Mohon tunggu...
Dwisya Luqyana
Dwisya Luqyana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Masih dalam proses

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Maraknya Kasus Bullying: Bukti Pentingnya Peran Sekolah Positif dalam Menunjang Kebahagiaan Siswa

2 Juli 2023   08:56 Diperbarui: 2 Juli 2023   09:05 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://eagle-eye.co.jp/

Maraknya Kasus Bullying: Bukti Pentingnya Peran Sekolah Sebagai Institusi Positif Dalam Menunjang Kebahagiaan Siswa

Maraknya Bullying di Lingkungan Sekolah

Adalah ketika bullying bukan lagi sesuatu yang menjadi fenomena mengerikan sehingga membuat semua orang naik pitam dan berbondong-bondong menjadi garda terdepan dalam menghentikannya.

Rasanya setiap kali menggulir beranda sosial media, kata bullying tidak pernah absen sekalipun. Seakan-akan keberadaannya menjadi suatu hal yang akan selalu ada meskipun hari terus berganti, bagaikan suatu hal yang sudah berbaur dalam kehidupan sehari-hari dan menyamar menjadi 'kebiasaan', terutama di lingkungan sekolah.

Korban yang merupakan siswa kemudian melapor kepada guru. Sayangnya, masih banyak respon guru yang justru memaklumi kejadian bullying di sekolah dan akhirnya melabelinya dengan pemakluman.

Dan boom! Akhirnya berujung viral sebelum ada penyelesaian dari sekolah.

Maret 2023, siswa SD di Banyuwangi dikabarkan meninggal dunia akibat menggantung dirinya karena diduga sering menjadi korban bullying dari teman temannya. Mei 2023, terungkap aksi pembullyan siswa yang terjadi di salah satu MAN Makassar, Sulawesi Selatan secara verbal, fisik, media sosial, hingga pemberian ancaman akan dikeluarkan dari sekolah. Orang tua korban menyatakan bahwa korban mengalami trauma berat dan dibawa ke psikiater. Ibu dari korban pun merasa bahwa pihak sekolah menutupi kasus ini dengan membiarkan kejadian bullying yang terjadi. Akhir bulan Juni 2023, siswa kelas 2 SD di Kota Medan dinyatakan meninggal dunia setelah dibully oleh siswa kelas 6 SD.

Tidak sampai di sana, baru-baru ini media massa digemparkan oleh berita mengenai seorang siswa SMP di Temanggung yang membakar gedung sekolahnya akibat merasa sakit hati dibully oleh teman sekolahnya dan gurunya. Berdasarkan data Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), diketahui bahwa selama bulan ramadhan di tahun 2023 kasus bullying yang terjadi di lingkungan sekolah mendominasi.

Mengintip Kebahagiaan Korban Bullying di Lingkungan Sekolah

Seligman menyatakan bahwa kebahagiaan adalah suatu keadaan psikologis seseorang yang ditandai dengan mempunyai emosi positif seperti kepuasan atas hidup, pikiran, dan kehidupan yang dijalaninya. Sesuai dengan rumus kebahagiaan, individu yang memiliki kelima pilar berupa emosi positif, hubungan yang positif, pelibatan diri secara total, memiliki makna kehidupan, dan memiliki dorongan dalam mencapai suatu hal, maka ia akan memasuki dan mengalami fase flousrish.

Seligman menjelaskan:

"Flourishing artinya menemukan kepuasan dalam hidup, menyelesaikan tugas yang bermakna dan bermanfaat, serta menjalin hubungan dengan orang lain pada tingkat yang lebih dalam---pada intinya adalah menjalani kehidupan yang baik". 

Dengan kata lain, orang yang mengalami flourishing adalah orang yang memiliki level kesejahteraan mental yang tinggi dan menjadi perlambangan atas kesehatan mental.

Namun, bagaimana kebahagiaan para siswa yang mengalami perundungan?

Apakah mereka bahagia di sekolah?

Nyatanya, kebahagiaan siswa di lingkungan sekolah menjadi terancam, indikator-indikator flourishing menjadi sulit tercapai ketika pihak sekitar tidak terlibat dalam menyelesaikan dan menghentikan kasus bullying di sekolah. Ditunjukkan pada kasus nyata yang telah dikutip sebelumnya, bahwa para korban mengalami berbagai kondisi, mulai dari trauma berat, bunuh diri, meninggal dunia, hingga melakukan tindakan agresi seperti membakar gedung sekolah, semuanya nyata adanya dan dialami oleh korban bullying di lingkungan sekolah.

Maka sekali lagi, apakah para korban bullying di sekolah dapat merasa bahagia?

Peran Institusi Sekolah dalam Kebahagiaan Siswa

Institusi adalah dimensi ketiga dari psikologi positif. Institusi menjadi organisasi yang ikut andil dalam mendorong individu maupun kelompok dalam meraih tujuan yang positif. Sekolah menjadi salah satu institusi yang amat penting dalam membangun karakter positif siswa dan mempengaruhi kebahagiaan siswa, dengan kata lain sekolah menjadi lingkungan yang mendorong siswa dalam meraih tujuan positif.

Dengan maraknya kasus bullying, peran sekolah sebagai institusi penunjang siswa mencapai tujuan positifnya dirasa masihlah belum maksimal dan belum menyelesaikan kasus perundungan. Pada beberapa kasus bullying di sekolah, tidak jarang keluarga korban menyatakan bahwa pihak sekolah abai atas bullying yang terjadi. Bahkan mirisnya lagi, guru di sekolah ikut terlibat dalam aksi bullying seperti yang dinyatakan oleh siswa yang tempo hari membakar gedung sekolahnya.

Ini membuktikan bahwa selain menjadi pendorong siswa dalam meraih tujuan positif, institusi sekolah pun dapat mengantar siswa kepada sisi kebalikannya apabila fungsi positif yang seharusnya diterapkan oleh sekolah justru tidak diterapkan.

Urgensi Penerapan Sistem Sekolah yang Positif sebagai Institusi Positif

Sekolah yang positif perlu diterapkan dan dinormalisir. Dalam membuat siswa mencapai tujuan positif berupa kebahagiaan, sekolah pun perlu memiliki unsur positif. Peterson (2006) menyatakan bahwa praktik sekolah yang positif adalah sekolah yang mengutamakan kemajuan siswa, baik dari segi pencapaian, keberlangsungan, dan taraf kesejahteraan siswanya. Ikatan positif antar guru dengan siswa dan teman sebaya dengan siswa di lingkungan sekolah pun perlu tercipta sehingga mampu membuat siswa-siswa di sekolah mencapai lima pilar PERMA dan menuruni risiko gangguan mental.

Sekolah perlu lebih memperhatikan kondisi dan iklim sekolah yang ada. Sekolah juga perlu menyelami dan mengetahui lebih jauh bagaimana suasana yang terjadi di antara para siswanya. Dengan kata lain, pihak sekolah perlu lebih peka dan peduli dengan cara menindak setiap terjadi hal-hal yang menyimpang dari makna positif, seperti kasus bullying.

Sekolah bisa menanggulangi permasalahan bullying dengan cara melakukan sosialisasi terkait bahayanya kasus bullying dan betapa dilarangnya perbuatan tersebut. Setelahnya sekolah perlu memperketat pengawasannya agar kasus bullying tidak terjadi di lingkungan sekolah. Sekolah juga perlu memaksimalkan layanan bimbingan konseling. Selain itu, hal paling penting adalah sekolah harus dapat membuat siswa bisa mempercayai dan merasa aman berada di lingkungan sekolah.

Maka dari itu, penerapan prinsip sekolah yang positif amat penting untuk dilakukan dan menjadi suatu hal yang urgensi akibat kasus bullying di sekolah yang terus meningkat dari waktu ke waktunya. Diharapkannya, pemerintah sebagai salah satu institusi positif ikut terlibat dalam lebih mendesak instansi pendidikan yang ada agar segera menerapkan sistem sekolah yang positif demi kemajuan bangsa Indonesia.

Kini, prinsip sekolah positif anti-bullying memang sudah diterapkan di beberapa sekolah dan pemerintah pun sudah ikut serta dalam mendorong aksi anti-bullying di sekolah. Akan tetapi pada kenyataannya, kasus bullying masih terus marak terjadi hingga kini, dibuktikan dengan kasus siswa SMP di Temanggung yang membakar gedung sekolahnya beberapa hari yang lalu. Oleh karena itu, penerapan prinsip dan sistem sekolah yang positif menjadi lebih bersifat urgen dan pemerintah perlu semakin gencar dalam mengusahakan hal ini.

 

REFERENSI

Aulia, F. (2015). Aplikasi Psikologi Positif dalam Konteks Sekolah. Psychology Forum UMM. p120-124.

Effendy, N. (2016). Konsep Flourishing dalam Psikologi Positif: Subjective Well-Being atau berbeda?. Psychology Forum UMM. p326-333.

Jusmiati. (2017). KONSEP KEBAHAGIAAN MARTIN SELIGMAN: SEBUAH PENELITIAN AWAL. Raustan Fikr. 13(2), p359-374.

Peterson, C. (2006). A primer in positive psychology. Oxford University Press.

Seligman, M., & Csikszentmihalyi, M. (2000). Positive Psychology: An introduction. American Psychologist. 55, p5-14.

Seligman, M. (2002). Authentic happiness: Using the new positive psychology to realize your potential for lasting fulfillment. New York: Free Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun