Mohon tunggu...
Dwi Pangga
Dwi Pangga Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa Pascasarjana S3 Undiksha

Saya Dosen Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Mandalika (UNDIKMA) saat ini sedang menempuh Pascasarjana S3 di UNDIKSHA

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pendidikan: Alat Kuasa atau Senjata Perlawanan

10 Desember 2024   11:00 Diperbarui: 11 Desember 2024   07:34 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Kegitan Pendidikan di Sekolah untuk Persiapan Masa Depan Anak dan Bangsa (Sumber: Foto Kegiatan PPDB SMPN 15 Mataram)

Pernahkah Anda berpikir bagaimana pendidikan memengaruhi jalannya sejarah, dari masa kerajaan hingga zaman modern? Di setiap era, pendidikan selalu berada di persimpangan jalan: menjadi alat bagi penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya atau justru menjadi senjata bagi mereka yang melawan dominasi tersebut. Mari kita lihat bagaimana relasi ini telah berkembang dan mengapa relevansinya tetap kuat hingga hari ini.

Kerajaan dan Pendidikan sebagai Alat Kekuasaan

Sejarah Nusantara mencatat, pada masa kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit atau Sriwijaya, penguasa menggunakan pendidikan sebagai salah satu instrumen untuk menanamkan loyalitas. Pendidikan meski terbatas pada kalangan bangsawan menjadi sarana untuk mewariskan ideologi kerajaan kepada generasi berikutnya. Raja dan bangsawan mempelajari strategi perang, tata kelola kerajaan, serta filsafat yang mendukung legitimasi mereka.

Namun, pendidikan pada masa itu bukanlah hak semua orang. Rakyat jelata hanya menerima ajaran yang dianggap perlu, seperti kemampuan bertani atau berdagang. Ini menunjukkan bahwa pendidikan telah lama berperan sebagai alat stratifikasi sosialmembedakan mereka yang memiliki kuasa dari yang dikuasai.

Pendidikan dalam Perjuangan Kemerdekaan

Beranjak ke era pergerakan kemerdekaan, pendidikan menjadi senjata ampuh untuk melawan penjajahan. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Kartini adalah bukti nyata bagaimana pendidikan dapat menciptakan kesadaran kritis terhadap ketidakadilan. Kartini, misalnya, melalui surat-suratnya mengkritik sistem yang mengekang perempuan. Sedangkan Soekarno dan Hatta, melalui pemahaman mereka tentang filsafat dan politik, mampu merancang strategi untuk meruntuhkan dominasi kolonial.

Pada masa ini, pendidikan berubah wajah. Dari sekadar alat kekuasaan, ia mulai menjadi ruang perlawanan. Pendidikan melahirkan gagasan-gagasan baru yang meruntuhkan mitos superioritas penjajah. Tidak hanya itu, pendidikan juga membangun solidaritas di antara rakyat yang sebelumnya terpecah-pecah oleh berbagai perbedaan.

 

Era Kemerdekaan: Pendidikan dan Intrik Kekuasaan

Namun, setelah kemerdekaan, kita melihat sisi lain dari pendidikan. Dalam sistem politik yang silih berganti, pendidikan kembali menjadi alat bagi penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Kurikulum sekolah sering kali diarahkan untuk menciptakan citra positif pemerintah yang sedang berkuasa. Misalnya, sejarah diajarkan dengan narasi yang lebih menonjolkan jasa tokoh tertentu dan mengesampingkan yang lain.

Institusi pendidikan pun kerap kali menjadi ajang kontrol. Dari kampus hingga sekolah dasar, penguasa menggunakan berbagai cara untuk memastikan bahwa peserta didik menerima ideologi yang sesuai dengan kepentingan mereka. Di sisi lain, pendidikan yang berkualitas tinggi sering kali hanya dapat diakses oleh kelompok tertentu, menciptakan jurang ketimpangan sosial yang semakin dalam.

Membangkitkan Kesadaran Kritis Melalui Pendidikan

Namun, cerita tentang pendidikan tidak berhenti sebagai alat kekuasaan. Di sisi lain, pendidikan juga menjadi medan perjuangan bagi mereka yang ingin melawan struktur yang tidak adil. Inilah yang disebut oleh Paulo Freire sebagai “pedagogi pembebasan.” Dalam pendekatan ini, pendidikan bukan sekadar menghafal, tetapi juga dialog proses di mana guru dan murid bersama-sama memahami realitas mereka dan mencari cara untuk mengubahnya.

Sebagai contoh, gerakan petani di Brasil yang dipimpin oleh Freire berhasil menggunakan pendidikan untuk membangun kesadaran kolektif di antara masyarakat miskin. Mereka belajar membaca dan menulis, tetapi lebih dari itu, mereka belajar mengenali ketidakadilan dan merumuskan strategi untuk melawannya. Pendekatan serupa juga bisa kita temukan di Indonesia, terutama di komunitas-komunitas yang memperjuangkan hak-hak minoritas atau perlindungan lingkungan.

Refleksi untuk Masa Depan

Lalu, bagaimana dengan pendidikan kita hari ini? Dalam era yang serba digital ini, pendidikan menghadapi tantangan baru. Teknologi memberikan akses yang lebih luas, tetapi juga membawa risiko baru, seperti manipulasi informasi. Hal ini menjadikan pendidikan kritis semakin penting.

Di sisi kebijakan, pemerintah perlu memastikan bahwa pendidikan bukan hanya alat untuk melestarikan status quo, tetapi juga ruang yang mendukung inklusivitas dan keadilan. Kurikulum harus dirancang untuk mencerminkan keberagaman dan memberikan ruang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan.

Bagi pendidik, tantangan terbesarnya adalah bagaimana menciptakan lingkungan yang mendukung dialog dan pemikiran kritis. Tidak mudah, memang, terutama jika ada tekanan dari sistem yang lebih besar. Namun, di sinilah letak kekuatan pendidikan: meski sering kali dijadikan alat oleh penguasa, ia juga memiliki potensi besar untuk menciptakan perubahan.

 

Kesimpulan: Pendidikan, Arena Dialektis yang Abadi

Relasi antara pendidikan dan kekuasaan adalah cerminan dari dinamika sosial itu sendiri. Ia adalah arena di mana kepentingan saling bertarung, di mana dominasi dan resistensi berjalan beriringan. Dalam sejarah, kita telah melihat bagaimana pendidikan digunakan untuk memperkuat kekuasaan, tetapi juga bagaimana ia menjadi sarana perlawanan yang kuat.

Kini, giliran kita untuk menentukan, pendidikan seperti apa yang ingin kita wujudkan. Apakah kita akan membiarkannya menjadi alat untuk mempertahankan ketimpangan, ataukah kita akan menjadikannya ruang untuk membangun masyarakat yang lebih adil? Pilihan ada di tangan kita, dan sejarah menunggu untuk ditulis ulang (Dwi Pangga, Mahasiswa Pascasarjana S3 Undiksha).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun