Mohon tunggu...
Dwi Rezki Hardianto
Dwi Rezki Hardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Nama sapaanya Ari. Mahasiswa Magister Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadja Mada

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Coronavirus, Mengapa Kita Tak Pernah Belajar dari Masa Lalu?

30 Maret 2020   12:02 Diperbarui: 30 Maret 2020   12:04 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari Tirto.id

Saat Wuhan diguncang oleh pandemi ini, pemerintah Indonesia masih menganggap ini adalah hal yang biasa, bahkan masyarakatpun menganggapnya sebagai bahan candaan. Pada titik ini, pemerintah belum sama sekali menjadikan pengetahuan ini sebagai diskursus sosial. Dalam pandangan Foucault, pengetahuan akan menjadi diskursus sosial apabila kekuasaan mengkonstruksinya sebagai wacana melalui alat-alat aparaturnya sendiri.

Artinya, pemerintah belum peka terhadap kondisi di Wuhan, padahal salah satu strategi menanggulanginya adalah bagaimana pemerintah menjadikannya sebagai objek yang bisa diantisipasi sebelum merebak di Indonesia. Begitupun saat coronavirus ini menghantam Negara-negara lain---Pemerintah masih menganggapnya sebagai angina berlalu.

Kehilangan solidaritas global---atau kehilangan pemimpin Negara itulah yang membuat masyarakat mengalami posisi yang sangat berbahaya. Terlebih lagi, kemarin telah terjadi ketidakpercayaan di antara kekuasaan---antara menteri, presiden hingga gubernur---menjadi cerminan pada masyrakat akan ketidakpercayaan itu. Hal tersebut mengakibatkan pula pada ketidakpercayaan masyarakat pada beberapa hastage #dirumahaja, #socialdistracting dan #lockdownindonesia. Artinya, dari awal pemerintah seperti tak mempersiapkan paying sebelum hujan ini semakin deras.

Padahal rentetan tersebut bisa dijadikan sebagai referensi untuk mengaktifkan memori masyarakat, apalagi Indonesia juga pernah mengalami rentetan persitiwa wabah dari sebelumnya. Namun, pada intinya, kehilangan itu bukanlah menjadi halangan, tulisan ini kemungkinan bisa menjadi sebuah bacaan yang bisa mengaktifkan solidaritas atau saling pengertian kita---sesama warga negara maupun kepada pemerintah sendiri dan begitupun sebaliknya.

Seperti dalam novel "Love in the Time of Corela (1985)" yang ditulis oleh Gabriel Garcia Marquez, di mana pada saat corela menyebar di spanyol, cara Florentino Ariza mengentikan penyebaran itu adalah menjauhi Fermina Daza dalam waktu yang cukup lama serta mempercayakan pada Dr. Juvenal Urbino untuk menyelesaikan tugasnya mencintai Fermina dengan mengobatinya. Di novel ini, kita menemukan cinta dan penderitaan tak memiliki pembatas, ia memang berjalan beriringan. Namun, jalan itulah kita bisa menghentikan wabah corela itu.

Oleh sebab itu, kunci untuk menghantikan penyebaran coronavirus itu, dengan cara physical distanting, jaga kebersihan, saling percaya, saling bersolidaritas dan #dirumahaja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun