Mohon tunggu...
Dwi rismayanti
Dwi rismayanti Mohon Tunggu... Lainnya - A diamond wo'nt lose its shine although it is the mud

mahasiswi UIN MALANG

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ekspos Kebudayaan Lokal Jombang melalui Festival Watu Gilang

5 Mei 2020   09:32 Diperbarui: 5 Mei 2020   09:45 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebudayaan merupakan suatu adat istiadat atau kebiasaan yang lahir secara alamiah dan berkembang dalam masyarakat. Seiring berjalannya waktu, kebiasaan ini telah menjadi tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. 

Mengingat Indonesia kaya akan beribu-ribu pulau sehingga tidak heran bahwa terdapat berbagai macam keberagaman budaya. Dan pastinya setiap daerah mempunyai cara pelestarian yang berbeda-beda.

Seperti halnya yang ada di kabupaten Jombang. Kabupaten Jombang mempunyai festival kebudayaan unik yaitu Festival Watu Gilang. Festival yang diselenggarakan di desa Mojokrapak kecamatan Tembelang kabupaten Jombang ini dilaksanakan selama tujuh hari. 

Festival dimulai dengan kirab Watu Gilang dan pusaka mengelilingi desa dengan iringan kesenian kuda lumping, musik patrol dan parade komunitas onthel tua yang sebelum akhirnya ditempatkan kembali ke tempat asalnya yakni di dusun Gilang. 

Jika ditelusur menurut bahasa Indonesia, Gilang artinya cemerlang atau bercahaya. Selain itu, dalam rangkaian acara festival disajikan penampilan teatrikal pencak silat yang menceritakan asal usul tanah Mojokrapak. 

Untuk menambah kemeriahan, diselenggarakan juga bazar, penampilan kebudayaan daerah, dan ditutup dengan penampilan seribu rebana. Masyarakat menyambutnya dengan penuh antusias. 

Tidak hanya memperkenalkan potensi kebudayaan daerah, festival ini juga dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan daya guna dan keativitas masyarakat. Sebenarnya tradisi ini telah ada sejak dahulu, namun untuk perayaan baru diselenggarakan tahun ini dan akan menjadi agenda rutinan desa setiap tahunnya.

Terkait sejarah, petilasan Watu Gilang yang terletak di desa Mojokrapak kecamatan Tembelang kabupaten Jombang telah ada sebelum Indonesia merdeka. 

Prasasti ini diduga sebagai peninggalan kerajaan Medang Kamulan dan telah tercatat sebagai benda bersejarah peninggalan kerajaan kuno dengan nomor 10/JMB/91. 

Meskipun telah masuk sebagai cagar budaya Jombang, namun status dari prasasti ini adalah in situ atau masih berada pada lokasi aslinya. Prasasti Watu Gilang ini sebagai tanda peperangan Ronggolawe dengan Patih Nambi yang terjadi di sungai Tambak Beras yang mana masyarakatnya banyak lari ke Gilang dimana dulunya merupakan hutan yang sangat lebat. 

Disamping itu, para pejuang zaman dahulu juga berbondong-bondong menyembunyikan diri dari kejaran Belanda ke Gilang kemudian bertemu poho mojo yang rapak-rapak, inilah yang menjadi cikal bakal babat alas dan tercipta nama desa Mojokrapak. Sehingga dapat diketahui bahwa leluhur desa Mojokrapak berawal dari dusun Gilang tempat dimana prasasti ini ditemukan.

Kondisi batu Gilang yang ada di desa Mojokrapak ini sudah tidak utuh lagi. Tampak terlihat sisi atas prasasti sudah cuil. Konon, sebab musabab cuilnya prasasti ini adalah akibat pertempuran Kebo Kicak dan Surontanu. 

Prasati Watu Gilang awalnya adalah penyumbat dan yang dijebol oleh Kebo Kicak. Akibatnya air sungai meluap dan membanjiri sekitarnya. Legenda ini yang menjadi asal muasal ketika musim penghujan tiba disekitar Tembelang selalu dilanda banjir. 

Asal usul prasasti ini pun masih simpang siur. Jika dilihat prasasti ini polos tidak mempunyai guratan apapun. Berbeda sekali dengan prasasti pada umumnya. Sehingga tidak ada petunjuk yang dapat dibaca untuk mengetahui sejarah pembuatannya. 

Namun, berdasarkan kisah mistis dari penduduk setempat, hanya orang-orang tertentu yang memiliki ilmu yang bisa menampakkan tulisan dalam prasasti polos ini.  

Untuk menjaga keasliannya masyarakat memberi pagar besi disekeliling prasasti. Tak luput juga menutup sisi atas prasasti dengan kain putih dengan pengikat berupa benang atau tali agar kain tidak mudah jatuh.

 Hal ini dilakukan guna melindungi batu agar tidak kotor dan terbebas dari tangan-tangan jail pengunjung. Disekitar prasasti Watu Gilang juga banyak dijumpai batu bata kuno. Batu bata kuno ini mempunyai ukiran setengah lingkaran khas peninggalan kerajaan Medang. 

Hanya dapat diperkirakan kawasan ini adalah sebagai ibukota kerajaan Medang. Tampak juga disekeliling lokasi prasasti terdapat bekas dupa, menyan dan sisa bunga yang diduga sebagai masyarakat Hindu yang berkunjung atau bahkan para pencari wangsit.  

Meskipun lokasi prasasti berdampingan dengan pondok pesantren, keharmonisan yang terjalin sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Festival ini bukan berarti mengajarkan syirik dengan meyembah batu. 

Tidak ,namun hanya sebagai bentuk upaya pelestarian budaya dan sebagai ajang menggali potensi lokal. Kegiatan ini juga bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat agar lebih menghargai dan menghormati alam sebagai refleksi ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penciptaan-Nya. 

Melalui festival ini juga dapat dijadikan sebagai wisata edukatif untuk meningkatkan ekonomi mayarakat desa. Meskipun saat ini ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi berkembang dengan sangat pesat, namun sebagai generasi penerus bangsa kita tidak boleh melupakan warisan para leluhur, melainkan harus tetap dirawat dan dilestarikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun