Mohon tunggu...
Dwi rismayanti
Dwi rismayanti Mohon Tunggu... Lainnya - A diamond wo'nt lose its shine although it is the mud

mahasiswi UIN MALANG

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ekspos Kebudayaan Lokal Jombang melalui Festival Watu Gilang

5 Mei 2020   09:32 Diperbarui: 5 Mei 2020   09:45 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kondisi batu Gilang yang ada di desa Mojokrapak ini sudah tidak utuh lagi. Tampak terlihat sisi atas prasasti sudah cuil. Konon, sebab musabab cuilnya prasasti ini adalah akibat pertempuran Kebo Kicak dan Surontanu. 

Prasati Watu Gilang awalnya adalah penyumbat dan yang dijebol oleh Kebo Kicak. Akibatnya air sungai meluap dan membanjiri sekitarnya. Legenda ini yang menjadi asal muasal ketika musim penghujan tiba disekitar Tembelang selalu dilanda banjir. 

Asal usul prasasti ini pun masih simpang siur. Jika dilihat prasasti ini polos tidak mempunyai guratan apapun. Berbeda sekali dengan prasasti pada umumnya. Sehingga tidak ada petunjuk yang dapat dibaca untuk mengetahui sejarah pembuatannya. 

Namun, berdasarkan kisah mistis dari penduduk setempat, hanya orang-orang tertentu yang memiliki ilmu yang bisa menampakkan tulisan dalam prasasti polos ini.  

Untuk menjaga keasliannya masyarakat memberi pagar besi disekeliling prasasti. Tak luput juga menutup sisi atas prasasti dengan kain putih dengan pengikat berupa benang atau tali agar kain tidak mudah jatuh.

 Hal ini dilakukan guna melindungi batu agar tidak kotor dan terbebas dari tangan-tangan jail pengunjung. Disekitar prasasti Watu Gilang juga banyak dijumpai batu bata kuno. Batu bata kuno ini mempunyai ukiran setengah lingkaran khas peninggalan kerajaan Medang. 

Hanya dapat diperkirakan kawasan ini adalah sebagai ibukota kerajaan Medang. Tampak juga disekeliling lokasi prasasti terdapat bekas dupa, menyan dan sisa bunga yang diduga sebagai masyarakat Hindu yang berkunjung atau bahkan para pencari wangsit.  

Meskipun lokasi prasasti berdampingan dengan pondok pesantren, keharmonisan yang terjalin sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Festival ini bukan berarti mengajarkan syirik dengan meyembah batu. 

Tidak ,namun hanya sebagai bentuk upaya pelestarian budaya dan sebagai ajang menggali potensi lokal. Kegiatan ini juga bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat agar lebih menghargai dan menghormati alam sebagai refleksi ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penciptaan-Nya. 

Melalui festival ini juga dapat dijadikan sebagai wisata edukatif untuk meningkatkan ekonomi mayarakat desa. Meskipun saat ini ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi berkembang dengan sangat pesat, namun sebagai generasi penerus bangsa kita tidak boleh melupakan warisan para leluhur, melainkan harus tetap dirawat dan dilestarikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun