Dipaparkan, ketika pasangan bertengkar, mereka justru punya kesempatan membahas masalah sebenarnya, yang semula tersembunyi di bawah permukaan. Pertengkaran bisa soal uang, seks, mertua, anak-anak, apa pun.
Inti dari sumber konflik adalah ketakutan penolakan dari pasangan. Artinya, masing-masing pihak berusaha keras mempertahankan agar kelemahan diri tidak diketahui pasangan. Sebab semua manusia punya kelemahan.
Kalau sampai kelemahan diketahui pasangan, dalam persepsi si pemilik kelemahan, maka pasangan diprediksi bakal kecewa, menjauh, menolak. Maka, pemilik kelemahan takut mengecewakan, dijauhi, apalagi ditolak oleh pasangan.
Dengan ketakutan itulah, masing-masing mempertahankan ego. Di sinilah kesalahan. Lama-lama bisa berakibat fatal. Bisa KDRT. Berakhir cerai. Bahkan bisa dibui.
Saran Smalley, dibuka saja kelemahan-kelemahan itu. Toh sudah suami-isteri. Bahwa pasangan kecewa, atau marah, ya biar saja. Semua orang pasti punya kelemahan. Yang tidak diungkap saat mereka pacaran. Karena, kekecewaan atau kemarahan, bakal menimbulkan kesadaran baru.
Kesadaran baru itulah yang bakal menambah keintiman mereka. Terungkap hasil pertengkaran. Jika tidak bertengkar, malah tidak terungkap.
Di kasus Rizky-Lesti, polisi hanya menyebutkan, Rizky ketahuan selingkuh, lalu Lesti marah. Â Berakhir KDRT.
Seandainya benar-benar itu penyebabnya, berarti Rizky tidak lulus ujian. Merujuk buku Dr Smalley, salah satu ujian pernikahan, orang yang menikah justru semakin laris dibanding sebelum menikah. Rizky gagal.
Betapa pun, problema pernikahan tidak segampang itu. Rumit bertumpuk-tumpuk. Bahkan, pelaku pun tidak menyadari bahwa problem sangat variatif.
Seumpama Rizky dibebaskan dan perkara ditutup, ada pelajaran baru buat publik. Bahwa isteri korban KDRT punya pertimbangan rumit untuk bersikap. Bimbang yang rumit. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H