Mohon tunggu...
Dwi Mariyono
Dwi Mariyono Mohon Tunggu... Dosen - Doctor at the Faculty of Islamic Religion, Malang Islamic University

Doctor at the Faculty of Islamic Religion, Malang Islamic University. This position has been trusted as Head of the Human Resources Division since June 2023

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menggugat Demokrasi:Refleksi atas Ramainya Sengketa Hasil Pilkada di Indonesia

16 Desember 2024   15:59 Diperbarui: 16 Desember 2024   15:59 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Menakar Makna Bhinneka Tunggal Ika dalam Politik yang Semakin Terpolarisasi

Sengketa Pilkada dan Demokrasi yang Diuji

Pilkada di Indonesia merupakan cerminan kematangan demokrasi yang seharusnya memberikan ruang bagi kebersamaan dalam keberagaman. Namun, lonjakan jumlah gugatan hasil pilkada belakangan ini menjadi fenomena yang patut dicermati. Apakah ini sekadar dinamika demokrasi, atau justru tanda kemunduran dalam memahami esensi berkompetisi secara sehat?

Gugatan yang kerap kali dipicu oleh rasa tidak puas terhadap hasil menunjukkan bahwa sebagian dari kita belum sepenuhnya memahami nilai luhur demokrasi, yaitu kemampuan untuk menerima kekalahan dengan bermartabat dan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau kelompok.

1. Demokrasi dan Esensi Pengakuan atas Kekalahan

Demokrasi tidak hanya melibatkan proses pemungutan suara, tetapi juga prinsip-prinsip sportivitas dan penghormatan terhadap proses demokrasi. Konsep "sportivitas demokrasi" ini menekankan pentingnya menerima hasil dengan lapang dada dan terus terlibat dalam proses demokrasi, bahkan ketika terjadi perselisihan..

Sportivitas Demokratis

Penerimaan yang Anggun. Sportivitas demokratis melibatkan kemauan untuk kalah dengan anggun dan terus berpartisipasi dalam proses demokrasi. Hal ini penting untuk menjaga demokrasi yang sehat, karena mencegah konflik meningkat ketika aktor politik menganggap satu sama lain sebagai pihak yang tidak sportif (Sabl, A. (2008)..

Penyelesaian Konflik: Konflik dalam demokrasi dapat muncul dari ketidaksepakatan tentang bagaimana proses demokrasi harus dilakukan, aturan mana yang harus diikuti, atau keinginan untuk menetapkan aturan. Sementara beberapa konflik lebih berbahaya, konflik tersebut sering kali dapat dikelola dengan menghargai keutamaan aturan dan peran yang ditetapkan (Sabl, A. (2008).

Pentingnya Sportivitas dalam Demokrasi

Keterlibatan Etis: Sikap sportivitas, yang berfokus pada permainan yang adil daripada sekadar menang, sangat penting untuk menumbuhkan tanggung jawab dan keterlibatan etis dalam proses demokrasi. Pendekatan ini lebih baik daripada memandang kemenangan sebagai tujuan akhir ((Knight, F. (1959).).

2. Wawasan Pendidikan

Mempromosikan Sportivitas: Dalam lingkungan pendidikan, pendidikan olahraga telah terbukti secara efektif mempromosikan orientasi sportivitas di kalangan siswa sekolah menengah. Ini termasuk rasa hormat terhadap konvensi sosial, aturan, wasit, dan lawan, yang sangat penting bagi perkembangan moral dan etika (Burgueño, R., & Medina-Casaubón, J. (2020).

Demokrasi tumbuh subur tidak hanya melalui mekanisme pemungutan suara, tetapi juga melalui prinsip-prinsip sportivitas dan penghormatan terhadap proses tersebut. Sportifitas demokrasi melibatkan kemauan untuk kalah dengan lapang dada dan terus berpartisipasi dalam proses demokrasi, yang penting untuk menjaga lingkungan politik yang sehat. Kemauan untuk Kalah dengan Anggun: Keutamaan utama dalam demokrasi adalah kemampuan untuk menerima kekalahan dan terus terlibat dalam proses politik. Sikap ini membantu mencegah konflik dan mendorong lingkungan politik yang kooperatif (Sabl, A. (2008).

Ketidaksepakatan dalam demokrasi dapat muncul dari perbedaan pandangan tentang bagaimana proses demokrasi harus dijalankan, permainan apa yang sedang dimainkan, atau pentingnya aturan yang ditetapkan. Sementara beberapa konflik dapat dikelola dan bahkan bermanfaat, yang lain dapat lebih menantang dan mengharuskan para pemimpin untuk menghargai nilai aturan yang ditetapkan (Sabl, A. (2008). Menekankan sportivitas di atas kemenangan sebagai tujuan akhir mendorong proses demokrasi yang lebih bertanggung jawab dan etis. Pendekatan ini mendorong diskusi dan penyampaian nilai-nilai, khususnya di bidang yang kompleks seperti bidang ekonomi Knight, F. (1959). .

Prinsip tata kelola dalam olahraga, seperti transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi, menyoroti pentingnya pendekatan yang terstruktur, berbasis proses, dan berbasis hasil. Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan pada tata kelola yang demokratis untuk memastikan proses yang adil dan transparan (Thompson, et al.,(2022). Demokrasi mendapat manfaat dari prinsip-prinsip sportivitas, yang mendorong peserta untuk menerima hasil dengan lapang dada dan terus terlibat dalam proses tersebut. Pendekatan ini tidak hanya menyelesaikan konflik tetapi juga mendorong lingkungan politik yang bertanggung jawab dan etis. Prinsip tata kelola dari olahraga lebih jauh menggambarkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam menjaga integritas demokrasi.

 Menekankan nilai-nilai ini membantu mengelola konflik dan menumbuhkan keterlibatan demokrasi yang lebih etis dan bertanggung jawab. Prakarsa pendidikan yang mempromosikan sportivitas dapat memainkan peran penting dalam menanamkan nilai-nilai ini pada generasi mendatang. Dalam setiap kompetisi, ada yang menang dan kalah. Pengakuan atas kekalahan bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru cerminan kedewasaan politik.

Ketika seorang kandidat kalah dan memilih menggugat hasil tanpa dasar yang kuat, pertanyaan yang muncul adalah: apakah gugatan tersebut benar-benar demi keadilan, atau sekadar bentuk kekecewaan yang tidak produktif? Kebesaran hati untuk menerima hasil adalah fondasi penting bagi stabilitas sosial dan politik.

3. Bhinneka Tunggal Ika: Landasan Kebersamaan yang Tergerus?

Indonesia adalah bangsa yang besar dengan keberagaman suku, agama, dan budaya. Semangat "Bhinneka Tunggal Ika" yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu" sangat penting dalam mengarahkan kehidupan politik di Indonesia. Semangat ini menekankan kerukunan dan persatuan di antara berbagai budaya, agama, dan suku bangsa di negara ini, dan dipandang penting untuk menjaga stabilitas politik dan kohesi sosial.. Namun, polarisasi politik yang kerap kali memanaskan pilkada justru mengikis nilai ini.

Penerapan Bhinneka Tunggal Ika sangat penting dalam mengurangi dampak negatif politik identitas, berita bohong, dan ujaran kebencian yang dapat menimbulkan polarisasi dan konflik di masyarakat. Dengan mengedepankan kerukunan, maka persatuan dan kesatuan dapat terjaga dan konflik sosial dapat dicegah (Maryono, M. (2023).

Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi prinsip panduan dalam demokrasi, yang mendorong konsensus dan musyawarah politik, yang merupakan ciri utama demokrasi Indonesia. Pendekatan ini membantu dalam mengaktualisasikan semboyan tersebut dalam praktik demokrasi, memastikan bahwa keberagaman dihormati dan persatuan dipertahankan (Riyanto et al., (2022). Dalam konteks ini, eika politik yang berlandaskan pada prinsip Bhinneka Tunggal Ika sangat penting dalam membentuk jati diri dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Etika ini mendorong rasa saling menghormati dalam keberagaman dan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat melalui partisipasi politik yang etis (Aji, W., & Ansori, Z. (2024).

Mari lihat sedikit ke belakang, selama krisis COVID-19, semangat Bhinneka Tunggal Ika menumbuhkan solidaritas di berbagai lapisan masyarakat, yang menonjolkan perannya dalam menyatukan masyarakat di masa kritis. Semangat ini diharapkan dapat bertahan setelah krisis berlalu, dan tertanam dalam kehidupan sehari-hari (Situmorang, D. (2021). Bukti tak terbantahkan bahwa penguatan Bhinneka Tunggal Ika sangat penting untuk memperkokoh jati diri bangsa Indonesia dan menjadi kekuatan pemersatu bangsa, sehingga terwujud masyarakat yang sejahtera dan damai (Baihaki, E. (2017).

Sengketa hasil pilkada yang melibatkan narasi-narasi sektarian atau primordial menjadi ancaman serius bagi persatuan bangsa. Jika ini terus dibiarkan, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, penting untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai roh dalam setiap proses politik, di mana perbedaan dipandang sebagai kekuatan, bukan ancaman.

4. Pentingnya Mawas Diri dalam Kompetisi Politik

Setiap kandidat, baik yang menang maupun kalah, perlu mawas diri dan merenungkan kembali apa yang menjadi tujuan mereka dalam mengikuti pilkada. Jika tujuannya adalah untuk melayani masyarakat, maka kekalahan seharusnya tidak menjadi alasan untuk menimbulkan perpecahan.

Mawas diri juga penting bagi masyarakat sebagai pemilih. Kita perlu mendukung pemimpin yang mampu mengedepankan persatuan, bukan yang justru memperparah polarisasi. Mempromosikan persatuan melalui kepemimpinan memerlukan dukungan terhadap pemimpin yang dapat menjembatani perpecahan daripada memperparah polarisasi. Konsep polarisasi pemimpin, sebagaimana dieksplorasi dalam konteks politik Italia, menyoroti dampak polarisasi pemimpin pada sistem politik yang mengacu pada peran yang dimainkan pemimpin dalam mengintensifkan perpecahan dalam sistem politik. Hal ini diukur menggunakan Indeks Polarisasi Pemimpin (LPI) untuk melacak perubahan dalam dinamika politik (Bordignon, F. (2020).

Di Italia, periode 2018 hingga 2020 menyaksikan pergeseran signifikan dalam lanskap politik, yang ditandai dengan peralihan dari tripolarisme ke bipolarisme. Pergeseran ini sebagian besar didorong oleh polarisasi yang didorong oleh elit, di mana para pemimpin seperti Matteo Salvini dari partai Lega memainkan peran yang memecah belah (Bordignon, F. (2020). Data survei menunjukkan bahwa pemilih menganggap pemimpin tertentu semakin memecah belah, yang berkontribusi pada meningkatnya polarisasi dalam ruang politik (Bordignon, F. (2020).

Untuk mendukung persatuan, sangat penting untuk mendukung pemimpin yang dapat mengurangi perpecahan daripada mereka yang berkontribusi pada polarisasi. Memahami dinamika polarisasi pemimpin dapat membantu dalam mengidentifikasi dan mempromosikan pemimpin yang memupuk kohesi dan persatuan. Kesadaran ini adalah langkah awal menuju demokrasi yang lebih matang dan beretika.

5. Mengubah Gugatan menjadi Refleksi: Belajar dari Kekalahan

Daripada menghabiskan energi untuk menggugat hasil, alangkah baiknya jika kekalahan dijadikan momentum untuk introspeksi mendalam. Proses ini memungkinkan setiap pihak yang terlibat untuk mengevaluasi langkah-langkah yang telah diambil, mengidentifikasi kelemahan, dan memahami apa yang perlu diperbaiki di masa depan. Kekalahan dalam demokrasi seharusnya tidak dianggap sebagai kegagalan absolut, tetapi sebagai cermin yang dapat merefleksikan kejujuran, strategi, dan komitmen terhadap tujuan-tujuan yang lebih besar. Dengan introspeksi yang jujur, para kandidat maupun tim pendukungnya dapat mengembangkan pendekatan yang lebih baik, baik dalam membangun kepercayaan publik maupun dalam mengelola program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Pemimpin yang benar-benar peduli pada rakyat akan memahami bahwa kekalahan bukanlah akhir dari perjalanan, tetapi awal dari fase baru untuk tetap berkontribusi. Kepemimpinan sejati tidak selalu bergantung pada jabatan formal; banyak ruang lain yang memungkinkan seseorang untuk memberikan dampak positif. Mereka yang memiliki visi besar dan komitmen terhadap kemajuan masyarakat tidak akan terpaku pada kekalahan, melainkan melihatnya sebagai peluang untuk terus bekerja demi kebaikan bersama. Pemimpin seperti ini akan dikenang bukan karena jabatannya, tetapi karena dedikasi dan pengabdian mereka yang melampaui keterbatasan politik formal.

Dengan menerima kekalahan secara bijak, seorang pemimpin menunjukkan kedewasaan politik yang dapat menjadi teladan bagi masyarakat. Langkah ini tidak hanya membantu meredam tensi politik, tetapi juga memperkuat kepercayaan rakyat terhadap proses demokrasi. Keterbukaan untuk belajar dari kekalahan menciptakan budaya politik yang lebih sehat, di mana kompetisi tidak lagi menjadi ajang permusuhan, tetapi ruang untuk saling memperbaiki dan menginspirasi. Demokrasi yang sehat membutuhkan pemimpin yang memahami bahwa esensi kekuasaan adalah pelayanan, dan pelayanan tidak selalu mensyaratkan kemenangan dalam pemilu.

Oleh karena itu, kekalahan seharusnya menjadi titik balik untuk memperkuat komitmen terhadap tujuan yang lebih besar daripada sekadar kemenangan politik. Jika diolah dengan bijaksana, kekalahan dapat menjadi sumber kekuatan moral yang menginspirasi para pendukung untuk tetap optimis dan percaya pada perjuangan yang lebih luas. Proses demokrasi pun akan menjadi lebih bermakna, tidak hanya sebagai mekanisme memilih pemimpin, tetapi juga sebagai wahana pembelajaran bagi semua pihak untuk terus tumbuh dan berkembang demi kesejahteraan bersama.

6. Menginspirasi Dunia: Demokrasi Indonesia yang Berbasis Kebersamaan

Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, memiliki tanggung jawab yang signifikan untuk menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam menjalankan demokrasi yang inklusif dan matang. Dengan populasi yang sangat beragam dari segi etnis, budaya, dan agama, Indonesia memiliki potensi besar untuk membuktikan bahwa keberagaman bukanlah hambatan, melainkan kekuatan utama yang menyatukan bangsa. Demokrasi di Indonesia seharusnya tidak hanya menjadi mekanisme politik, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai luhur Bhinneka Tunggal Ika, di mana perbedaan dipandang sebagai aset yang memperkaya, bukan memecah belah.

Namun, jika sengketa pilkada terus menjadi sorotan negatif, citra demokrasi Indonesia di mata dunia akan terganggu. Proses demokrasi yang diwarnai oleh konflik yang tidak perlu dan ketidakmampuan menerima hasil dengan lapang dada dapat memberi kesan bahwa sistem ini rapuh dan tidak stabil. Ketegangan yang timbul akibat sengketa ini tidak hanya menggerus kepercayaan publik terhadap sistem politik, tetapi juga memperlemah legitimasi para pemimpin yang terpilih. Hal ini menjadi tantangan serius bagi Indonesia untuk menjaga reputasi sebagai negara demokrasi yang kuat dan kredibel.

Sebaliknya, jika Indonesia mampu mengedepankan semangat kebersamaan, menerima hasil pilkada dengan sportif, dan menjadikan mawas diri sebagai budaya politik, negara ini dapat menunjukkan kepada dunia bagaimana demokrasi yang berakar pada nilai-nilai lokal dapat berhasil. Pengakuan terhadap kekalahan bukan hanya mencerminkan kedewasaan politik, tetapi juga memperkuat fondasi demokrasi itu sendiri. Sikap seperti ini mengirimkan pesan bahwa demokrasi Indonesia tidak hanya prosedural, tetapi juga substansial, di mana etika dan penghormatan terhadap proses menjadi prioritas.

Keberhasilan Indonesia dalam menjalankan demokrasi yang harmonis di tengah keberagaman dapat menjadi inspirasi global. Di tengah tren global yang menunjukkan peningkatan polarisasi politik, Indonesia memiliki peluang untuk membuktikan bahwa keberagaman dapat dikelola dengan cara yang adil, transparan, dan inklusif. Dengan membangun budaya politik yang menghormati perbedaan dan mengutamakan kepentingan bersama, Indonesia dapat berperan sebagai model demokrasi yang tidak hanya melayani warganya, tetapi juga memberikan pelajaran penting bagi negara-negara lain yang menghadapi tantangan serupa.

Dalam konteks ini, keberhasilan Indonesia tidak hanya akan memperkuat demokrasi di dalam negeri, tetapi juga berkontribusi pada stabilitas politik dan sosial di tingkat regional maupun global. Dengan menonjolkan nilai-nilai lokal seperti gotong royong, musyawarah, dan semangat Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia dapat menunjukkan bahwa demokrasi yang sehat tidak harus menyerupai model Barat. Sebaliknya, demokrasi yang berakar pada kearifan lokal mampu memberikan solusi yang lebih relevan, manusiawi, dan inklusif bagi masyarakat yang beragam. Inilah warisan yang dapat ditinggalkan Indonesia bagi dunia.

Kesimpulan

Menyongsong Demokrasi yang Dewasa dan Beretika

Ramainya gugatan hasil pilkada di Indonesia adalah cerminan dari tantangan yang harus kita hadapi bersama. Demokrasi yang sejati tidak hanya membutuhkan prosedur yang adil, tetapi juga kesadaran untuk menghormati hasil, menerima kekalahan, dan tetap berkontribusi bagi masyarakat. Dengan mengedepankan semangat Bhinneka Tunggal Ika, kita dapat menjadikan setiap pilkada sebagai momentum untuk memperkuat persatuan bangsa. Demokrasi bukanlah soal menang atau kalah, melainkan tentang bagaimana kita bersama-sama membangun bangsa yang lebih baik. Inilah warisan terbesar yang dapat kita tinggalkan bagi generasi mendatang, sekaligus inspirasi yang dapat kita tawarkan kepada dunia.

Referensi:

Aji, W., & Ansori, Z. (2024). Political Ethics In Franz Magnis Suseno View And Relevance With The Indonesian Context. Journal of Politica Governo. https://doi.org/10.62872/sr2fch74.

Baihaki, E. (2017). STRENGTHENING BHINNEKA TUNGGAL IKA AS AN IDENTITY AND UNIFIER OF THE NATION: REALIZING A PEACEFUL ISLAM AND STATEHOOD HARMONIZATION. , 11, 55-76. https://doi.org/10.21043/addin.v11i1.1965.

Bordignon, F. (2020). Leader Polarisation: Conflict and Change in the Italian Political System. South European Society and Politics, 25, 285 - 315. https://doi.org/10.1080/13608746.2020.1821464.

Burgueño, R., & Medina-Casaubón, J. (2020). Sport Education and Sportsmanship Orientations: An Intervention in High School Students. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17. https://doi.org/10.3390/ijerph17030837.

Knight, F. (1959). Sources Of Responsibility In Democracy. American Behavioral Scientist, 2, 10 - 13. https://doi.org/10.1177/000276425900200405.

Maryono, M. (2023). IMPLEMENTASI NILAI KEHARMONISAN BHINNEKA TUNGGAL IKA: PEMBELAJARAN BAGI PEMILU DAN PILKADA SERENTAK 2024. KNOWLEDGE: Jurnal Inovasi Hasil Penelitian dan Pengembangan. https://doi.org/10.51878/knowledge.v3i2.2347.

Riyanto, S., Febrian, F., & Zanibar, Z. (2022). Bhinneka Tunggal Ika: Its Norming and Actualization in Democracy in Indonesia. SASI. https://doi.org/10.47268/sasi.v28i4.1058.

Sabl, A. (2008). Democratic Sportsmanship Contested Games and Political Ethics. Taiwan journal of democracy, 4, 85-112.

Situmorang, D. (2021). Indonesia finally returns to 'Bhinneka Tunggal Ika': no more hate but solidarity in COVID-19 crisis.. Journal of public health. https://doi.org/10.1093/pubmed/fdab309.

Thompson, A., Lachance, E., Parent, M., & Hoye, R. (2022). A systematic review of governance principles in sport. European Sport Management Quarterly, 23, 1863 - 1888. https://doi.org/10.1080/16184742.2022.2077795.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun