Beberapa waktu yang lalu, isu rush money (penarikan uang secara besar-besaran) kembali menyeruak ke permukaan. Hal itu ditengarai dengan adanya ajakan untuk menarik seluruh uang yang dimiliki dari rekening bank saat aksi 22 Mei. Untungnya isu rush money tersebut urung terjadi. Seperti yang diberitakan oleh KOMPAS.com (24/05/2019), Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menampik isu rush money atau penarikan uang secara besar-besaran akibat aksi 22 Mei.
Isu rush money juga sempat bergulir tahun 2016 silam. Ajakan rush money ini bertujuan untuk menuntut proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dianggap telah menistakan agama. Peristiwa rush money juga pernah terjadi pada tahun 1997 -- 1998 saat terjadi krisis di Indonesia. Kala itu nilai rupiah anjlok yang berdampak menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada bank.
Gerakan rush money tentu bisa merusak perekonomian Indonesia. Banyak ahli yang berpendapat bahwa rush money membawa kerugian untuk negara dan masyarakat. Bahkan bisa sampai membuat ekonomi menjadi lumpuh. Dampak paling parah dari rush money adalah terjadinya resesi. Ini lah yang dikhawatirkan, sebab bisa membuat sengsara sebagaimana krisis 1998.
Dampak Rush Money Bagi Stabilitas Ekonomi Negara
Rush money sangat merugikan bagi negara. Jika hal itu terjadi, maka perbankan akan mengalami krisis. Perbankan dapat mengalami kesulitan likuiditas dan membuat kepanikan publik. Imbasnya bermacam-macam, misalnya saja terjadi kenaikan inflasi yang berakibat lemahnya nilai tukar rupiah. Singkat kata, rush money akan merugikan negara secara keseluruhan. Stabilitas ekonomi menjadi terganggu.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani menegaskan bahwa stabilisasi sektor keuangan sangat erat hubungannya dengan upaya pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja hingga menuntaskan kemiskinan. Seandainya masyarakat berbondong-bondong menarik uangnya dari bank, maka akan berdampak sangat besar bagi perekonomian Indonesia.
Ekonom Sebut Dua Faktor Ini Bisa Jadi Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia
Menurut Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah yang dilansir dari kontan.co.id, ada dua faktor yang bisa menyebabkan terjadinya krisis ekonomi. Faktor pertama adalah tekanan yang dialami Indonesia, imbas dari perang dagang Amerika Serikat-China misalnya.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati melalui akun facebook-nya menjelaskan bahwa kondisi ekonomi global saat ini harus mewaspadai isu ketidakpastian karena adanya perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Bila tahun lalu (Juli 2018), banyak lembaga internasional yang memperkirakan perang dagang ini akan dapat dihindari dan tidak akan memburuk, namun kenyataan yang terjadi berbeda.
Menurut beberapa studi, bila trade war mencapai puncak, ekonomi China berpotensi melemah 1%, sedang ekonomi Amerika Serikat akan melemah 0,8% dari GDP. Dengan dua perlemahan dua ekonomi terbesar ini, maka akan berdampak cukup signifikan pada ekonomi global dan negara-negara berkembang.