Beberapa kali tampak Seo-jin berperang dengan hati nuraninya. Dia tidak tega ketika melihat anak orang lain yang jelas tidak bersalah dijadikan kambing hitam, sehingga seluruh keluarga harus menderita dan si anak kehilangan masa depan. Tetapi apabila dia buka suara tentang apa yang sesungguhnya terjadi, artinya dia juga mengungkapkan kecurangan yang melibatkan putri kesayangannya. Seo-jin tidak sanggup mengorbankan masa depan Yeo-so yang sudah dirancang sejak dia balita.Â
Sebenarnya "hitung-hitungan" Seo-jin lebih dari itu. Bukan sekadar digerakkan oleh rasa cintanya yang begitu besar kepada putrinya. Namun ia juga tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau sampai putrinya gagal dan tidak diterima di kedokteran SNU. Mungkin mertuanya akan mengusirnya, suaminya akan menceraikannya, dan Seo-jin akan kehilangan semua kekayaan dan status sosial yang selama ini dinikmatinya, yang sudah susah payah diusahakannya.Â
Sejak awal, ambisi lah yang telah membutakan Seo-jin. Ia begitu ingin meninggalkan dan melupakan masa lalunya, miskin dan menderita. Segala apa yang dilakukannya -- menikah dengan Joon-sang, mendidik dua putrinya dengan disiplin tinggi, menggunakan jasa tutor seharga ratusan juta agar Yeo-so diterima di kedokteran SNU -- semua ini sebetulnya demi memastikan status sosial untuk dirinya sendiri. Pikirannya terus dipenuhi strategi, sibuk mengintip posisi 'lawan'. Pasti hidupnya tidak pernah tenang. Sungguh melelahkan. Â
Aku teringat pada seorang teman, senior di masa kuliah dulu. Ketika itu dia bercerita kalau baru saja diputuskan oleh pacarnya, yang tidak lama setelah lulus mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Sementara si teman ini masih di Bandung, menyelesaikan kuliahnya, sambil mengajar di sebuah bimbingan belajar kecil. Pacarnya merasa dia tidak punya ambisi dalam hidup.Â
Tidak berusaha mengejar kelulusan dengan cepat, supaya segera dapat pekerjaan di perusahaan besar. Ternyata belakangan diketahui pacarnya ini terpesona dengan seorang manajer di perusahaan tempatnya bekerja; muda, tampan, berjabatan, dan kaya. Kata temanku, "Aku bukannya tidak pernah punya ambisi. Tapi aku lelah dengan ambisi."Â
Ketika SMA, dia belajar keras supaya bisa masuk kampus kami, walaupun untuk itu harus merantau. Merantau artinya biaya ekstra bagi orang tua, yang memiliki enam orang anak. Namun karena ambisi, dia meyakinkan orang tuanya, dan berjanji akan mencukupkan dengan berapapun biaya yang dikirimkan. Kuliah tahun kedua, dia mendapat kabar bahwa ibunya sedang mengandung anak ketujuh.Â
Rasanya dia ingin marah, tapi dia tahu tindakannya itu salah. Dan sejak tahun kedua itu pula, uang bulanan pun berhenti, dan dia harus mengusahakan sendiri biaya hidupnya. Karena punya hobi main bola, ia pun bergabung dengan tim bola di kampus, dan berharap dari situ dia juga akan memperoleh penghasilan. Tetapi pada suatu pertandingan, ia terjatuh dan kaki nya patah. Sejak itu ia tidak bisa bermain bola secara profesional lagi.
"Aku lelah dengan ambisi. Mimpi-mimpi ku kandas di tengah jalan. Sekarang aku jalani saja apa yang ada di hadapanku dengan sebaik-baiknya. Bisa bertahan sampai saat ini saja, aku sudah sangat bersyukur"
Ambisi yang sehat itu perlu, membuat kita selalu memacu diri supaya lebih baik, membuat kita memaksimalkan potensi diri. Namun ambisi yang buta akan merusakkan jiwa. Memakan hati dan pikiran kita perlahan-lahan. Lebih 'gila' lagi ketika ambisi kita itu berlaga dengan ambisi orang lain. Sudah pasti akan saling menghancurkan. Dan akhirnya kita disadarkan ambisi tidak mendatangkan kebahagiaan.
 Ketika konsep diri kita diletakkan semata-mata pada penilaian orang lain, maka kita tidak akan pernah "selesai". Seo-jin tidak mencintai dirinya yang miskin, dan dia sibuk membentuk image yang diyakininya akan diterima dan dihormati orang banyak. Mungkin kalau Seo-jin bisa menerima dirinya sebagai Kwak Mi-hyang, maka dia tidak perlu sibuk berstrategi merebut pacar orang, tidak perlu menderita dengan penghinaan mertuanya. Seo-jin tidak perlu membayar orang untuk menyamar menjadi orang tuanya, hanya karena takut anak-anaknya malu punya ibu yang datang dari keluarga miskin dan tidak berpendidikan, suatu konsep yang dia sendiri yang menanamkan.
Untuk menjamin bahagia, maka pengakuan yang paling kita butuhkan adalah dari diri sendiri. Self-love. Mensyukuri dan mencintai keberadaan diri. Kalau sudah punya self love, maka sudah pasti kita bisa mencintai orang lain dengan tulus.