EG digunakan sebagai bahan baku untuk produksi serat poliester dan sebagai antibeku otomotif. Air radiator mobil, yang di negara empat musim bisa membeku pada musim dingin, berbahan campuran EG. Supaya airnya tidak membeku ketika musim dingin.
Pihak yang mengganti bahan baku obat sirop, atau mengganti Propilen Glikol dengan bahan oplosan EG dan DEG, bukan karena tidak-tahuan. Produsen bahan baku farmasi sangat paham, bahwa harga EG dan DEG tidak sampai separonya Propilen Glikol.
Dari situ diduga ada motif ekonomi dalam penipuan tulisan di luar drum "Propilen Glikol" yang ternyata isinya EG dan DEG.
Polisi masih memastikan, apakah benar 42 drum yang kini disita Polri itu adalah bahan baku obat yang dipasok oleh CV Samudera Chemical kepada produsen obat sirop yang mematikan ratusan balita itu, PT PT Afi Farma.
Memang, pihak PT Afi Farma kepada penyidik polisi sudah mengatakan, bahwa bahan baku obat sirop mereka (berupa cairan) dibeli dari CV Samudera Chemical. Dan, CV Samudera Chemical sudah diperiksa dan dinyatakan menyimpan cairan EG dan DEG yang dilabeli Propilen Glikol.
Benarkah EG dan DEG itu yang dipasok CV Samudera Chemical kepada PT Afi Farma? Karena, bahan yang dipasok itu di masa lalu. Sudah jadi obat. Sudah diminum banyak anak-anak. Sudah mematikan 190 anak. Sedangkan, bahan yang disita polisi itu, sekarang.
Tapi, tersangka E dinyatakan polisi sebagai melarikan diri (kabur) maka sudah mengindikasikan bahwa E bersalah. Jelasnya, CV Samudera Chemical memang memasok EG dan DEG sebagai bahan obat sirop. Akhirnya mematikan 190 balita itu.
Polisi sudah menyiapkan pasal sangkaan terhadap tersangka E.
E melanggar Pasal 196 Jo Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dan/atau Pasal 60 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Perubahan Atas Pasal 197 Jo Pasal 106 Jo Pasal 201 ayat (1) dan/atau ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Pasal 62 Jo Pasal 8 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Jo pasal 55 dan/atau pasal 56 KUHP.
Pasal-pasal yang rumit itu, ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Ditambah denda maksimal Rp 2 miliar.
Apakah ancaman hukuman itu adil? Kita tunggu perkembangan kasus ini selanjutnya. (*)