Mohon tunggu...
Dwi Setianingsih
Dwi Setianingsih Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan

Hobi membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Analisis Wacana Berita : Banjir di Jakarta Utara Akibat Air Laut Meluap dan Hujan

30 Desember 2024   17:32 Diperbarui: 30 Desember 2024   17:37 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir di jakarta utara akibat air laut meluap dan hujan (Sumber : DetikNews- detikcom)

Pada awal Desember 2024, Jakarta Utara Peristiwa ini disebabkan faktor  pasang maksimum air laut (banjir rob) dan intensitas hujan yang tinggi. Di daerah pesisir seperti Muara Baru dan Pluit, banjir mencapai ketinggian lebih dari 1 meter, memaksa ratusan warga mengungsi ke tempat yang lebih aman. Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena ini semakin parah akibat kenaikan permukaan air laut global dan penurunan permukaan tanah (land subsidence). Akibatnya, wilayah pesisir menjadi semakin rentan terhadap banjir. Dalam konteks ini, analisis wacana terhadap pemberitaan banjir di Jakarta Utara mengungkap bagaimana fenomena ini diberitakan, dimaknai, dan dipolitisasi. Analisis wacana metafora yang digunakan tidak hanya memperjelas keadaan tetapi juga membangun persepsi masyarakat terhadap fenomena tersebut.

Bentuk ekspresi yang digunakan untuk mendukung analisis wacana ini adalah dari bahasa yang di tuliskan oleh wartawan sebagai pembuat berita. Keinginan tersebut dibuat dengan realitas dan kondisi dalam peristiwa yang sedang terjadi, yang apa adanya tanpa mengubah fakta yang ada. Bentuk ekspresi bahasa yang kedua adalah metafora digunakan sebagai alat untuk mengibaratkan suatu objek dengan cara analogi, dideskripsikan ke dalam kalimat dengan melalui pemakaian metafora. Bentuk ekspresi bahasa tersebut sebagai berikut.

"Air Laut Mengamuk"

Dalam narasi berita, banjir rob sering digambarkan sebagai air laut yang "mengamuk" atau "meluap tanpa kendali."

Metafora ini menciptakan kesan bahwa banjir adalah fenomena alam yang destruktif dan tak terhindarkan. Pilihan kata seperti "mengamuk" memberikan kesan bahwa alam sedang menunjukkan kekuatannya. Narasi ini sering digunakan untuk membangun rasa gentar terhadap kekuatan alam, namun terkadang mengaburkan tanggung jawab manusia dalam mitigasi bencana, seperti pembangunan tanggul yang memadai atau pengelolaan lingkungan yang buruk.

"Seperti monster kelaparan, banjir merayap di jalan-jalan, menenggelamkan rumah dan menghentikan aktivitas warga."

Metafora ini menggambarkan banjir sebagai entitas destruktif yang aktif menyerang kota. Dengan menggunakan kata-kata seperti "monster" dan "menelan," berita memicu emosi pembaca, menyoroti tingkat kehancuran yang disebabkan oleh banjir. Metafora ini sering dipakai untuk mempertegas kebutuhan akan solusi yang lebih efektif.

"Tanggul yang menjadi perisai utama kini retak, tak mampu lagi menahan gempuran air laut."

Dalam metafora ini, infrastruktur seperti tanggul atau sistem drainase digambarkan sebagai "tameng" yang gagal. Narasi ini mencerminkan kritik terhadap ketahanan infrastruktur Jakarta Utara, yang dinilai tidak cukup kuat menghadapi tekanan dari faktor alam seperti air pasang dan hujan deras.

"Di tengah lautan air yang kian meninggi, warga bergulat dengan arus demi menyelamatkan barang-barang yang tersisa."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun