CORONA. Sudah pasti ia menakutkan, ia menjelaja cepat pada jiwa-jiwa yang rapuh. Bagaikan sepoi angin yang menabrak pohon-pohon dan tubuh-tubuh yang berkeliaran di luar sana. Bagaikan sinyal smartphone yang mengirim pesan corona itu sendiri. Bahkan, ia seperti hantu yang mengalahkan Malaikat Maut, yang setiap saat bisa saja mencabut nyawa kita---di manapun dan kapanpun dan saat ini bisa saja melampaui defenisi cinta kematian sebagaimana puisi Aslan Abidin "Tak ada yang mencintaimu setulus kematian". Saat ini berubah menjadi "Tak ada mencintaimu setulus corona".
Tulisan ini hadir di saat-saat yang mungkin saja saya berada di tengah-tengah pandemi ini menyebar di sekitarku atau telah merasuki sistem pernapasanku sendiri. Entahlah! Namun, lebih dari itu, melalui corona ini saya berusaha mengaktifkan memori kolektif kita. Memori yang secara tak sadar hadir dalam diri kita bersama, meskipun kita belum lahir di saat-saat peristiwa menegangkan itu.
Corona adalah simbol peristiwa yang telah memonumen dalam pikiran orang-orang intelektual dunia, bahkan dalam cerita-cerita kakek atau nenek kita yang pernah menghadapi Flu Burung, MERS, SARS, Corela, Ebola dan pandemi yang hadir di abad-abad sebelumya.
Sebelumnya, esai "In the Battle Against Coronavirus, Humanity Lacks Leadership" yang ditulis oleh Yuval Noah Harari, adalah satu esai historis yang secara tidak langsung mengaktifkan memori itu. Memori dalam melawan epidemi-epidemi sebelum Covid-19 ini hadir di sekitaran kita. Dalam esainya, Harari menjelaskan panjang lebar epidemi apa saja yang pernah menghantam dunia sampai bagaimana kita mengatasinya bukan melalui deglobalisasi dunia.
Bangun tembok, batasi perjalanan, kurangi perdagangan. Karantina jangka pendek sangat penting untuk menghentikan epidemi, tapi isolasionisme jangka panjang akan menyebabkan keruntuhan ekonomi tanpa menawarkan perlindungan nyata dari penyakit menular ini. Seperti yang dilakukan oleh pemerintah saat ini.
Justru yang dilakukan oleh masyarakat dari abad ke-14 sampai awal abad ke-21 malah sebaliknya. Penangkal sesungguhnya dari epidemi bukanlah segregasi, melainkan kerja sama. Hal itu dilakukan bukan hanya satu Negara tapi membangun solidaritas dan kepercayaan antara satu sama lain---bahkan Negara-negara lain turut bersolidaritas untuk melawan pandemi ini.
Namun, satu hal yang terjadi di antara Negara-negara lain adalah berusaha untuk mempolitisir objek ini. Bahkan terkadang hoax pun berlalu-lalang bersamaan dengan coronavirus itu sendiri. sehingga tak menghasilkan ketenangan dan kepercayaan bagi diri kita masing-masing. Parahnya tak banyak dari kita mengalami sisi traumatis yang cukup akut hadir merusak kesadaran perseputal masyarakat. Hal tersebut, disebabkan oleh disinformasi yang tak mampu untuk difilter oleh Negara dan diri kita sendiri. Hasilnya kesalahan itu berulang terus menerus sampai memakan cukup banyak korban.
Saat ini, kasus coronavirus sudah menembus angka yang sangat bombastis, yaitu 549.430 kasus dengan angka kematian 24.872 jiwa serta pemulihan di setiap Negara mencapai 128.700 jiwa. Terkhusus di Indonesia, angka kasus coronavirus sudah mencapai 1,046 kasus dengan angka kematian 87 jiwa serta yang terpulihkan baru mencapai 46 jiwa (sumber: www.worldmeters.info/coronavirus diakses 27 Maret 2020).
Angka di atas bukanlah sebuah konspirasi yang telah ditetapkan oleh dunia ini. Angka-angka tersebut adalah nyawa kemanusiaan yang telah mungkin dicintai oleh corona. Dalam artian, mencintai orang-orang yang tak dibenci pula oleh politisi dan manusia yang bebal---serta yang masih percaya dengan mitos penyelamatan dewa-dewa seperti yang dilakukan oleh manusia abad ke-14 saat mereka diserang oleh epidemi black death.
Mesti disadari bahwa kelalaian, stigma dan ketidakpercayaan terhadap peristiwa yang berulang adalah musuh besar dalam diri kita. Mungkin, dikarenakan pemimpin-pemimpin Negara masih tidak peduli dengan keadaan seperti ini. Ketidakpedulian itu terlihat dari sikap tegas dan solusi yang diambilnya cukup tak berkesan di hati masyarakat. Seperti memberhentikan aktivitas kerja, namun tak ada solusi bagaimana buruh, tani, ojek online, dan kaum miskin kota dapat menyantap makanan tanpa kaki yang bergerak ke mana-mana.
Meski pemerintah rada-rada serius dengan beberapa hastage yang berkeliaran di media sosial---seperti #dirumahaja, #physicaldistanting dan #lockdownindonesia---namun kenyataannya, hal itu tak cukup berhasil dengan berlalu-lalangnya masyarakat di tempat-tempat keramaian tanpa mempertimbangkan dirinya dan keluarganya. Putusnya kepercayaan tersebut, tak terlepas dari akumulasi masyrakat terhadap pemerintah yang juga tak serius dalam menangasi setiap persitiwa yang terjadi sebelumnya.
Saat Wuhan diguncang oleh pandemi ini, pemerintah Indonesia masih menganggap ini adalah hal yang biasa, bahkan masyarakatpun menganggapnya sebagai bahan candaan. Pada titik ini, pemerintah belum sama sekali menjadikan pengetahuan ini sebagai diskursus sosial. Dalam pandangan Foucault, pengetahuan akan menjadi diskursus sosial apabila kekuasaan mengkonstruksinya sebagai wacana melalui alat-alat aparaturnya sendiri.
Artinya, pemerintah belum peka terhadap kondisi di Wuhan, padahal salah satu strategi menanggulanginya adalah bagaimana pemerintah menjadikannya sebagai objek yang bisa diantisipasi sebelum merebak di Indonesia. Begitupun saat coronavirus ini menghantam Negara-negara lain---Pemerintah masih menganggapnya sebagai angina berlalu.
Kehilangan solidaritas global---atau kehilangan pemimpin Negara itulah yang membuat masyarakat mengalami posisi yang sangat berbahaya. Terlebih lagi, kemarin telah terjadi ketidakpercayaan di antara kekuasaan---antara menteri, presiden hingga gubernur---menjadi cerminan pada masyrakat akan ketidakpercayaan itu. Hal tersebut mengakibatkan pula pada ketidakpercayaan masyarakat pada beberapa hastage #dirumahaja, #socialdistracting dan #lockdownindonesia. Artinya, dari awal pemerintah seperti tak mempersiapkan paying sebelum hujan ini semakin deras.
Padahal rentetan tersebut bisa dijadikan sebagai referensi untuk mengaktifkan memori masyarakat, apalagi Indonesia juga pernah mengalami rentetan persitiwa wabah dari sebelumnya. Namun, pada intinya, kehilangan itu bukanlah menjadi halangan, tulisan ini kemungkinan bisa menjadi sebuah bacaan yang bisa mengaktifkan solidaritas atau saling pengertian kita---sesama warga negara maupun kepada pemerintah sendiri dan begitupun sebaliknya.
Seperti dalam novel "Love in the Time of Corela (1985)" yang ditulis oleh Gabriel Garcia Marquez, di mana pada saat corela menyebar di spanyol, cara Florentino Ariza mengentikan penyebaran itu adalah menjauhi Fermina Daza dalam waktu yang cukup lama serta mempercayakan pada Dr. Juvenal Urbino untuk menyelesaikan tugasnya mencintai Fermina dengan mengobatinya. Di novel ini, kita menemukan cinta dan penderitaan tak memiliki pembatas, ia memang berjalan beriringan. Namun, jalan itulah kita bisa menghentikan wabah corela itu.
Oleh sebab itu, kunci untuk menghantikan penyebaran coronavirus itu, dengan cara physical distanting, jaga kebersihan, saling percaya, saling bersolidaritas dan #dirumahaja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H