Mohon tunggu...
Dwi Meilani Hasmiyatni
Dwi Meilani Hasmiyatni Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru hobi menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Peran Guru dalam Membangun Pendidikan Melalui Kurikulum yang Relevan

13 November 2024   21:51 Diperbarui: 13 November 2024   22:01 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

               Pada tahun 1952, Indonesia memperkenalkan Rencana Pelajaran Terurai 1952, yang menjadi tonggak penting dalam sistem pendidikan dengan fokus pada relevansi materi pelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan UU No. 4 Tahun 1950 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 1954, kurikulum ini bertujuan mempersiapkan siswa untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi dan mencetak tenaga terampil yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kurikulum dibagi dalam enam kelompok pengetahuan, dengan setiap guru mengajar satu mata pelajaran tertentu, sementara kelas Masyarakat disediakan untuk lulusan Sekolah Rakyat yang tidak melanjutkan ke SMP dan lebih berfokus pada keterampilan praktis. Proses belajar berpusat pada guru, yang berfungsi sebagai teladan dalam menanamkan kedisiplinan dan nilai-nilai, sementara siswa lebih bersifat pasif dalam menerima informasi. Penilaian dilakukan dengan ulangan harian, ujian caturwulan, dan ujian akhir, dengan kelulusan ditentukan oleh nilai minimal 5 di empat mata pelajaran.

Rentjana Pembelajaran 1964.

               Pada awal kemerdekaan Indonesia, kurikulum pendidikan mengalami pembaruan melalui Rentjana Pembelajaran 1964, yang menekankan pembelajaran aktif, kreatif, dan produktif dengan tujuan membantu siswa mengembangkan keterampilan pemecahan masalah secara mandiri. Kurikulum ini berfokus pada lima aspek utama: cipta, rasa, karsa, karya, dan moral, yang dibagi ke dalam lima bidang studi sesuai dengan konsep Pancawardhana: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keterampilan, dan jasmani. Pendidikan dasar menjadi prioritas utama, dengan tambahan kegiatan "hari krida" setiap Sabtu, di mana siswa dapat berpartisipasi dalam aktivitas seni, olahraga, dan budaya. Penilaian untuk kelas I dan II diubah menjadi huruf A, B, C, D, sementara kelas III hingga VI tetap menggunakan angka. Dengan pendekatan kurikulum subjek terpisah, tujuan utamanya adalah memberikan pengetahuan dasar kepada siswa, guna memenuhi kebutuhan pemerintah agar semua rakyat Indonesia memiliki dasar pendidikan yang memadai.

Kurikulum 1968

               Kurikulum 1968, yang menggantikan Rencana Pembelajaran 1964, lahir pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru dengan tujuan untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga memiliki moral dan keyakinan beragama yang kuat. Kurikulum ini dibangun atas tiga komponen utama: Pembinaan Jiwa Pancasila, Pengetahuan Dasar, dan Kecakapan Khusus, yang bertujuan mengembangkan manusia Pancasila yang sehat dan kuat. Menggunakan pendekatan didaktik metodik, kurikulum ini menekankan peran guru sebagai pusat pembelajaran, dengan materi yang lebih teoritis dan kurang terhubung dengan kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, kurikulum ini berlandaskan pada teori belajar kognitivistik yang lebih fokus pada proses belajar daripada sekadar hasil akhir, memberikan ruang bagi siswa untuk memahami konsep dengan lebih mendalam.

Kurikulum 1975

               Kurikulum 1975 dikembangkan untuk memperbaiki kurikulum sebelumnya dengan penekanan pada pencapaian tujuan yang lebih jelas dan sesuai dengan perubahan kebutuhan masyarakat. Kurikulum ini mengutamakan fleksibilitas, efektivitas, dan efisiensi, dengan prinsip pendidikan seumur hidup yang mendasarinya. Tujuan pendidikan dibagi menjadi tiga tingkat: tujuan institusional yang bersifat umum, tujuan kurikuler untuk masing-masing bidang pelajaran, dan tujuan instruksional yang lebih spesifik dan operasional. Metode PPSI digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Meskipun kurikulum ini memberikan kerangka yang terstruktur, ada kelemahan, yaitu guru terlalu fokus pada pencapaian tujuan yang membuat mereka sibuk, sementara siswa kurang aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Evaluasi pun dapat dilakukan kapan saja dalam proses belajar, bukan hanya di akhir semester.

Kurikulum 1984

               Kurikulum 1984 membawa perubahan signifikan dengan memasukkan elemen kebudayaan dalam pendidikan nasional, bertujuan untuk mengembangkan kepribadian siswa secara menyeluruh, mencakup aspek intelektual, moral, dan estetika. Dalam kurikulum ini, peran guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator yang melibatkan orang tua dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Meskipun begitu, penerapannya menghadapi beberapa tantangan, seperti sentralisasi yang menyulitkan penyesuaian di daerah, kualitas guru yang belum memadai, serta keterbatasan dana yang menghambat pelaksanaan kurikulum. Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang diterapkan pun sering kali tidak efektif, bahkan menimbulkan keributan di kelas. Kendala-kendala ini menjadi dasar untuk perbaikan kurikulum selanjutnya agar lebih relevan dan efisien.

Kurikulum 1994

               Kurikulum 1994, yang diterapkan mulai tahun ajaran 1994/1995, merupakan pembaruan dari Kurikulum 1984 untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dengan menekankan kebermaknaan pembelajaran. Berbeda dari kurikulum sebelumnya yang lebih menekankan pada keaktifan siswa, kurikulum ini mendorong siswa untuk lebih memahami materi dengan cara yang lebih bermakna, baik secara mental, fisik, maupun sosial. Tujuannya adalah untuk menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga terampil dan siap kerja. Beberapa perubahan besar terjadi, seperti penambahan jam pelajaran untuk mata pelajaran utama di SD, SLTP, dan SMU, serta pengenalan konsep Muatan Lokal yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Selain itu, kurikulum ini juga mencerminkan pengaruh kebijakan Orde Baru dengan penekanan pada Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPK). Meskipun memiliki banyak kelebihan, seperti memberi lebih banyak waktu bagi siswa untuk memahami materi dan adanya program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) di SMK, kurikulum ini juga menghadapi tantangan, seperti perbedaan pemahaman tentang muatan lokal, beban berat pada siswa SMK dalam beradaptasi dengan dunia kerja, dan kurangnya fleksibilitas dalam penerapan pendekatan keterampilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun