Mohon tunggu...
Dwi Putri Oktaviani
Dwi Putri Oktaviani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

This is me

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Waktu Senin (Bagian 6)

19 Desember 2023   00:41 Diperbarui: 19 Desember 2023   01:01 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku awalnya mengira bahwa setelah projek bersama kita telah selesai, maka itu berarti hubunganku dengan Langit juga selesai. 'Hubungan' disini maksudku adalah tentang kita yang dapat berinteraksi satu sama lain selayaknya teman. Aku sendiri ragu untuk menyebutkan bahwa hubunganku dan Langit dapat disebut teman hanya karena projek yang kami kerjakan bersama. Alasan kenapa aku ragu menyatakan bahwa kami adalah teman karena setelah kami menyelesaikan kerajinan kami pada senin minggu lalu, besok dan seterusnya Langit tidak hadir kembali ke sekolah. Alasannya pun tidak jelas karena wali kelasku berkata bahwa perihal absensi Langit ialah yang akan mengurus, membuat aku termasuk Sarah bingung akan hal itu. 

Namun melihat Langit yang tengah asik menyantap bekal makan siangnya di hadapanku, membuat aku merasa bahwa bocah lelaki dengan mata legam tetapi cerah karena wataknya yang periang ini secara tidak langsung menyatakan kami adalah teman. Hari ini adalah hari senin dan aku sedikit terkejut ketika melihat kehadirannya di pagi hari. Maksudku, kemana dia selama enam hari setelah waktu senin itu? Dia terlihat seperti orang yang tidak peduli dengan pendidikannya. 

Langit yang baru saja menyuapkan nasi ke dalam mulutnya melirik kearahku, mungkin sadar diperhatikan membuatnya memecahkan atensinya.

"Kenapa, sih? Kamu mau?" Langit bertanya sambil mengunyah dan menyodorkan sesuap nasi kearahku. Aku tersenyum kecut sambil membuang pandanganku kearah buku yang tengah kubaca diatas meja taman.

"Nggak, ada nasi di sudut mulut kamu." jawabku acuh. Langit terlihat tertegun sambil buru - buru mengelap sekitar mulutnya dan menunjukkan cengiran khasnya.

"Maaf ya, makanan enak itu harus dinikmati. Nikmati makananmu sebelum kamu mati."

Ucapan Langit barusan membuatku melirik kearahnya yang melanjutkan kegiatannya menghabiskan kotak bekal makan siang miliknya. 

"Kamu berkata seperti akan mati saja."

Langit melirik sambil mengangkat sedikit alisnya. "Nggak ada yang tahu."

Aku mengangkat bahuku acuh kemudian menopang daguku sambil melanjutkan kegiatan membacaku yang terkadang aku lakukan saat aku tidak tertarik untuk menyantap makan siang. Langit yang telah selesai menyantap makanannya tampak berdoa untuk berterimakasih kepada Tuhan atas makanan yang sudah masuk ke dalam perutnya, ucapan syukur yang sepertinya biasa ia lakukan. 

Tidak ada pembicaraan selama lima menit setelah itu, pandangan Langit tertuju pada siswa yang tengah asik bermain basket. Ia tampak tersenyum tipis sebelum mengalihkan pandangannya kearahku.

"Rum, aku senang hari ini aku dapat nilai 90 di tugas kerajinan kita." ucapnya dengan tubuh yang sesekali berguncang, menunjukkan rasa senangnya. Aku mendongak dan mendengus sekali.

"Ya aku juga." jawabku sambil menutup bukuku, tetap menopang dagu sambil menatap kearahnya. "Kamu itu selalu hadir cuma pas hari senin saja, ya."

Langit tiba - tiba menunjukkan senyum jailnya sambil meniruku yang menopang dagu dan menatapnya. "Kangen, ya?"

Aku mendecih dan memberikan pandangan malas terhadap pertanyaannya yang menggelikan. "Nggak sama sekali."

Bibir Langit mengerucut seperti memberikan ekspresi kecewa sebelum ia tertawa dan melipat kedua tangannya diatas meja. 

"Aku cuma...... ada urusan." ucapnya sambil menyengir. "Sarah kemana?"

"Nggak tahu, akhir - akhir dia selalu mejeng di depan kelas lain. Sepertinya mengincar seseorang." jawabku jujur.

Langit tertawa sekali lagi dan menggelengkan kepalanya geli. "Jadi...... kamu kesepian? Kamu beruntung hari ini aku masuk."

"Nggak juga, aku nggak ngerasa kesepian." Langit mengangkat alisnya, merasa tidak percaya dengan jawabanku.

"Aku serius. Aku merasa ada atau tidaknya Sarah, bahkan kau, duniaku gitu - gitu saja dan tidak ada menariknya. Aku terbiasa sendiri." lanjutku dengan enteng, membuat Langit terdiam.

Tak!

Aku terkejut dan memegang dahiku dengan marah. Apa - apaan itu? Baru saja dia melayangkan jarinya untuk menjentikkan dahiku? Tidak sopan. Pelaku yang tanpa aba - aba menjentikkan jarinya ke dahiku hanya tersenyum gemas sambil mengepalkan kedua tangannya.

"Hei! Apa yang-"

"Aku tidak terima!" potong Langit dengan suara lantang seperti ada api membara tak kasat mata yang berada di sekitarnya. Aku mendengus kesal, bingung dengan maksud dan tujuannya.

"Kamu!" Langit menunjukku sambil menatap kedua bola mataku dengan kilat membaranya. 

"Aku pastikan aku akan mematahkan itu, Rum. Kamu nggak akan sendiri lagi!" lanjutnya dengan nada lantang, seperti sedang meyakinkan.

"Apa - apaan, sih?" ucapku dengan nada sebal sambil tetap memasang wajah bertanya - tanya.

Langit tidak menjawab keherananku dan hanya memasang senyuman lebar di wajahnya itu. "Mulai besok ya."

"Hah???"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun