Perusahaan terkait juga berhak menetapkan besarnya cicilan yang harus dibayarkan. Perusahaan dapat memberlakukan besaran rata hingga akhir masa cicilan dan mencantumkan jumlahnya secara jelas. Pola ini boleh dilakukan karena menyerupai bai' tawarruq dengan menitiktekankan pada kejelasan harga. Yang jadi permasalahan, terkadang beberapa perusahaan hanya mencantukan persentase angsuran tanpa menyebutkan besarannya. Akhirnya, menimbulkan unsur ketidakjelasan (gharar). Akibatnya, akad tersebut menjadi fasid dan transaksinya menjadi batal.
Lebih lanjut, beberapa perusahaan juga mengenakan denda jika terjadi keterlambatan pembayaran tagihan PayLater. Sementara terkait denda dalam ketentuan DSN MUI No. 110/DSN-MUI/IX/2017 tentang jual beli menyatakan bahwa setiap akad jual beli harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Salah satu rukun dan syarat dalam fatwa tersebut yaitu tidak boleh mensyaratkan kewajiban untuk membayar denda jika pihak yang berutang terlambat membayar cicilan/angsuran. Berdasarkan fatwa tersebut dapat diketahui bahwa pengenaan denda atas keterlambatan praktik jual beli belum sesuai dengan syariah Islam.Â
Dengan demikian, bagi  pengguna PayLater khusunya masyarakat muslim harus memilah, memilih, dan memperhatikan traksaksi yang dilakukan terutama akad-akad yang digunakan tidak boleh mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam syariat baik yang mengandung riba, maisyir dan gharar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H