Potret Buram Kotaku
By. Dwiroso
Dulu kota ini suram
Lampu jalan hanya secuil ublik
Itupun beberapa sudah mulai sekarat
Lahan tidur di mana-mana
Di penuhi gubuk gubuk liar
Berjejer kumuh
Orang orang bertelanjang dada
Mengais potongan ranting kering
Memungut sobekan kertas koran, dan bungkus jisamsu
Untuk dibuat
pemanas di malam jahanam
Musik dari tape recorderÂ
Memuncratkan ekstasi
Hiburan mewah bagi kaum marginal
Berjoget mengikuti irama musik
Dangdut koplo
Mengikis sejenak beban hidup
Tak mau kalah dengan para cukong di rumah rumah disco berkelas
Asyik berjoget sampai pagi
Seonggok sampah telah tersulut
Sebatang jisamsu jadi pemantik rasa percaya diri
Asap mengepul berbaur dengan suara tawa para urban kere
Semakin larut
Kota semakin panas
Terbakar oleh hentakan musik dan goyangan para terbuang hingga yang hanyut gemerlap lampu disco di hotel berbintang
Nampak kupu kupu malam menjajakan diri
Menunggu para pria hidung belang berkantong tebalÂ
Transaksi nikmat sesaat
Berkelindan
Harga tenda dan gubugÂ
Apa highclass room dengan fasilitas premium
Sama saja
Sama ramainya
Anak anak kecil,
berkeliaran, menanti siang, disaat teman sebaya nya memilih terlelap
Mereka terusir karena gubuk sedang dibooking tamuÂ
Sang ibu sedari sore telah tampil menor dan siap tempur sampai subuh
Demi makan esok hari
Itulah potret buram kota ini, yang sekarang tinggal kisah, kota yang tak pernah letih, menyuguhkan lakon dari drama klasik anak manusia.Â
Dulu "Banjir Nuh" sering membuyarkan lapak dan gubuk para urbanÂ
Kini gubuk gubuk liar dan pesta kaum urban sudah tak terlihat lagi, tapi "Banjir Nuh" itu masih menjadi hantu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H