“Bagaimana kalau ia malah terus bertanya, kapan pulangnya?”
“Ya sudah, kamu jelaskan saja pelan-pelan yang sebenarnya.”
Itulah. Ia selalu merasa bingung, dari mana mesti memulainya? Marwan menatap Ita, yang tampak memberi isyarat agar ia melihat ke sebelah. Beberapa rekan sekantornya terlihat tengah memandang mejanya dengan mata penuh gosip. Pasti mereka menduga ia dan Ita….
“Atau kamu bisa saja tulis kartu pos buat dia. Seolah-olah itu dari Ren….”
Marwan tersenyum. Merasa lucu karena ingat kisah masa lalunya.
Mobil jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat Beningnya meloncat turun. Marwan mendengar teriakan sopir yang menyuruh hati-hati, tetapi bocah itu telah melesat menuju kotak pos di pagar rumah. Marwan tersenyum. Ia sengaja tak masuk kantor untuk melihat Beningnya gembira ketika mendapati kartu pos itu. Kartu pos yang diam-diam ia kirim. Dari jendela ia bisa melihat anaknya memandangi kartu pos itu, seperti tercekat, kemudian berlarian tergesa masuk rumah.
Marwan menyambut gembira ketika Beningnya menyodorkan kartu pos itu.
“Wah, udah datang ya kartu posnya?”
Marwan melihat mata Beningnya berkaca-kaca.
“Ini bukan kartu pos dari Mama!” Jari mungilnya menunjuk kartu pos itu. “Ini bukan tulisan Mama…”
Marwan tak berani menatap mata anaknya, ketika Beningnya terisak dan berlari ke kamarnya. Bahkan membohongi anaknya saja ia tak bisa! Barangkali memang harus berterus terang. Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak seusianya? Rasanya akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di rumah. Ia bisa membiarkan Beningnya melihat Mamanya terakhir kali. Membiarkannya ikut ke pemakaman. Mungkin ia akan terus-terusan menangis karena merasakan kehilangan. Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya dari tangisnya ketimbang harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan mayatnya tak pernah ditemukan.