Alisku terangkat, bingung. "Nggak ada yang menarik tentangku, jauh dibandingkan denganmu."
"Aku? Kenapa? Hei, kamu nggak bisa sembarangan menilai dari luar seperti itu. Pandangan tiap orang itu berbeda, buktinya dengan melihat beberapa keunikanmu yang tidak seperti kebanyakan orang yang kutemui saja sudah membuatmu menarik." ucap Langit sambil menyunggingkan senyum menantang yang membuatku seperti mendapatkan ajakan tidak langsung untuk berdebat.
"Berbeda bukan berarti menarik." sahutku sambil menatap sinis kearahnya.
"Justru berbeda itu menarik." balasnya dengan senyum menantang yang masih terpasang di wajahnya.
Aku terdiam dan tidak membalas, hanya menatapnya yang masih menyombongkan senyumannya itu. Bocah lelaki yang selalu memasang cengiran di wajahnya dan selalu terlihat tenang itu, memiliki sifat yang terkadang menyebalkan tetapi mampu untuk meruntuhkan tembok penghalangku yang tadinya sengaja aku bangun untuk membatasi interaksi antar aku dan dirinya. Dari sini aku sudah paham alasan kenapa Langit masih memiliki teman padahal untuk terlihat di sekolah saja jarang sekali. Langit itu cerah dan menyenangkan, siapapun pasti mau untuk berteman dengannya, tidak sepertiku.
"Terserah saja, Langit." balasku pada akhirnya sambil mengarahkan kuasku kearah cat warna, mulai mengecat kerajinan kami. Langit tertawa sebagai respon sambil mengikuti gerakku untuk ikut mengecat menggunakan kuas di genggamannya. Kami pun kembali larut dalam kefokusan pada waktu senin sore hari itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H