Satu pagi nan cerah. Ayam jantan berkokok bersaut-sautan. Burung kecil saling beradu indah merdu kicaunya. Embun pagi tampak masih bergelantungan bening membasahi dedaunan. Tampak seorang gadis desa di perbatasan sebuah negeri yang sangat indah keluar dari gubug kecilnya untuk mengambil air di tepian telaga. Gadis itu sehari-hari melakukannya dipagi hari dengan hati yang riang. Ia selalu bangun pagi, tak lupa selalu menyiapkan keperluan ibunya yang sudah lama terbaring sakit-sakitan di tempat tidur.Â
Gadis itu tinggal hanya bersama ibunya, ayahnya telah lama meninggal, saat itu ia masih sangat kecil, ia belum tau tentang banyak hal, jangankan memahami kehidupan untuk merasakan sedih meninggalnya ayahnya waktu itu pun belum paham. Garis hidup memisahkan kasih sayang ayahnya disaat usianya terlampau sangat muda.Â
Malang nian nasib gadis tersebut. Banyak keterbatasan yang dilaluinya tanpa hadirnya seorang ayah, maupun kakek yang melindunginya, membimbing dan menyayanginya. Hingga waktu berputar, Ia tumbuh dewasa ditengah kehidupan yang memprihatinkan. Sang Ibu satu-satunya orang menjadi tempat berkeluh kesah, beberapa hari yang lalu kesehatannya semakin memburuk, obat-obat tradisional yang sehari-hari diracik dari tanaman sendiri kini tak lagi mampu menggerus rasa sakit yang diderita ibu yang ia sangat sayangi. Ia bahkan tau walaupun ibunya tak pernah mengeluh kesakitan, ia tau sakit ibunya kian hari kian parah.Â
Hari-hari dilalui gadis itu dengan merawat ibunya, ia melayani dengan curahan rasa sayang sebagaimana dulu ibu menyayanginya. Sakit ibunya sebenarnya sudah sedari dulu, sedari ibu melahirkannya, sebenarnya tabib telah memvonis bahwa ibu tak bisa lama merawatnya, usia ibu diprediksi seorang tabib didesanya tinggal sebentar lagi, namun ibu berjuang dan melawan rasa sakit itu hingga kini, ia tak menghiraukan saki yang dideritanya, tak menghiraukan vonis tabib, yang ia ingin hanya bisa bersama putrinya sedikit lebih lama. Ibunya tak pernah membicarakan tentang itu, ibu tak pernah memintanya mengantarkan berobat, ibunya takut putrinya mengetahui sakit yang dideritanya, hingga ibunya merahasiakan belasan tahun lamanya.
Satu hari, gadis itu menemukan ibunya tak sadarkan diri diatas tempat tidurnya. Ia sangat kaget, ia tak tau apa yang mesti ia lakukan. Ia berlari kesana dan kemari mencari ramuan yang ia biasa gunakan menolong ketika ibu merasakan sakit, namun tampaknya ramuan itu sama sekali tak membuat ibunya lekas sadarkan diri, hingga ia memutuskan berlari kerumah tetangga yang letaknya tak jauh dari rumahnya, setelah beberap saat namun tak ada hal yang bisa dilakukan tetangganya itu, tetangganya tak ubahnya juga hanya seorang wanita tua yang tinggal sendiri di rumah kecilnya. Gadis itu sangat bingung dan juga sedih, hingga akhirnya wanita tua tersebut bersedia menjagakan ibunya untuk sementara apabila gadis itu mau pergi kekota negeri sebelah untuk mendapatkan seorang tabib ataupun ramuan yang sangat manjur.
Berat bagi gadis itu untuk meninggalkan ibunya, namun harus bagaimana lagi, ia harus pergi ke kota demi kesembuhan ibunya. Akhirnya ia bergegas kekota, ia bahkan saking terburu-burunya ia lupa membawa barang satu atau dua hal sebagai bekal perjalanan ke kota yang menghabiskan satu hari perjalanan kuda. Ia berlari dan terus berlari, hingga akhirnya ia sampai di pusat keramaian kota, gadis itu terengah-engah, bahkan ia mampu menempuh perjalanan lebih cepat dari rombongan para saudagar yang hendak berdagang menuju kota pula.Â
Sesampai disana, gadis itu terlihat bingung, memang terhitung baru sekali ini ia ke kota sendirian, dulu waktu kecil ia pernah diajak ibu kekota namun itu sudah lama sekali, kini kota sudah banyak yang berubah, bahkan untuk menemukan seorang tabib atau pedagang yang menjual ramuan pun sangat sulit. Ia berjalan kesana-kemari berusaha secepat mungkin untuk menemukannya dan sesegera mungkin pulang, sepenuh tenaga ia lakukan.
Sudut keramaian terlihat beberapa laki-laki muda yang sedang bersantai, mereka duduk-duduk sembari melihat lalu lalang ramainya suasana pasar kali itu, sebenarnya tidak hanya itu mereka terbilang agak berani untuk menggoda setiap yang lewat, termasuk sigadis yang sedang berjuang mencari obat ramuan untuk ibunya. Para pemuda tak tau yang sedang dialkukan gadis itu, iseng mereka bermaksud menggoda gadis itu dengan menyangkutkan kain yang dikenakan gadis itu di satu paku yang kebetulan berada diujung kursi, saat itu sigadis sedang duduk dan ketika berdiri sebagian baju gadis tersebut robek, para pemuda tertawa terbahak-bahak melihat hal itu.Â
Gadis itu menangis. saat itu ia sudah berada di depan kios ramuan sembari berkonsultasi dan menanyakan obat ramuan apa yang paling tepat untuk ibunya namun malah dikerjai pemuda iseng yang kurang kerjaan. Kebetulan ada kerabat jauh yang sedang melintas, ia mengingatkan pemuda yang mengerjai gadis itu, namun yang terjadi segrombolan anak muda tersebut malah memukuli sang kerabat dan tragis sang krabat menghembuskan nafas terakhir ditempat itu, gerombolan anak muda masih berkerumun disana, melihat apa yang terjadi pada kerabatnya tangis sang gadis makin menjadi-jadi. I menuntut para pemuda bertanggung jawab dengan apa yang dilakukan, namun jangankan mau bertanggung jawab untuk sekedar meminta maaf pada sang gadis pun tak ada satupun diantara mereka yang mau melakukannya.
 Ditengah tangisan gadis itu tiba-tiba ia menyebut nyebut nama raja negeri itu, ia tak tau lagi apa yang harus ia lakukan. Mendengar jeritan gadis itu para pemuda itu malah tertawa, mereka tak percaya raja negeri itu akan menolongnya, mengingat daerah itu jauh berada diujung barat negeri, bahkan termasuk perbatasan terjauh, sedangkan pusat kerajaan ada di bagian timur. Gerombolan pemuda itu malah menimpali, mana mungkin rajamu itu mau kesini!mana mungkin raja mau repot-repot kesini dengan kuda kecilnya itu, haahaa.Â
Tangis perempuan kian lebih keras, hingga seisi pasar menjadi tau apa yang sedang terjadi. Seorang petani kecil dekat istana mendengar dan melihat kejadian i, ia ke pasar jauh-jauh untuk menjual hasil panenya,setelah terjual ia bergegas pulang dan menyampaikan kejadian dipasar pada istri dan anak-anaknya, ternyata istrinya merupakan salah satu salah satu pegawai perawat taman di istana, ia menceritakan itu pada sang mandor pekerja taman istana, sang mandor dekat dengan pangeran dan ia menyampaikan perihal yang terjadi pada gadis malang tersebut.Â
Mendengar kabar itu, telinga raja memerah, separuh lebih pasukannya disiapkan untuk menuju perbatasan, sang raja sangat sedih ada satu ketidakadilan terhadap seorang rakyatnya yang ia naungi, selama ini ia kira memerintah dengan damai, kesemua patih dan gubernur yang ia dengar semua laporannya tentang berita baik, aman dan damai ternyata ada satu ha yang mengiris-iris nurani raja.
 Ia tak sudi satu pun gadis tersakiti, tak sudi satu jiwa rakyat terbunuh sia-sia. Raja bersama rombongan besar prajuritnya kini telah tiba diperbatasan, ia menyurati penguasa dimana gadis itu disakiti, raja hanya ingin meminta beberapa pemuda yang menyakiti gadis dan membunuh seorang kerabatnya untuk diadili. Penguasa yang menerima surat dari sang raja bergetar, ia belum pernah melihat lautan prajurit yang mengepung daerahnya.Â
Penguasa tersebut akhirnya tunduk terhadap raja, ia menyerahkan beberapa pemuda yang telah berbuat salah, dihadapan raja yang menunggang kuda kecil itu, gadis tersebut sangat berterima kasih, ia sendiri tak menyangka raja akan jauh-jauh datang kesini untuk membelanya, bahkan dengan kekuatan penuh kerajaan tersebut. Setelah hari itu negeri tersebut hidup damai, sang raja yang bijak mendengarkan dan selalu memikirkan nasib rakyatnya, sekalipun ia hanya seorang rakyat kecil yang tinggal jauh diperbatasan negeri. -selesai-
Satu pagi yang cerah,
Sahabat Kompasianermu, Dwi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H