Sore hari di Jakarta Selatan, hujan turun rintik-rintik membuat udara terasa lebih dingin. Setelah magrib hujan tak lagi turun, saya memutuskan untuk berpindah ke lain tempat, agar isi perut tak mengumpat saya berbulat hati untuk merapat ke sebuah lokasi tikungan di melawai dekat sekolah yang favorit sejak zaman rikiplik, eh mungkin sekarang tak lagi?
Setelah memilih lokasi parkir yang dirasa aman, dengan penerangan yang cukup, saya berjalan menuju salah satu pedagang gultik, pilihan saya jatuh kepada pedagang gultik yang paling senior.
"Silahkan Pak, pedas atau tidak?" Pedagang gultik itu menyapa saya dengan senyum yang lebar.
"Sedang saja Pak, tolong jangan pakai jeroan dan kerupuknya dipisah ya, terima kasih," jawab saya sambil memilih tempat duduk di mana saya bisa melihat ke arah lokasi parkir kendaraan saya dan  menikmati lalu lalang pengunjung jalan melawai sore itu.
"Bapak asli mana?" tanya saya sambil menikmati gultik yang legendaris di lokasi berjuta kenangan, karena saya pernah bersekolah di kecamatan yang sama tahun tujuh puluhan.
"Solo Pak", jawab pedagang gultik sambil menebar senyum kepada orang-orang yang lalu lalang di hadapannya.
"Wah, nanti bakal pulang buat memilih kepala daerah?" Saya melanjutkan pertanyaan.
"Biasaanya sih, kalau ada pemilihan, disediakan bus untuk mengangkut kami untuk berangkat bersama agar bisa memilih."
"Siapa yang menyediakan bus itu Pak?" tanya saya penasaran.
"Saya juga tidak tahu Pak, biasanya sih ada koordinator yang menyelipkan pesan sepanjang perjalanan ke kampung agar para penumpang memilih calon tertentu."
"Kamudian Bapak memilih nama yang dianjurkan itu?"
"Wah, saya lupa Pak. Buat Saya mah terserah saja siapa yang jadi pemimpin di sana karena Saya tak menikmati hasil kerjanya, hidup Saya lebih banyak di Jakarta mencari nafkah untuk keluarga."
"Kalo begitu, kenapa Bapak ikut pulang bersama rombongan?"
"Lumayan Pak, bisa pulang gratis, buat melepas kangen sama keluarga."
"Saya mau tambah seporsi lagi Pak, tak pakai jeroan, kerupuk dipisah, pedasnya sedang," Porsi gultik selalu tak cukup buat saya.
Saya tak bisa lagi berbincang dengan penjual gultik, belum sempat bertanya apakah beliau kenal siapa caonnya, anak siapakah calonnya itu, karena makin banyak pelanggannya yang datang memenuhi kursi di sekitar pikulan, Saya pun lanjut menikmati gultik porsi kedua lalu bersiap melanjutkan perjalanan ke rumah, kalo kamu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H