Pada awal Desember 2024, Jakarta Utara Peristiwa ini disebabkan faktor  pasang maksimum air laut (banjir rob) dan intensitas hujan yang tinggi. Di daerah pesisir seperti Muara Baru dan Pluit, banjir mencapai ketinggian lebih dari 1 meter, memaksa ratusan warga mengungsi ke tempat yang lebih aman. Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena ini semakin parah akibat kenaikan permukaan air laut global dan penurunan permukaan tanah (land subsidence). Akibatnya, wilayah pesisir menjadi semakin rentan terhadap banjir. Dalam konteks ini, analisis wacana terhadap pemberitaan banjir di Jakarta Utara mengungkap bagaimana fenomena ini diberitakan, dimaknai, dan dipolitisasi. Analisis wacana metafora yang digunakan tidak hanya memperjelas keadaan tetapi juga membangun persepsi masyarakat terhadap fenomena tersebut.
Bentuk ekspresi yang digunakan untuk mendukung analisis wacana ini adalah dari bahasa yang di tuliskan oleh wartawan sebagai pembuat berita. Keinginan tersebut dibuat dengan realitas dan kondisi dalam peristiwa yang sedang terjadi, yang apa adanya tanpa mengubah fakta yang ada. Bentuk ekspresi bahasa yang kedua adalah metafora digunakan sebagai alat untuk mengibaratkan suatu objek dengan cara analogi, dideskripsikan ke dalam kalimat dengan melalui pemakaian metafora. Bentuk ekspresi bahasa tersebut sebagai berikut.
"Air Laut Mengamuk"
Dalam narasi berita, banjir rob sering digambarkan sebagai air laut yang "mengamuk" atau "meluap tanpa kendali."
Metafora ini menciptakan kesan bahwa banjir adalah fenomena alam yang destruktif dan tak terhindarkan. Pilihan kata seperti "mengamuk" memberikan kesan bahwa alam sedang menunjukkan kekuatannya. Narasi ini sering digunakan untuk membangun rasa gentar terhadap kekuatan alam, namun terkadang mengaburkan tanggung jawab manusia dalam mitigasi bencana, seperti pembangunan tanggul yang memadai atau pengelolaan lingkungan yang buruk.
"Seperti monster kelaparan, banjir merayap di jalan-jalan, menenggelamkan rumah dan menghentikan aktivitas warga."
Metafora ini menggambarkan banjir sebagai entitas destruktif yang aktif menyerang kota. Dengan menggunakan kata-kata seperti "monster" dan "menelan," berita memicu emosi pembaca, menyoroti tingkat kehancuran yang disebabkan oleh banjir. Metafora ini sering dipakai untuk mempertegas kebutuhan akan solusi yang lebih efektif.
"Tanggul yang menjadi perisai utama kini retak, tak mampu lagi menahan gempuran air laut."
Dalam metafora ini, infrastruktur seperti tanggul atau sistem drainase digambarkan sebagai "tameng" yang gagal. Narasi ini mencerminkan kritik terhadap ketahanan infrastruktur Jakarta Utara, yang dinilai tidak cukup kuat menghadapi tekanan dari faktor alam seperti air pasang dan hujan deras.
"Di tengah lautan air yang kian meninggi, warga bergulat dengan arus demi menyelamatkan barang-barang yang tersisa."
Metafora ini memosisikan warga sebagai korban sekaligus pejuang. Dengan menampilkan perjuangan mereka, media membangun empati pembaca terhadap kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat terdampak banjir. Narasi ini sering mengarahkan perhatian pada aspek kemanusiaan, seperti kebutuhan akan bantuan logistik dan tempat pengungsian.
Analisis metafora dalam wacana berita banjir di Jakarta Utara menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya berfungsi untuk menggambarkan realitas tetapi juga membentuk persepsi dan opini publik. Penggunaan metafora seperti "air laut mengamuk" atau "warga sebagai pejuang" memberikan makna yang lebih dalam, baik dalam menggambarkan dampak banjir maupun urgensi tindakan.
Reporter : Dwi Setia Ningsih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H