"Tuhan pertemukan indah saja oh. Trada hujan trada oh. Trada orang bawa ko.
Sa tra mo kasih. Cinta cinta palsu. Tong baru baku dapat. Sa su mimpi jauh-jauh."
Ahai… Lagu besutan Whllyano ft Lean Slim yang ramai diperdengarkan di Tiktok, Instagram, dan Youtube sejak Maret 2024 ini mengantarkan kembali memori saya ketika menjadi bagian dari warga Timur Indonesia. Tepatnya di tahun 2018 hingga 2019.
Selama kurang lebih setahun saya hidup bersama masyarakat di salah satu kabupaten terluar Indonesia, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku.
Untuk menuju Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT), perjalanan melalui udara dibutuhkan waktu sekitar 6 jam dari Jakarta. 3,5-4 jam perjalanan dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng menuju Bandara Pattimura Ambon. Kemudian dilanjutkan 1,4 jam menuju bandara Mathilda Batlayeri Saumlaki KKT.
KKT merupakan daerah kepulauan dan terkonsentrasi pada Gugus Pulau Tanimbar yang memiliki luas 52.995,20 km² atau 80 kali lipat luas wilayah DKI Jakarta. Luas wilayah tersebut, 19,06% berupa daratan, sementara 80,94% merupakan wilayah perairan.
KKT terdiri dari banyak pulau, baik itu yang berpenghuni maupun yang masih belum tersentuh. Jumlah keseluruhan sebanyak 81 pulau. Pulau Yamdena merupakan pulau terbesar, sementara Pulau Selaru merupakan pulau paling selatan dan  pulau paling utara adalah Pulau Molu.
Pusat pemerintahan dan perekonomian berada di ibukota kabupaten, Kota Saumlaki. Untuk menuju Kota Saumlaki membutuhkan perjalanan sekitar 40 menit menggunakan mobil atau motor dari Bandara Mathilda Batlayeri.
Masyarakat KKT mayoritas beragama Kristen Protestan dan Katolik. Pun begitu, berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) KKT tahun 2024, terdapat sekitar 8% masyarakat muslim yang tersebar di Kecamatan Tanimbar Selatan, Tanimbar Utara, dan Wuarlabobar.
Setahun menjadi warga Saumlaki, terdapat tiga hal menarik terkait komunitas muslim di sana, yang sepertinya masih menarik untuk diceritakan saat ini.
Masyarakat Suku Buton di Saumlaki
Komunitas muslim di Kota Saumlaki didominasi oleh suku Buton dari Sulawesi Tenggara dan sekitarnya. Mayoritas dari mereka berprofesi sebagai pedagang. Mereka berdagang dengan cara membuka kios baik di rumah maupun di pasar. Komoditas yang dijual biasanya adalah sembako, pakaian, dan perabotan rumah tangga.
Tak jarang, di antara dari mereka adalah pengusaha-pengusaha besar di Pasar Omele dan Pasar Olilit Saumlaki.
Masyarakat Buton juga terkenal dengan ketaatan beragamanya. Sehingga masjid-masjid di Saumlaki dimakmurkan oleh mereka. Lebih dari itu, mayoritas anak-anak mereka juga bersekolah di sekolah Islam yang ada di Saumlaki.Â
Madrasah Al-Azhar Saumlaki
Meskipun mayoritas masyarakat Saumlaki beragama Kristen, tak mengurungkan niat para pemuka agama Islam di sana untuk mendirikan lembaga pendidikan Islam. Pada tahun 2015, MI Al-Azhar Saumlaki dioperasikan di Jl. Bukit Duri Saumlaki dengan menyewa 3 ruang kontrakan.
Berkat perhatian dari Kementerian Agama Republik Indonesia, pada tahun 2019 MI Al-Azhar Saumlaki akhirnya memiliki gedung sendiri di belakang Kantor Kementerian Agama KKT.
Untuk memfasilitasi anak-anak muslim di Saumlaki mendapatkan pendidikan Islam yang berkualitas, pada tahun 2020 MTs Al-Azhar Saumlaki pun dibuka dengan menumpang di gedung MI Al-Azhar Saumlaki.
Yang menarik dari Madrasah Al-Azhar Saumlaki adalah komposisi tenaga pendidiknya. Sejak 2020, beberapa guru yang mengajar di sana beragama Kristen. Hal ini mencerminkan wajah keharmonisan masyarakat di KKT.
Masjid-Masjid di Saumlaki
Hingga saat ini, terdapat tiga masjid yang berlokasi di Saumlaki. Pertama, Masjid Agung An Nur yang berlokasi di Jl. Bhineka, Olilit. Masjid ini merupakan masjid terbesar di Saumlaki. Selain itu, Masjid An Nur juga merupakan masjid tertua yang sudah berdiri sejak tahun 1897.
Masjid Baiturrahman merupakan masjid terbesar kedua di Saumlaki. Masjid ini berlokasi di simpang Jl. Bukit Duri, Saumlaki. Ketika kunjungan presiden Joko Widodo ke KKT tahun 2022, Presiden beserta rombongan berkesempatan melaksanakan salat Jumat di masjid ini.
Masjid ketiga adalah Masjid Baabut-Taqwa yang berlokasi di Pasar Omele Saumlaki. Karena berlokasi di wilayah pasar, jamaah dari masjid ini mayoritas adalah warga pasar dan sekitarnya. Pada tahun 2022, masjid ini direnovasi untuk menampung kapasitas jamaah yang semakin banyak.
Itulah sedikit gambaran terkait komunitas muslim di Kota Saumlaki. Meskipun monumen Kristus Raja berdiri megah di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, masyarakat muslim di sana juga bisa tetap hidup harmonis dan berdampingan dengan masyarakat asli Tanimbar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H