Mohon tunggu...
Dwinani Elijah
Dwinani Elijah Mohon Tunggu... -

wala taqfu ma laisa laka bihi ilm...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sekali Lagi, ILC Membuktikan Anas Tak Terkait Hambalang

7 November 2012   00:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:51 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebetulan, semalam saya menyaksikan ILC di TV One.  Beberapa orang saya kenali sebagai pihak yang selama ini begitu antusias mengungkap dan mendorong opini terkait kasus Wisma Atlet dan Hambalang, hadir.

Ada Wahyu Muryadi, pemimpin redaksi majalah Tempo, yang dalam beberapa edisinya, majalah ini begitu "ganas" menyerang Anas.  Karni Ilyas, yang entah untuk keberapa kali, menjadikan kasus yang melibatkan Nazaruddin sebagai tema di ILC. Dan, tentu saja, tak ketinggalan, dua pengacara Nazaruddin, Hotman Paris Hutapea dan Hoiriyah "Ria" Irsyadi.

Narasumber yang cukup penting adalah Hasan Basri, salah satu Wakil Ketua BPK. Juga Bupati Bogor, Rahmat Yasin. Sisanya, sebagaian menjadi "penggembira" belaka, sebagian lagi memang layak jadi tempat bertanya.

Ada banyak catatan penting, terutama terkait fakta dan tuduhan yang telah dibangun melalui pembentukan opini dalam kasus yang melibatkan Nazaruddin tersebut. Intinya, bahwa dalam kasus-kasus itu, Anas Urbaningrum dijadikan sebagai "pihak yang terlibat."

Saya mencatat, mendengar dan melihat sendiri bahwa yang disampaikan oleh Wakil Ketua BPK, Hasan Bisri, yang sebagian dia kutip dari LHP BPK terkait proyek Hambalang, adalah peristiwa hukum yang berkaitan langsung dengan prosedur administratif dan kewenangan atas jabatan yang dilanggar.

Bahwa, pencairan terhadap anggaran untuk pembangunan sport center di Desa Hambalang, yang diduga telah menimbulkan terjadinya penyimpangan, dilihat dari tempus delicti atau waktu kejadian perkaranya adalah bulan Desember 2010.

Kemudian, pokok penting dari LHP BPK adalah dugaan telah terjadinya pelanggaran prosedur administratif di antara pemegang kewenangan penggunaan anggaran negara. Terutama yang melibatkan pihak Kemenpora dan Kemenkeu.

Hal yang juga substansial ditegaskan oleh mantan Menegpora, Adhyaksa Dault. Bahwa, proyek Hambalang pada mulanya diperuntukkan untuk memindahkan Sekolah Olahraga yang ada di Ragunan, Jakarta Selatan. Bukan untuk sport center. Ada perubahan signifikan antara peruntukan proyek dengan perubahan anggaran.

Lain-lain, adalah dokumen tentang korespondensi antara Dirjen Kementrian Keuangan, yang saat itu dijabat oleh Anny Ratnawati, yang sekarang sudah menjadi Wakil Menteri, dimana terjadi proses pencairan anggaran yang mencurigakan. Karena waktunya yang begitu singkat antara pengajuan dan pencairan.

Keterangan-keterangan yang disampaikan di atas, secara terang-benderang menjelaskan bahwa Anas yang selama ini dilekatkan sebagai "pihak yang terlibat" dalam proyek Hambalang, runtuh dan terpatahkan.

Penjelasannya sederhana saja: bahwa pada bulan Juli 2010, Anas telah mundur sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat dan jabatannya sebagai anggota DPR.

Lantas, bagaimana seseorang yang sudah mundur tak tidak memiliki kewenangan apapun, terlibat dalam sebuah proses pengurusan sebuah proyek nasional yang melibatkan banyak jajaran birokrasi pemerintahan?

Plus, berdasarkan keterangan anggota Panja Hambalang dari Komisi X yang juga hadir di acara ILC tersebut, ditegaskan bahwa perubahan proyek Hambalang dari single-years menjadi multi-years, tidak dibahas dalam sidang Komisi X. Persetujuan perubahan hanya dilakukan oleh pimpinan Komisi X, yang terdiri atas Ketua, wakil-wakilnya dan Pokja Anggaran.

Jadi, bagaimana seseorang yang tidak memegang kewenangan, tidak berada dalam posisi pembahasan, juga tidak ditemukan dari dalam rangkaian fakta-fakta kejadian terkait masalah hukum tersebut, bisa dijadikan sebagai subyek perkara hukum?

Saya menangkap ada "pesan sponsor" yang disampaikan oleh Hotman Paris Hutapea. Menurutnya, bahwa dugaan korupsi proyek Hambalang itu dimulai dari sertifikat.

Hotman, yang katanya baru mendengar langsung dari Nazaruddin pada sore hari sebelum datang ke ILC, menyatakan bahwa menurut Nazaruddin, ada serah-terima sertifikat di Plasa Senayan sekitar bulan Juli 2010.

Saya melihat Wahyu Muryadi, pemimpin redaksi majalah Tempo. Dalam salah satu edisinya, Tempo pernah menuliskan, dengan sumber yang sama, yaitu Nazaruddin, bahwa ada pertemuan di Hotel Sultan antara Anas, Nazar, Ignatius Mulyono dan Joyo Winoto (yang waktu itu masih Kepala BPN) membahas sertifikat. Waktunya Desember 2009.

Makin jelas, kan?

Bahwa, dari sumber yang sama, yaitu Nazaruddin, sudah terdapat perbedaan keterangan antara waktu dan tempat pertemuan.

Mana yang benar? Hotel Sultan atau Plasa Senayan? Bulan Desember 2009 atau Juli 2010?

Saya yakin, dua-duanya salah. Pertemuan yang melibatkan Anas itu sama sekali tidak ada.

Di ILC itu juga, Hotman menunjukkan BAP Yulianis tentang aliran dana ke Wafid, mantan Sesmenpora. Sayang, Hotman tidak hadir di sidang lain yang juga terkait perkara itu.

Bahwa, aliran dana yang katanya untuk Wisma Atlet atau Hambalang yang berasal dari Grup Permai milik Nazar, telah dikembalikan oleh Wafid kepada Rosa. Ini berdasarkan pada keterangan Wafid sendiri di persidangan Angelina Sondakh.

Sebagai pen-studi, saya melihat bahwa kasus dugaan korupsi di proyek Wisma Atlet dan Hambalang ini telah membentuk sebuah modus baru dalam sebuah proses hukum. Yaitu, dilibatkannya opini sebagai alat untuk memindahkan persoalan kepada pihak lain.

Inilah salah satu alasan kenapa saya mengikuti kasus ini. Hampir dua tahun, Anas dituduh dan difitnah tanpa bukti. Orang-orang yang bersimpati kepada Anas disebut sebagai antek, musuh dan banyak istilah yang lebih buruk lagi.

Jika dibiarkan, jelas akan menjadi preseden buruk dan bisa menimpa siapa saja. Opini bisa membangun persidangan di luar pengadilan. Kepercayaan terhadap hukum akan runtuh. Sangat berbahaya untuk republik yang akan melakukan pergantian rezim di 2014 nanti (dengan catatan jika rezim yang sekarang masih bisa bertahan sampai batas waktu tersebut).

Karenanya, saya salut dengan sikap Anas yang tidak merespon kebisingan opini ini secara reaktif.  Meski, selama hampir dua tahun, dia harus menjadi "sasaran tembak" dari delapan penjuru angin. Kebisingan memang tak bisa dilawan dengan kebisingan. Kebenaran, toh akan menemukan jalannya sendiri.

Saya sekilas melihat Wahyu Muryadi, Hotman Paris Hutapea,  Ahmad Yani, Akbar Faisal, Ridwan Saidi, dan Karni Ilyas sekilas di akhir acara. Entah, apalagi yang ada di kepala mereka untuk menjelaskan fakta-fakta ini.

Semoga Tuhan memberi rahmat dan hidayah-Nya, Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun