Di waktu Senin pada saat jam pelajaran telah selesai, ketika semua orang berkemas untuk pulang, aku dan Langit masih menetap di dalam kelas untuk mengerjakan tugas kelompok yang diperintahkan oleh guru kami. Dengan stik es krim di tanganku, Langit memberi usul untuk membuat kerajinan tiga dimensi sekolah dan aku pun menyetujuinya. Kami terlarut dalam kegiatan merakit yang kami lakukan, tidak ada pembicaraan sampai setengah jam kemudian Langit memecah keheningan.
"Kamu percaya nggak kalau aku nggak bisa main piano?" tanyanya dengan cengiran khas yang selalu menempel di raut wajah tegasnya itu.
Aku berkerut sambil menatap tidak percaya kearahnya, sebelum kembali memberi atensi pada rakitan sekolah yang kami buat.Â
"Nggak." jawabku singkat. Lagipula bukannya minggu kemarin aku diberi tahu Sarah kalau Langit itu izin untuk mengikuti lomba piano? Aku heran, apa dia bermaksud untuk merendah?.
"Aku serius." Langit menghentikan kegiatannya sambil duduk tegap dan menatap kearahku yang masih fokus untuk merakit. "Soal aku yang jago main piano atau ikut perlombaan itu cuma ngarang aja."
Aku menatap kembali kearah Langit, mendeteksi ada atau tidaknya kebohongan dari raut wajahnya. Kulihat hanyalah ekspresi Langit yang terlihat serius namun tenang dengan senyuman tipis yang masih terukir di wajahnya.Â
"Aku bingung harus merespon bagaimana." jawabku jujur membuat Langit terkekeh pelan.
"Kamu nggak harus merespon, sih."Langit mengambil sebuah kain untuk menyeka tangannya yang terkena lem. "Tapi kamu nggak kepo alasan sebenarnya aku izin selama empat hari?"
"Lima, kamu bolos sehari." ralatku sambil mendengus pelan. "Aku juga nggak terlalu ingin tahu alasan kamu mengambil izin empat hari dengan alasan ikut lomba piano dan bolos sehari. Tetapi berbohong dan membolos bukanlah perilaku yang baik."
"Aku tahu..." Langit menghela napas dengan senyumannya yang semakin lebar membuatku mendengus sekali lagi.
"Kamu terlihat nggak serius dengan ucapanmu." dengusku sambil menempel rakitan terakhir dari tugas kerajinan yang kami kerjakan.
"Aku serius," Langit menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal sambil memberi ekspresi yang sulit untuk diartikan. "Kamu ini orangnya terlalu serius ya, Rum."
Aku mendecak sambil mengambil kain lainnya dan menyeka tanganku yang terkena lem. "Udah banyak yang bilang begitu, aku cuma mengungkapkan apa yang harus aku katakan."
Langit terlihat melongo sambil mengedipkan kedua matanya berkali - kali sebelum tersenyum miring sambil menyandarkan punggungnya di kursi yang ia duduki. "Berarti nggak sulit bagimu untuk mengungkapkan perasaanmu terhadap seseorang?"
"Aku nggak pernah memikirkan perasaan semacam itu." jawabku sambil mengambil beberapa cat warna untuk mewarnai kerajinan tiga dimensi sekolah yang telah kami rakit bersama.
"Kamu nggak pernah suka sama seseorang?" Langit terlihat terkejut sambil memperhatikan gerak - gerikku.Â
"Untuk apa? hal semacam itu nggak penting bagiku." jawabku sambil memberikan sebuah kuas ke Langit.
Langit terdiam sejenak, kemudian tangannya bergerak untuk mengambil kuasnya dari tanganku. "Kita harus menunggu sampai lemnya kering."
"Aku tahu." jawabku sambil melirik kearah raut wajahnya yang masih berkerut. "Ada yang mau kamu tanyakan?"
"Eh?" Langit terlihat sedikit terkesima sambil memutar kuas di ruas jarinya dengan gumaman pelan yang keluar dari mulutnya.
"Nggak ada. Tapi kamu sadar nggak? Kalau kamu menarik." ucapnya sambil sedikit tersenyum dan menatap kearahku.
Alisku terangkat, bingung. "Nggak ada yang menarik tentangku, jauh dibandingkan denganmu."
"Aku? Kenapa? Hei, kamu nggak bisa sembarangan menilai dari luar seperti itu. Pandangan tiap orang itu berbeda, buktinya dengan melihat beberapa keunikanmu yang tidak seperti kebanyakan orang yang kutemui saja sudah membuatmu menarik." ucap Langit sambil menyunggingkan senyum menantang yang membuatku seperti mendapatkan ajakan tidak langsung untuk berdebat.
"Berbeda bukan berarti menarik." sahutku sambil menatap sinis kearahnya.
"Justru berbeda itu menarik." balasnya dengan senyum menantang yang masih terpasang di wajahnya.
Aku terdiam dan tidak membalas, hanya menatapnya yang masih menyombongkan senyumannya itu. Bocah lelaki yang selalu memasang cengiran di wajahnya dan selalu terlihat tenang itu, memiliki sifat yang terkadang menyebalkan tetapi mampu untuk meruntuhkan tembok penghalangku yang tadinya sengaja aku bangun untuk membatasi interaksi antar aku dan dirinya. Dari sini aku sudah paham alasan kenapa Langit masih memiliki teman padahal untuk terlihat di sekolah saja jarang sekali. Langit itu cerah dan menyenangkan, siapapun pasti mau untuk berteman dengannya, tidak sepertiku.
"Terserah saja, Langit." balasku pada akhirnya sambil mengarahkan kuasku kearah cat warna, mulai mengecat kerajinan kami. Langit tertawa sebagai respon sambil mengikuti gerakku untuk ikut mengecat menggunakan kuas di genggamannya. Kami pun kembali larut dalam kefokusan pada waktu senin sore hari itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H