Mohon tunggu...
Dwiroso Dwiroso
Dwiroso Dwiroso Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja freelancer
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Potret Buram Kotaku

17 Juli 2023   08:26 Diperbarui: 18 Juli 2023   11:12 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Potret Buram Kotaku

By. Dwiroso

Dulu kota ini suram

Lampu jalan hanya secuil ublik

Itupun beberapa sudah mulai sekarat

Lahan tidur di mana-mana

Di penuhi gubuk gubuk liar

Berjejer kumuh

Orang orang bertelanjang dada

Mengais potongan ranting kering

Memungut sobekan kertas koran, dan bungkus jisamsu

Untuk dibuat

pemanas di malam jahanam

Musik dari tape recorder 

Memuncratkan ekstasi

Hiburan mewah bagi kaum marginal

Berjoget mengikuti irama musik

Dangdut koplo

Mengikis sejenak beban hidup

Tak mau kalah dengan para cukong di rumah rumah disco berkelas

Asyik berjoget sampai pagi

Seonggok sampah telah tersulut

Sebatang jisamsu jadi pemantik rasa percaya diri

Asap mengepul berbaur dengan suara tawa para urban kere

Semakin larut

Kota semakin panas

Terbakar oleh hentakan musik dan goyangan para terbuang hingga yang hanyut gemerlap lampu disco di hotel berbintang

Nampak kupu kupu malam menjajakan diri

Menunggu para pria hidung belang berkantong tebal 

Transaksi nikmat sesaat

Berkelindan

Harga tenda dan gubug 

Apa highclass room dengan fasilitas premium

Sama saja

Sama ramainya

Anak anak kecil,

berkeliaran, menanti siang, disaat teman sebaya nya memilih terlelap

Mereka terusir karena gubuk sedang dibooking tamu 

Sang ibu sedari sore telah tampil menor dan siap tempur sampai subuh

Demi makan esok hari

Itulah potret buram kota ini, yang sekarang tinggal kisah, kota yang tak pernah letih, menyuguhkan lakon dari drama klasik anak manusia. 

Dulu "Banjir Nuh" sering membuyarkan lapak dan gubuk para urban 

Kini gubuk gubuk liar dan pesta kaum urban sudah tak terlihat lagi, tapi "Banjir Nuh" itu masih menjadi hantu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun