"Aku rasa bukan hal yang buruk untuk mencoba bekerjasama selain denganku."
Aku melirik sinis ke arah Sarah yang dengan santainya mengucapkan kalimat itu kearahku sembari menyesap jus mangganya. Kami sedang menghabiskan waktu istirahat di Kantin Sekolahku, tempat dimana para siswa biasa berbincang dan mengisi perut mereka.
"Aku benar -- benar yakin kalau hari Senin itu hari buruk." keluhku sembari menguburkan wajahku di meja.
"Kamu nggak bisa nyalahin hari Senin tentang hal itu. Â Stop berbicara bahwa hari senin itu buruk, aku ini salah satu dari banyak orang yang lahir di hari Senin tau!"
Aku mendesis, tidak menghiraukan teguran Sarah. "Izinkan aku untuk bertukar pasangan tugas kali ini saja denganmu..." pintaku memelas.
"Yang menentukan kan bukan aku..... Lagipula, Langit nggak terlalu buruk untuk dijadikan teman kerjasama. Aku dengar dia nggak sebodoh yang terlihat." balas Sarah sembari mengangkat bahu dengan ekspresi tidak pedulinya itu, menanggapi permasalahan yang aku lebihkan bukanlah sesuatu yang akan menyebabkan hari akhir.
Aku terdiam cukup lama. Ini hal yang baru bagiku, biasanya aku selalu sekelompok dengan orang - orang yang tidak terlalu menonjol sama halnya dengan diriku. Aku punya firasat Langit tidak seperti mereka dan aku tidak merasa adanya kecocokan partner antara aku dengan Pria tinggi dengan rambut ikal itu.
"Aku hanya tidak bisa bergaul dengan sosok aktif seperti dia." Ini bukanlah alasan. Memang benar adanya kalau aku merasa Langit terlalu aktif dan berbanding terbalik dengan diriku yang sulit untuk berbincang dengan orang lain selain Sarah.
"Kamu hanya belum mencoba," Sarah tersenyum saat kedua bola mata cokelatnya menatap kearahku. "Aku pernah ngobrol bareng Langit dan dia anaknya asik, kok."
Mengandalkan kepercayaanku akan ucapan Sarah di Kantin pada istirahat pertama sebelumnya, membuatku langsung menjalankan aksi untuk menyampaikan tugas yang diberikan Guruku ke Langit di jam pulang. Melihat dirinya yang tengah sibuk merapihkan tas dan hendak keluar kelas membuatku buru -- buru mencuri satu -- satunya kesempatan.
Sekarang, harus sekarang, atau tidak akan pernah.
"Langit!" panggilku yang langsung menyita seluruh atensi teman sekelas yang masih belum meninggalkan kelas, termasuk Langit.
Ah, malu sekali. Apakah suaraku terlalu keras?.
Terlihat jelas raut bingung tercetak di wajah milik Langit, tetapi badannya bergerak untuk terlebih dahulu menghampiriku, membuat kakiku seperti terpaku ditempat.Â
"Kenapa?" tanya Langit dengan kepalanya yang ia miringkan ke kanan, ekspresi bingung sekaligus penasaran menghiasi wajahnya, menungguku untuk berbicara.
Sepersekian detik, aku mulai kembali ke kesadaranku. Menarik napas dengan gugup, bola mata kecokelatanku mulai menangkap sorot mata hitam legam Langit yang tenang, mengalirkan ketenangan yang tidak tahu darimana berasal. Sorot matanya? Suaranya? Atau cara dia menghargai lawan bicaranya?.
"Ah, saat kamu dihukum tadi.... Pak Andi memberikan tugas kelompok. Kita berpasangan dan tugasnya adalah membuat kerajinan tiga dimensi. Kamu ada waktu untuk mengerjakan kapan?"
Langit bergumam, tampak memikirkan jawaban untuk pertanyaanku. Aku dapat merasakan keraguan pada gestur tubuhnya, mungkin karena dia bingung waktu yang pas?
"Besok sehabis pulang sekolah saya sepertinya bisa. Kamu keberatan?" tanyanya sambil melemparkan senyuman seolah ia telah mendapatkan jawaban yang pasti.
Aku mengangguk, ragu untuk membalas senyumannya jadi aku hanya memberikan anggukan sebagai respon.Â
"Nggak kok, besok sehabis pulang sekolah ya."
"Oke, saya duluan." pamitnya masih dengan senyumannya dan mulai memutar tubuhnya untuk berbalik menuju pintu kelas.
Setelah percakapan singkat kami barusan, Langit langsung menuju teman -- temannya yang sudah menunggu diluar kelas. Mereka terlihat akrab dan dekat, membuatku sedikit iri dengan Langit yang bisa mudah mengakrabkan diri dengan orang sekitar. Sosoknya yang terlihat mudah memiliki teman berbanding terbalik denganku yang hanya memiliki Sarah sebagai satu -- satunya temanku.Â
Tiba-tiba merasa tidak enak hati tidak membalas senyuman dia tadi.
Aku menghela napas dan dalam hati aku banyak berharap jika kami dapat bekerjasama dengan baik, terlebih aku sedikit tidak percaya diri dengan kepribadian kita yang benar -- benar bertolak belakang. Rasanya ingin sekali melompati waktu  ke masa depan dimana aku melewati masa saat bekerjasama dengan Langit, sehingga aku tidak perlu merasakan kecemasan yang aku rasakan saat ini.
"Ayo, dasar lambat!"Â
Aku tersadar akan lamunanku dan melihat kearah pintu kelas, disana ada Sarah yang sudah kembali dari toilet. Wajahnya terlihat cemberut dengan cepol yang dikuncir asal tetapi tidak diragukan kalau Sarah terlihat cantik. Aku gelagapan dan mulai mengambil tasku buru - buru ketika aku melihat Sarah menghentakan kakinya dan mulai berjalan meninggalkanku.
"Hei, tunggu!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H