Mohon tunggu...
Dwinita Ratnasari
Dwinita Ratnasari Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Gembel tapi Hidup

menyukai fotografi dan tertarik dengan ilmu sosial dan seni budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Transformasi Gauk, Sirine Tua di Plengkung Gading

13 November 2019   13:11 Diperbarui: 16 November 2019   18:32 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu gauk yang terdapat di Pelengkung Gading, Yogyakarta|Dokumentasi pribadi

Gauk atau sirine tua yang tersebar di berbagai daerah kota Yogyakarta saat ini sudah mulai dilupakan kegunaannya. sirine tua ini berbentuk seperti terompet besar yang terpasang di puncak menara atau bangunan tinggi. 

Pada zaman penjajahan, bunyi gauk sering difungsikan sebagai media informasi untuk peringatan hari besar dan tanda akan datangnya musuh atau peperangan. 

Saat ini tinggal beberapa sirine yang masih terpasang di beberapa tempat di Yogyakarta seperti bekas Hotel Tugu, bangunan sebelah selatan Pasar Beringharjo, di menara Bioskop Permata dan di Plengkung Gading.

Menurut Dwi Wiyanarko selaku orang yang bertanggung jawab membunyikan gauk di Plengkung Gading saat ini, kata gauk merupakan istilah bahasa Jawa dan kata tersebut diambil dari bunyi yang keluar dari alat tersebut. 

Bentuk gauk atau sirine tua mirip seperti tiga terompet dengan arah melingkar, panjang sekitar 30-50 cm, diameter 15 cm, terbuat dari logam yang digerakkan oleh listrik sehingga gema suara merata ke seluruh penjuru. 

Suara gauk dapat didengar di seluruh penjuru wilayah hingga pedesaan yang di sekitar Yogyakarta. 

Seiring berkembangnya zaman, dengan pembangunan gedung-gedung bertingkat dan keramaian kendaraan yang menyebabkan polusi suara cukup tinggi saat ini memperpendek jangkauan suara.

Sejarah fungsi gauk dari masa ke masa berdasarkan keterangan dari Aji Slamet Riadi selaku Takmir Masjid Nurul Islam:

  • Menara gauk di Plengkung Gading didirikan 1930 sebagai peringatan tanda bahaya udara. Pengoperasian sirine di bawah pengawasan LBD (Lucht Beschering Dienst).
  • Peringatan Serangan 1 maret 1949 menjadi identik dimulainya pelaksanaan serangan oleh TNI dan laskar dalam kota "hantu maut".
  • Era 70an digunakan untuk peringatan hari penting negara, acara penting di kraton Yogyakarta seperti Wiyosan Dalem

Setelah di era 70an gauk tidak dipergunakan, menurut keterangan dari petugas operator gauk, alat tersebut terbakar dikarenakan pada baling-baling pembunyi suara banyak sekali sarang burung dan ketika diputar terjadi perlambatan dan pergesekan keras antara baling dan sarang burung.

Tanggal 11 Juli 2013 sejumlah remaja masjid Nurul Islam, Patehan, Yogyakarta membunyikan gauk saat berbuka puasa. Benda bersejarah tersebut dibunyikan kembali setelah diperbaiki pada akhir tahun 2012. 

Menurut keterangan dari Takmir Masjid Nurul Islam, Aji Slamet Riadi, aktivitas membunyikan gauk disaat menjelang Maghrib di bulan Ramadhan tersebut inisiatif dari para remaja masjid Nurul Islam dengan hasil musyawarah dari 20 masjid di daerah patehan. 

Tanggung jawab tersebut diberikan pada Masjid Nurul Islam dikarenakan lokasi yang sangat dekat dengan gauk yang berada di atas Plengkung Gading. 

Keputusan tersebut disetujui oleh pemerintah kota Yogyakarta, sehingga kunci dari kotak saklar gauk dibawa oleh Masjid Nurul Islam dan pemerintah kota.

Bunyi gauk di Plengkung Gading sekarang diaktifkan pada beberapa momen yang dilakukan oleh pemerintah kota Yogyakarta seperti ketika Peringatan Serangan Umum 1 maret, Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus, Hari Pahlawan 10 November, dan jelang buka puasa di bulan Ramadhan.

Seiring berjalannya waktu fungsi gauk sebagai alat komunikasi pemberi peringatan akan terjadinya perang mulai kehilangan peran. di era sekarang sudah tidak ada lagi peperangan atau sudah di zaman kemerdekaan. 

Gauk atau sirine tua yang terdapat di Plengkung Gading sempat tidak berfungsi dalam kurun waktu kurang lebih 30 tahun dan setelah itu berfungsi kembali mengikuti kondisi zaman dengan tujuan tetap menjaga situs peninggalan sejarah. 

Gauk atau sirine tua ini merupakan pusaka Indonesia yang harus dijaga. 

Bentuk fisik gauk yang masih baik dan fungsinya juga masih bisa digunakan seharusnya dilestarikan dengan difungsikan sebagaimana mestinya mengikuti lingkungan dan secara berkelangsungan agar tidak mudah rusak seperti halnya di era 70an. 

Jangan sampai terjadi lagi gauk yang sudah lama tidak digunakan akhirnya menjadi tempat bagi burung membuat sarang di bagian baling-baling dan menyebabkan fungsi kerja yang menurun dan sirine tidak bisa diputar.

Untuk mengatasi agar fungsi sirine tua tersebut bisa tetap berguna, dilakukan agenda rutin dengan membunyikan sirine secara terus-menerus pada momentum tertentu. Misalnya sebagai pertanda setiap ada upacara dimana waktunya mengibarkan bendera merah putih disitu sirine tua atau gauk berbunyi. 

Momen tersebut dilaksanakan di setiap hari senin yang selalu dilaksanakan upacara bendera dan hari-hari nasional lainnya yang diperingati dengan upacara pengibaran bendera merah putih. 

Melihat Yogyakarta yang harus dijaga sebagai pusat pluralisme Indonesia, bunyi gauk pun harus bisa digunakan untuk kepentingan bersama.

Selain itu karena alat sudah sangat tua kemungkinan adanya kerusakan sangatlah tinggi perlu juga diadakan pembersihan alat secara rutin. 

Jika perlu diagendakan untuk mendatangkan teknisi dan melakukan pembersihan komponen-komponen yang ada. Pembersihan tidak hanya di dalam, tetapi diluar juga agar terlihat indah dan bersih.

Membicarakan tentang gauk atau sirine tua ini tidak terlepas juga dengan bunyi yang dikeluarkannya.

Bunyi dari sirine tua ini memiliki karakter yang seram dan dibunyikan dari level suara yang pelan hingga sangat kencang.

Pertama kali fungsi sirine tua ini digunakan untuk mengingatkan masyarakat jika terjadi bahaya yang akan datang. Maka dari itu secara psikologis bunyi ini membuat masyarakat kaget, takut, dan panik. 

Jika bunyi sirine tua tersebut diterapkan pada era sekarang, bunyi tersebut tidak sesuai dengan kondisi lingkungan dan fungsinya. Jadi alangkah baiknya bunyi tersebut kini dikumandangkan sebagai gambaran rasa nasionalis yang membuat semua orang bisa menerima dan mengingat peringatan hari tersebut.

Secara fisik, untuk pelestarian gauk juga perlu dapat perhatian. Ketika wisatawan datang mengunjungi atau menaiki Plengkung Gading, mereka cenderung menikmati atau mendapatkan informasi mengenai bangunan Plengkung Gading saja. 

Tidak banyak orang mengenal gauk atau sirine tua yang ada di Plengkung Gading. Maka dari itu perlu pelestarian dalam bentuk informasi dari gauk itu sendiri. Semisal papan informasi dimana menjelaskan gauk tersebut dalam sejarah dan fungsinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun