadinya aku ini Sintaku.

Sintaku,

Ku sudahi dulu suratku ini. Baik-baik lah dalam ketiadaanku.

                       

                                                                                                                                    Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun