Sky Castle (2018) adalah drama Korea satire yang mengisahkan tentang keluarga-keluarga kaya, dimana orangtua sangat berambisi dan dengan segala cara memastikan anak-anaknya diterima di perguruan tinggi ternama. Dan yang berperan paling besar untuk memastikan terwujudnya ambisi sebuah keluarga adalah sang ibu. Selain mewujudkan ambisi pendidikan anak, mereka juga harus selalu mendukung karier suami, agar mencapai dan tetap bertahan di posisi yang bergengsi.Â
Cerita itu berkembang di sekitar empat keluarga yang tinggal di sebuah komplek perumahan elite dan eksklusif bernama Sky Castle. Mereka adalah keluarga sukses, kaya, memiliki pekerjaan dan jabatan yang terhormat. Anak-anaknya mendapatkan pendidikan di sekolah yang terkenal pula. Kehidupan mereka serba cukup, tidak kekurangan apapun. Kelihatannya begitu. Tapi setiap keluarga punya ceritanya sendiri, punya 'rahasia'nya sendiri.Â
Tokoh utama dalam kisah ini adalah Han Seo-jin (Yum Jung-ah). Suaminya, Kang Joon-sang (Jung Joon-ho) adalah seorang dokter bedah ortopedi yang terkenal. Mertuanya juga seorang dokter, dan keluarga besar bercita-cita agar Kang Yeo-so (Kim Hye-yoon), putri sulung mereka, nantinya pun akan menjadi dokter.Â
Aku sangat terkesan dengan karakter Han Seo-jin. Bukan terkesan sehingga ingin mencontoh, tapi terkesan sehingga aku kasihan melihat kehidupannya yang dibutakan ambisi, dipenuhi dengan intrik dan strategi. Semua itu hanya demi "dipandang" sebagai manusia.Â
Han Seo-jin memiliki nama asli Kwak Mi-hyang, datang dari keluarga miskin, dengan ayah seorang pedagang darah sapi, yang sukanya mabuk. Mi-hyang benci sekali dengan kemiskinan dan nasib buruknya ini, dan melakukan berbagai cara, mengatur strategi, supaya ia bisa meninggalkan kemiskinan itu, dan mendapatkan strata sosial yang tinggi.Â
Strategi pertama adalah merebut Kang Joon-sang dari kekasihnya, lalu kemudian menikah dengan Joon-sang. Ia mengganti namanya menjadi Seo-jin, dan mengarang kisah bahwa ia bergelar master dari Australia dan keluarganya bertempat tinggal di sana. Selain suami dan mertuanya, tidak ada yang mengetahui kebohongan ini, bahkan kedua anaknya. Sedemikian Seo-jin menutupi masa lalunya, kebohongan demi kebohongan demi membentuk image yang diinginkan. Sampai dikisahkan ia membayar dua orang untuk berlaku sebagai orang tuanya, ketika mereka sekeluarga berkunjung ke Australia. Â
Tindakannya sudah pasti salah. Namanya pun bohong. Tetapi Seo-jin melakukannya supaya anak-anaknya tidak malu dengan masa lalu ibunya, tidak malu memiliki kakek seorang pemabuk dan pedagang darah sapi. Seo-jin tidak mau anak-anaknya seperti dirinya yang malu dengan kondisi keluarganya. Ia ingin anak-anaknya percaya diri, karena yakin mereka datang dari bibit keturunan yang super duper bergengsi.Â
Kebohongan Seo-jin ini mungkin berhasil mengelabui banyak orang, tetapi tidak mertua dan suaminya. Karena aslinya datang dari keluarga miskin dan tidak berpendidikan, maka Seo-jin harus terus berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari ibu mertuanya. Kegagalan pertama adalah ketika ia tidak mampu memberikan keturunan laki-laki. Karena itu, ia harus memastikan agar Kang Yeo-so, putri sulungnya, diterima di jurusan kedokteran Seoul National University. Itu adalah kesempatan Seo-jin yang terakhir supaya diterima dan diakui oleh ibu mertuanya.Â
Tindakan Seo-jin untuk memastikan Yeo-so diterima di SNU berbuntut panjang dan ruwet, sampai Seo-jin dihadapkan dengan berbagai pilihan yang serba salah. Bagaikan makan buah simalakama, apapun pilihannya akan mendatangkan akibat yang buruk.Â
Beberapa kali tampak Seo-jin berperang dengan hati nuraninya. Dia tidak tega ketika melihat anak orang lain yang jelas tidak bersalah dijadikan kambing hitam, sehingga seluruh keluarga harus menderita dan si anak kehilangan masa depan. Tetapi apabila dia buka suara tentang apa yang sesungguhnya terjadi, artinya dia juga mengungkapkan kecurangan yang melibatkan putri kesayangannya. Seo-jin tidak sanggup mengorbankan masa depan Yeo-so yang sudah dirancang sejak dia balita.Â
Sebenarnya "hitung-hitungan" Seo-jin lebih dari itu. Bukan sekadar digerakkan oleh rasa cintanya yang begitu besar kepada putrinya. Namun ia juga tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau sampai putrinya gagal dan tidak diterima di kedokteran SNU. Mungkin mertuanya akan mengusirnya, suaminya akan menceraikannya, dan Seo-jin akan kehilangan semua kekayaan dan status sosial yang selama ini dinikmatinya, yang sudah susah payah diusahakannya.Â
Sejak awal, ambisi lah yang telah membutakan Seo-jin. Ia begitu ingin meninggalkan dan melupakan masa lalunya, miskin dan menderita. Segala apa yang dilakukannya -- menikah dengan Joon-sang, mendidik dua putrinya dengan disiplin tinggi, menggunakan jasa tutor seharga ratusan juta agar Yeo-so diterima di kedokteran SNU -- semua ini sebetulnya demi memastikan status sosial untuk dirinya sendiri. Pikirannya terus dipenuhi strategi, sibuk mengintip posisi 'lawan'. Pasti hidupnya tidak pernah tenang. Sungguh melelahkan. Â
Aku teringat pada seorang teman, senior di masa kuliah dulu. Ketika itu dia bercerita kalau baru saja diputuskan oleh pacarnya, yang tidak lama setelah lulus mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Sementara si teman ini masih di Bandung, menyelesaikan kuliahnya, sambil mengajar di sebuah bimbingan belajar kecil. Pacarnya merasa dia tidak punya ambisi dalam hidup.Â
Tidak berusaha mengejar kelulusan dengan cepat, supaya segera dapat pekerjaan di perusahaan besar. Ternyata belakangan diketahui pacarnya ini terpesona dengan seorang manajer di perusahaan tempatnya bekerja; muda, tampan, berjabatan, dan kaya. Kata temanku, "Aku bukannya tidak pernah punya ambisi. Tapi aku lelah dengan ambisi."Â
Ketika SMA, dia belajar keras supaya bisa masuk kampus kami, walaupun untuk itu harus merantau. Merantau artinya biaya ekstra bagi orang tua, yang memiliki enam orang anak. Namun karena ambisi, dia meyakinkan orang tuanya, dan berjanji akan mencukupkan dengan berapapun biaya yang dikirimkan. Kuliah tahun kedua, dia mendapat kabar bahwa ibunya sedang mengandung anak ketujuh.Â
Rasanya dia ingin marah, tapi dia tahu tindakannya itu salah. Dan sejak tahun kedua itu pula, uang bulanan pun berhenti, dan dia harus mengusahakan sendiri biaya hidupnya. Karena punya hobi main bola, ia pun bergabung dengan tim bola di kampus, dan berharap dari situ dia juga akan memperoleh penghasilan. Tetapi pada suatu pertandingan, ia terjatuh dan kaki nya patah. Sejak itu ia tidak bisa bermain bola secara profesional lagi.
"Aku lelah dengan ambisi. Mimpi-mimpi ku kandas di tengah jalan. Sekarang aku jalani saja apa yang ada di hadapanku dengan sebaik-baiknya. Bisa bertahan sampai saat ini saja, aku sudah sangat bersyukur"
Ambisi yang sehat itu perlu, membuat kita selalu memacu diri supaya lebih baik, membuat kita memaksimalkan potensi diri. Namun ambisi yang buta akan merusakkan jiwa. Memakan hati dan pikiran kita perlahan-lahan. Lebih 'gila' lagi ketika ambisi kita itu berlaga dengan ambisi orang lain. Sudah pasti akan saling menghancurkan. Dan akhirnya kita disadarkan ambisi tidak mendatangkan kebahagiaan.
 Ketika konsep diri kita diletakkan semata-mata pada penilaian orang lain, maka kita tidak akan pernah "selesai". Seo-jin tidak mencintai dirinya yang miskin, dan dia sibuk membentuk image yang diyakininya akan diterima dan dihormati orang banyak. Mungkin kalau Seo-jin bisa menerima dirinya sebagai Kwak Mi-hyang, maka dia tidak perlu sibuk berstrategi merebut pacar orang, tidak perlu menderita dengan penghinaan mertuanya. Seo-jin tidak perlu membayar orang untuk menyamar menjadi orang tuanya, hanya karena takut anak-anaknya malu punya ibu yang datang dari keluarga miskin dan tidak berpendidikan, suatu konsep yang dia sendiri yang menanamkan.
Untuk menjamin bahagia, maka pengakuan yang paling kita butuhkan adalah dari diri sendiri. Self-love. Mensyukuri dan mencintai keberadaan diri. Kalau sudah punya self love, maka sudah pasti kita bisa mencintai orang lain dengan tulus.
Bagaimana akhir kisah Seo-jin dan para penghuni Sky Castle? Apakah Yeo-so berhasil diterima di kedokteran SNU? Apakah akhirnya orang baik menang dan orang jahat mendapatkan ganjaran? Penasaran? Samaa aku juga. Yuk ah, mau nonton episode terakhir nih. Semoga happy ending ya...
***
Tulisan ini juga diposting di blog pribadi penulis pada tanggal 9 Agustus 2020 :Â "Ambisi Membutakan Hati"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H