Dalam dinamika kehidupan bangsa yang semakin kompleks, nilai-nilai Pancasila tetap menjadi pedoman fundamental untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Salah satu nilai yang menonjol dalam filsafat Pancasila adalah gotong royong, yang tercermin dalam sila ketiga, "Persatuan Indonesia." Gotong royong tidak hanya sekadar praktik sosial, tetapi juga filosofi hidup yang menjadi landasan pendidikan karakter di Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi bangsa berakar pada nilai-nilai luhur budaya Indonesia, termasuk gotong royong. Praktik ini sudah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat di berbagai daerah. Contoh nyata terlihat pada masyarakat Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, di mana semangat kebersamaan itu diwujudkan dalam tradisi lokal seperti persiapan acara begawe. Dalam tradisi ini, warga bahu-membahu mempersiapkan segala keperluan, mulai dari pembersihan beras hingga memasak dan menyajikan makanan bagi para tamu. Aktivitas ini dilakukan secara kolektif oleh anggota banjar atau komunitas setempat, menunjukkan bahwa gotong royong tidak sekadar kata, tetapi tindakan nyata.
Gotong Royong: Implementasi Pendidikan Pancasila dalam Kehidupan
Dalam filsafat Pendidikan Pancasila, gotong royong bukan hanya konsep teoretis, melainkan bagian dari pembelajaran yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai ini mengajarkan pentingnya kerja sama, saling membantu, dan menghormati perbedaan untuk mencapai tujuan bersama. Pendidikan Pancasila berupaya menanamkan nilai ini sejak dini melalui kurikulum, kegiatan ekstrakurikuler, hingga praktik nyata di masyarakat.
Gotong royong menjadi refleksi dari harmoni sosial yang menjadi cita-cita bangsa. Hal ini relevan dengan pandangan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga proses pembentukan karakter. Dalam konteks masyarakat modern yang sering kali terfragmentasi oleh individualisme, gotong royong menjadi antidot yang menguatkan solidaritas sosial.
Pendidikan Pancasila: Dari Konsep ke Praktik
Pendidikan Pancasila bertujuan untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan moral. Gotong royong adalah salah satu sarana untuk mewujudkan tujuan ini. Ketika siswa diajarkan pentingnya gotong royong, mereka belajar untuk mengesampingkan egoisme dan bekerja sama demi kepentingan bersama.
Di banyak sekolah, nilai-nilai gotong royong sudah mulai diajarkan melalui berbagai kegiatan, seperti kerja bakti, proyek kelompok, hingga partisipasi dalam kegiatan sosial. Namun, tantangan muncul ketika nilai ini harus diterapkan dalam skala yang lebih luas, seperti di lingkungan masyarakat atau tempat kerja. Di sinilah peran Pendidikan Pancasila menjadi semakin penting sebagai penjembatan antara teori dan praktik.
Budaya Lokal sebagai Penguat Pendidikan Pancasila
Budaya lokal memiliki peran signifikan dalam memperkuat implementasi filsafat Pendidikan Pancasila. Tradisi seperti begawe di Kecamatan Pujut menunjukkan bagaimana nilai-nilai Pancasila, terutama gotong royong, dapat hidup dan berkembang dalam masyarakat. Budaya lokal tidak hanya menjadi cerminan nilai-nilai Pancasila, tetapi juga sarana untuk menanamkan nilai-nilai tersebut kepada generasi muda.
Masyarakat Sasak, melalui tradisi begawe, memberikan contoh konkret bagaimana pendidikan karakter dapat dijalankan secara kolektif. Tidak ada hierarki yang memisahkan antara yang tua dan yang muda, antara laki-laki dan perempuan; semua bekerja bersama untuk tujuan yang sama. Tradisi ini mengajarkan bahwa keberhasilan suatu kegiatan tidak tergantung pada satu individu, tetapi pada kebersamaan.
Tantangan dan Harapan
Meskipun gotong royong telah menjadi bagian dari budaya Indonesia, nilai ini menghadapi tantangan besar di era modern. Individualisme, urbanisasi, dan kemajuan teknologi sering kali menggeser pola hidup masyarakat dari kolektif ke individual. Nilai gotong royong semakin tergerus, terutama di perkotaan, di mana interaksi sosial cenderung lebih minimal.
Pendidikan Pancasila memiliki tugas besar untuk menghidupkan kembali nilai gotong royong dalam konteks kehidupan modern. Ini tidak berarti memaksakan pola hidup tradisional ke masyarakat urban, tetapi mencari cara baru untuk menanamkan nilai tersebut, misalnya melalui kerja tim di tempat kerja, kolaborasi dalam komunitas virtual, atau partisipasi dalam gerakan sosial.
Harapannya, Pendidikan Pancasila dapat terus relevan dengan tantangan zaman. Dengan memperkuat pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Pancasila, Indonesia dapat mencetak generasi yang tidak hanya kompeten secara profesional, tetapi juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi.
Filsafat Pendidikan Pancasila menempatkan gotong royong sebagai nilai inti yang tidak hanya penting untuk menjaga persatuan, tetapi juga membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Contoh-contoh seperti tradisi begawe menunjukkan bahwa nilai ini bukan sekadar teori, tetapi hidup dan nyata di tengah masyarakat.
Pendidikan Pancasila memiliki peran penting untuk memastikan bahwa nilai-nilai seperti gotong royong tidak hanya diwariskan, tetapi juga diperbarui agar relevan dengan konteks zaman. Di tengah tantangan modernitas, nilai ini tetap menjadi harapan untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang harmonis dan inklusif. Mari kita jadikan gotong royong sebagai identitas dan kebanggaan bangsa yang terus kita pelihara dan perkuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H