Buku "Ketika Sejarah Berseragam" yang ditulis oleh Katharine E. Mcgregor membahas mengenai perjalanan panjang sejarah Indonesia yang disusun berdasarkan ideologi militer, analisis rangkaian sejarah ini dibahas melalui pemahaman Katharine dalam mempelajari historiografi Indonesia terutama dalam bidang militer. Buku ini juga berfokus kepada satu lembaga militer yaitu pusat sejarah ABRI, analisis dilakukan guna menjabarkan bagaimana upaya militer dalam membangun citra yang baik untuk anggotanya sendiri maupun masyarakat luas. Indonesia pada masa orde baru di dominasi oleh pengaruh militer hampir dalam tiap segi kehidupannya, hal tersebut dikarenakan peranganda yang dimiliki oleh militer. Dwifungsi militer mempermudah masuknya anggota militer kedalam posisi penting di pemerintahan, pengaruh besar ini dimanfaatkan untuk mengkontruksi sejarah melalui proyek-proyek pusat sejarah ABRI.
Militer menggunakan sejarah untuk membenarkan peran politik yang telah dilakukan, dalam hal ini sejarah memiliki fungsi sebagai gambaran masa lampau sehingga lembaga militer melakukan pelembagaan terhadap "ingatan resmi". "ingatan resmi" sebagai bentuk konstruksi masa lampau membuat pandangan masyarakat diyakinkan jika pemimpin bangsa yang baik berasal dari kalangan militer, hal ini terlihat pada terpilihnya susilo bambang yudhoyono sebagai presiden RI dimana beberapa tahun sebelumnya masyarakat sangat ingin melepaskan pengaruh militer dalam politik kenegaraan tetapi mereka tetap memilih golongan militer sebagai pemimpin mereka atas dasar doktrin militer tersebut. Berikut isi review dari buku ini :
Bab 1 dengan topik “Sejarah Dalam Pengabdian Kepada Rezim Yang Otoriter” menjelaskan mengenai bagaimana penulisan historiografi sejarah Indonesia, khususnya pada era Orde Baru atau masa kepemimpinan Soeharto. Pada masa kepemimpinannya, penulisan historiografi yang kritis masih seumur jagung. Terlebih Indonesia masih tergolong sebagai negara yang baru saja merdeka. Semenjak kemerdekaan Indonesia, sejarah adalah salah satu sarana yang digunakan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme untuk warganya. Periode Demokrasi Terpimpin atau Orde Lama dan Orde Baru, sejarah digunakan sebagai alat untuk menyatukan ideologi dan persamaan visi tentang masa lampau secara nasional.
Dalam Museum Nasional, terlihat bahwa masa lalu yang gemilang dipertahankan oleh Orde Lama. Namun Orde Baru menekankan pada tradisi panjang pemimpin militer dan tentang ancaman terhadap bangsa. Orde Baru juga meminimalisir sumbangan yang diberikan Presiden Soekarno pada sejarah. Orde Baru menyusun sejarah dengan menunjukkan persamaan-persamaan dengan rezim sebelumnya, serta rezim otoriter lainnya di dunia. Secara keseluruhan, sejarawan Indonesia menggunakan sejarah dalam pembinaan bangsa secara komitmen. Nugroho Notosusanto adalah salah seorang yang turut andil dalam mendukung penulisan sejarah pada masa pemerintahan Orde Baru.
Bab 2 topiknya adalah “Nugroho Notosusanto dan Awal Mula Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata”. “Nugroho Notosusanto merupakan salah seorang propagandis yang paling penting dalam rezim Orde Baru” (Katherine McGregor, 2008: 75). Nugroho Notosusanto adalah sosok yang membuat legitimasi Orde Baru melalui usaha kudeta 1965, sekaligus sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI (1965-1985), Menteri Pendidikan, dan menyebarluaskan citra pahlawan yang ada dalam militer Indonesia melalui museum, buku pelajaran, dan doku-drama. Nugroho Notosusanto lahir di Rembang pada 15 Juni 1931, dengan latarbelakang keluarga pegawai tinggi di Kabupaten Rembang.
Dengan latarbelakang yang demikian, Nugroho berasal dari keluarga yang terpandang dan memiliki wawasan kosmopolitan. Nugroho juga turut berpartisipasi dalam perang kemerdekaan. Ia kemudian bertugas menjadi anggota Brigade 17 Tentara Nasional atau yang biasa disebut juga sebagai Tentara Pelajar. Tentara Pelajar ini beranggotakan para pelajar dan mahasiswa yang dilatih selama pendudukan Jepang.
Para anggotanya adalah orang-orang nasionalis muda yang tidak berpolitik, sehingga mereka bersifat netral terhadap partai politik. Mereka hanya setia pada Pemerintah Republik Indonesia dan bekerjasama dengan TNI. Setelah bulan Desember 1949, yang dimana terjadi penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia, pihak Pemerintah kemudian menawarkan pendidikan militer di Breda di Belanda bagi para Tentara Pelajar, termasuk Nugroho. Namun sang ayah menyuruhnya untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dan tidak mengikuti program ke Breda.
Nugroho menjadi mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan berperan aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Ia juga menjadi sastrawan dalam waktu yang singkat dengan menjadi penulis cerpen, walaupun karirnya sebagai penulis berhenti di usianya yang ke-26 tahun. Setelah itu, Nugroho memfokuskan dirinya pada bidang sejarah, karena memiliki minat terhadap tokoh-tokoh sejarah dunia serta negara-negara berkembang.
Nugroho berharap Indonesia dapat mengambil pelajaran yang bermanfaat dari sejarah bangsa-bangsa lain. Jenderal Nasution melihat Nugroho sebagai seorang yang terlatih dan setia kepada militer Indonesia, serta memiliki nasionalisme yang tinggi. Sehingga kemudian pada tahun 1964, Nugroho diangkat sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI, yang menjadi cikal bakalnya dalam proyek sejarah pada pemerintahan Orde Baru.
Pusat Sejarah ABRI didirikan dengan tujuan politis untuk membela sejarah dengan versinya sendiri, yang menurut versi itu, Pemberontakan PKI Madiun 1948 adalah pemberontakan komunis. Angkatan Darat merasa keberatan dengan sejarah yang dibuat oleh PKI yang dimana meletakkan pemberontakan itu sebagai upaya penyalahgunaan sejarah yang digunakan sebagai alat perjuangan politik. Proyek utama milik Nugroho Notosusanto adalah dalam penulisan sejarah kudeta 1965.
Bab 3 dengan topik “Sejarah Untuk Membela Rezim Orde Baru” membahas berbagai macam upaya Orde Baru untuk melegitimasi kekuasaannya. Dengan didirikannya Pusat Sejarah ABRI, kemudian segera menerbitkan kisah usaha kudeta dengan versi yang pertama. Buku dengan judul 40 Hari Kegagalan “G-30-S” 1 Oktober-10 November dianggap penting karena berisi tentang propaganda Angkatan Darat mengenai kudeta dan berhubungan dengan keterlibatannya PKI dalam peristiwa itu.
Selanjutnya juga terbit kisah ini dalam versi bahasa Inggris, yang digunakan untuk disebarluaskan pada dunia dalam usaha untuk melegitimasi kekuasaan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru juga mengupayakan untuk menanamkan antikomunisme pada masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan dibuatnya Monumen Lubang Buaya dan peringatan peristiwa G-30-S setiap tahunnya.
Penulisan sejarah selalu menyudutkan PKI sebagai pelaku utama dari peristiwa yang mengenaskan tersebut. Masyarakat kemudian bertanya-tanya mengenai kebenaran sejarah bangsanya di masa lampau. Namun walau begitu, masyarakat tetap setia pada versi kisah yang diterbitkan oleh Pusat Sejarah ABRI. Antikomunisme sudah berhasil ditanamkan oleh Orde Baru pada masyarakat Indonesia, bahkan setelah era kepemimpinan Soeharto telah selesai. Kisah kudeta yang disampaikan lebih berfokus pada kisah mengenai Orde Baru, bukanlah fokus kepada kudeta itu sendiri yang sebenarnya merupakan topik utama.
Kisah kudeta ini digunakan untuk menanamkan nilai-nilai inti yang diselaraskan dengan agama dan moralitas. Sumur Lubang Buaya dijadikan alat sebagai pengingat peristiwa sadis yang dialami oleh Jenderal Angkatan Darat. Relief pada Monumen Pancasila Sakti mengisahkan tentang perjalanan bagaimana terjadinya krisis nasional pada masa Soekarno, kemudian adanya pengaruh amoral dari PKI, yang kemudian terjadi pemulihan krisis pada masa Soeharto.
Kompleks ini menjadi sangat sakral karena memperkokoh tema kesaktian Pancasila dan ancaman komunis yang mengancam Pancasila sila pertama. Selain itu juga dibuat film Pengkhianatan Gerakan 30 September beserta peringatan Kesaktian Pancasila yang semakin memperkuat penanaman antikomunisme serta penderitaan Angkatan Darat dan perjuangannya dalam menjaga Pancasila. Dari peristiwa G-30-S, Nugroho Notosusanto dengan Pusat Sejarah ABRI kemudian mengembangkan penulisan sejarah Indonesia yang lain untuk memperkokoh peran militer dalam penulisan sejarah Indonesia.
Bab 4 di buku ini dengan judul “Mengkonsolidasi Kesatuan Militer”. Dalam penulisan sejarah, terdapat beberapa gambaran yang terputus-putus antara legitimasi dan kenyataannya. “Karena militer menyadari dampak keterbelahan yang pernah terjadi antara komando territorial dengan angkatan-angkatan militer, dalam dekade pertama masa Orde Baru militer Indonesia bekerja keras untuk memupuk suatu rasa kebersatuan militer dengan nilai-nilai yang konsisten” (Katherine McGregor, 2008: 245-246).
Awal tahun 1970-an, kepemimpinan militer juga memikirkan dampak yang diakibatkan dari penyerahan kekuasaan kepada generasi militer yang tidak mengalami dan tidak mengikuti perang kemerdekaan. Pada seminar tahun 1972, memperkenalkan interpretasi yang baru mengenai nilai-nilai 1945. Nilai Pancasila dan UUD 1945 ditampilkan sebagai representasi inti dari nilai-nilai 1945, sedangkan nilai-nilai TNI 45 khusus menampilkan nilai-nilai pertahanan, etika militer, pengorbanan, dan kepatuhan. Seminar ini lebih mempromosikan tentang nilai-nilai 1945. Proyek sejarah yang lainnya juga terinspirasi dari seminar ini, dengan tujuan untuk memperkenalkan militer dan konsep dwifungsi.
Bab 5, selanjutnya dengan topik “Mempromosikan Militer dan Dwifungsi Kepada Masyarakat Sipil”. Seminar pada tahun 1972 bertujuan untuk menciptakan rasa hormat kepada militer Indonesia melalui konsep nilai-nilai 1945. Memoir militer, menonton film tentang revolusi Indonesia, maupun membaca buku-buku yang telah disetujui militer, menjadi sarana media agar masyarakat Indonesia mendapatkan nilai-nilai 1945 dan peran-peran militer di masa lalu nasional yang diagungkan.
Nugroho Notosusanto membela versi sejarah-sejarah yang terkait dengan militer miliknya. Termasuk media yang paling berpengaruh yaitu Volume Lima dan Enam Sejarah Nasional Indonesia yang diawasi olehnya. Nugroho Notosusanto masih tetap mengagungkan militer hingga akhir hayatnya di tahun 1985. Ia percaya bahwa militer adalah pemimpin yang terbaik untuk bangsa, dan mungkin ia juga memiliki ambisi yang kuat untuk menjadi orang yang berpengaruh.
Bab 6 yang merupakan bab terakhir, dengan topik “Menetapkan Tradisi Kemiliteran dan Musuh-Musuh Negara”. Sepeninggalan Nugroho Notosusanto dan pensiunnya para anggota militer generasi 1945, Pusat Sejarah ABRI sudah tidak lagi membahas tema-tema yang berkaitan dengan pada era sebelumnya. Kajiannya berkaitan dengan bentuk usaha militer untuk melegitimasi dari generasi-generasi selanjutnya. Proyek yang pertama kali dikerjakan adalah Museum Keprajuritan Nasional yang fokusnya terletak pada pahlawan sebelum kemerdekaan dan perlawanan antikolonial. Museum itu juga menekankan pada tradisi keprajuritan Indonesia serta sumber alternatif untuk keberlanjutan dominasi militer dalam politik serta pembangunan.
Terdapat peristiwa-peristiwa yang kemudian dijadikan sebagai alat legitimasi militer di Indonesia, seperti Gerakan Darul Islam atau DI/TII pada sekitar tahun 1970 dan 1980-an. Walau begitu, tetap kisah kudeta 1965 menjadi fokus utama dalam legitimasi. Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) lebih menekankan pada sifat siklis komunisme serta ancamannya bagi bangsa yang kian berlanjut. Adegan-adegan sadis dipertunjukkan di dalam museum tersebut secara rinci. Museum ini bertujuan untuk membiadabkan musuh rezim Orde Baru sekaligus menjadi peringatan bagi masyarakat Indonesia tentang adanya sifat anti-Pancasila dan anti-rezim. Dengan melakukan cara-cara seperti inilah, militer dengan mudah mengendalikan masyarakat.
Jika rezim sebelumnya membangun sejarah indonesia sebagai hasil dari perbenturan antara kolonialisme dan imperialisme melawan naionalisme Indonesia dengan Soekarno sebagai pusat, maka Orde Baru melihat sejarah Indonesia sebagai hasil dari perjuangan antara pendukung dan penentang Pancasila dengan menempatkan militer sebagai penentu. Orde Baru hanya menggantikan Soekarno dan militer, sementara itu para penentang Pancasila khususnya komunisme dan Islam ekstrimis telah menggantikan posisi kolonialisme dan imperialisme sebagai kambing hitam.
Sebagai penutup, menurut saya buku ini merupakan kajian yang menarik untuk dibaca, sehingga kita dapat memperluas wawasan dan pola pikir kita. Bahasa yang digunakan cukup mudah untuk dipahami, serta diberikan gambar-gambar yang sangat membantu pembacanya. Dari buku Ketika Sejarah Berseragam karya Katherine E. McGregor, kita dapat mengetahui bagaimana penulisan sejarah pada masa Orde Baru, serta apa tujuan penulisan sejarah dan pembuatan museum maupun monumen di masa itu. Sejarah dapat digunakan oleh penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya, sekaligus menanamkan ideologi maupun pemikiran dan pandangan tertentu.
Sekian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H