Mohon tunggu...
Dwi Malistyo
Dwi Malistyo Mohon Tunggu... Programmer - Trader, Expert Advisor coder, Blogger. Mantan Pramuka. Mantan Pecinta Alam.

Kunci utama untuk mengurangi kesalahan di masa datang, adalah dengan mempelajari sejarah di masa lalu!

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Ternyata Kartu GPN Itu Sama dengan Carte Bleue di Perancis, Bangga Dong Kita

22 Oktober 2021   14:00 Diperbarui: 22 Oktober 2021   15:36 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kartu Kredit/Debit Perancis Carte Bleue. Sumber : bibmath.net

Cerita ini ada di sekitar tahun 1995-1997. Saat itu aku adalah staff junior di sebuah perusahaan vendor perbankan yang menjual produk Perancis. Ketika itu Indonesia belum mengalami krisis ekonomi. 

Dan ada issue bahwa beberapa bank swasta terbesar akan membeli peralatan EDC, ini perangkat untuk menggesek kartu kredit, dengan jumlah besar. Belasan ribu buah.

Bossku dengan semangat mengirim pesan, "Dwi, minggu depan kamu berangkat ke Paris. Perusahaan di Perancis mengundang manager-manager IT dari beberapa bank di Indonesia. Kamu dampingi mereka disana, supaya mereka tahu ada kita di Indonesia yang jadi distributor produk Perancis ini". Mantap, pikirku. Lumayan bisa jalan-jalan sambil kerja.

Singkat cerita, sampailah di Perancis. Tepatnya di desa Plaisir, pinggiran kota Paris. Aku bertemu dengan manager-manager IT dari beberapa bank besar di Indonesia.

Plaisir. Sumber: fr.wikipedia.org
Plaisir. Sumber: fr.wikipedia.org

Ternyata para manager ini sudah akrab satu sama lain. Hal yang tidak aku ketahui adalah mereka berangkat bersama-sama dari Indonesia, dan sempat diajak jalan-jalan makan oleh perusahaan produsen Perancis. Sementara aku baru datang, sendirian, dan langsung masuk ke acara seminar di kantor ini.

Di dalam sebuah seminar yang santai, seorang staff IT Perancis menjelaskan produk-produk ungulan perusahaannya. Dengan bangga dia ceritakan bahwa yang namanya kartu chip, sudah dipakai di seluruh Perancis sejak tahun 1969. Padahal di seluruh dunia saat itu baru mulai memakai kartu kredit dengan pita magnetik (magnetic stripe). 

Perancis sangat kuat di teknologi chip. Memang benar, di Indonesia (saat itu) semua nasabah perbankan memakai kartu magnetik. Sementara di Perancis saat itu sudah pakai kartu chip.

Karena ini seminar santai, pembicaraan melebar kemana-mana. Si pembicara bertanya dalam bahasa Inggris, "Bapak-bapak, tadi kesini kan naik Metro bawah tanah ? Tahu nggak kapan itu dibuat ?". 

Para peserta celingak-celinguk kebingungan. Pembicara melanjutkan, "Itu dibangun tahun 1850-an, dan mulai jalan tahun 1900". Seorang manager dari Indonesia nyeletuk, "Astaga, tahun 1850-an di Indonesia sih masih jaman kerajaan. Mereka sudah ngebor MRT bawah tanah".

Pembicara bertanya lagi, "Apakah setiap bank di Indonesia terkoneksi langsung dengan jaringan Visa dan Mastercard ?". Seorang peserta dari bank pemerintah menjawab, "Iya. Bukankah harus begitu ? Kita masing-masing harus terkoneksi ke Visa dan Mastercard ?".

Pembicara menjelaskan, "Tidak. Tidak harus begitu. Bank-bank Perancis tidak langsung terkoneksi ke Visa dan Mastercard. Kami di negara ini saling terkoneksi antar bank satu sama lain melalui Carte Bleue. 

Kami tidak langsung nyambung ke Visa atau Mastercard. Semua transaksi dalam negeri diproses di Carte Bleue, barulah kalau ada transaksi memakai kartu dari negara lain maka dilewatkan ke Visa Mastercard 'di atas' jaringan Carte Bleue. Jadi cuma ada satu koneksi ke negara ini dari Visa dan Mastercard".

Sumber: capital.fr
Sumber: capital.fr
Tampaknya ini informasi menarik. Para manager tekun mendengarkan penjelasan ini. Aku yang masih staff junior, hanya menikmati kopi di pojokan sambil ngemil kue Perancis yang entah apa namanya.

Pembicara melanjutkan, "Kalau di Indonesia yang terjadi adalah begini : misalnya ada nasabah dari bank A, belanja di Carrefour. Si kasir menggesek di mesin EDC milik bank B. Informasi kartu ini akan dilempar oleh bank B ke jaringan Visa atau Mastercard, info transaksi ini jelas akan dikirim ke server mereka di luar negeri, dicatat, lalu dikirim balik ke Indonesia ke bank A untuk mendapatkan kode approval. Kode ini dikembalikan lagi di server luarnegeri, dan masuk ke Indonesia untuk jadi struk di printer EDC bank B di Carrefour tadi".

Para manager masih mendengarkan dengan seksama. Pembicara melanjutkan, "Kalau di Perancis tidak boleh begitu. Transaksi dari  mesin EDC bank B tadi dikirimkan ke Carte Bleue, lalu ke bank A untuk mendapatkan kode approval. Balik ke bank B, dan keluarlah struk printer di EDC Carrefour. Tidak ada catatan transaksi yang lewat luarnegeri dulu".

Para manager mulai bergumam, "Hmm, iya. Setiap transaksi di Indonesia pasti akan lewat Singapura. Karena kan servernya disana. Berarti sebetulnya ada fee yang dinikmati negara lain ya, dan juga transaksi kita dicatat di negara lain". Aku yang mendengarkan di pojokan mulai mengerti apa sebenarnya yang dibicarakan.

Jadi ternyata, selama ini kita sangat bergantung pada jaringan luarnegeri. Setiap transaksi, baik kredit atau debit, membutuhkan koneksi dengan luarnegeri. Padahal itu adalah transaksi antar bank kita sendiri di Indonesia. 

Mulai terbayang bahwa mereka ini mendapatkan fee dari transaksi yang lewat. Setiap transaksi antar bank di mesin EDC, mereka dapat fee. Dan catatan transaksi belanja kita, dicatat di luarnegeri juga.

Seorang manager bank swasta bertanya kepada temannya dari bank pemerintah, "Bro, kalau kita punya koneksi di antara bank kita, seharusnya nggak perlu kita lempar keluar. Kalau gue cek transaksi ini ON-US, maka gue proses di server gue. Tapi kalau OFF-US, maka gue lempar ke server elu pakai message ISO8583. Bisa kan ?". 

Temannya dari bank pemerintah membalas, "Bisa banget, ini simple kok. Kalau bos-bos kita paham, seharusnya kita bisa bikin jaringan internal dalam negeri. Kita bikin semacam Carte Bleue di Indonesia, jadi nggak perlu muter di Singapura. Lebih aman lagi, dan murah".

Diskusi ini semakin bertambah ramai. Kita sadar bahwa masalah ini bukan salahnya Visa dan bukan juga salah Mastercard. 

Mereka berdua tidak salah. Ini karena kita di Indonesia memang belum tahu soal jaringan dalam negeri, dan kenapa kita harus pakai jaringan milik kita sendiri. Kita tidak tahu bahayanya info kartu kredit dan kartu debit kita diproses sampai luarnegeri. 

Juga kita baru paham saat itu berapa milyar uang kita yang dipakai untuk membiayai jasa routing ini, yang seharusnya bisa dibuat sendiri. Kita bisa menghemat banyak devisa kalau kita punya jaringan sendiri.

Selama jam-jam berikutnya, para manager menghujani pembicara mengenai Carte Bleue. Mereka belajar soal kenapa Perancis membangun Carte Bleue, kenapa tidak langsung saja terkoneksi ke Visa dan Mastercard. 

Pembicara menjelaskan panjang lebar dari sisi keamanan, sisi finansial, sampai sisi patriotisme bela negara. Panjang juga nih ceramahnya hehehe. Intinya mereka tidak ingin transaksi-transaksi internal di negaranya bisa diintip oleh negara lain. 

Kalau buat transaksi warganya yang di luarnegeri, boleh lah diintip. Tapi kalau buat transaksi dalam negeri, ya sebaiknya ditutupi.

Di akhir ceramah, seorang manager bertanya, "Itu kok di kartu bank Perancis ada dua logo. Ada logo Visa/Mastercard, dan satu lagi logo CB (Carte Bleue). Kalau misalnya kita bikin jaringan Garuda, ini misalnya lho, bisa nggak ada 2 logo. Logo Visa/Mastercard dan satu lagi logo Garuda ?". 

Pembicara menjawab, "Kayaknya enggak boleh deh. Nanti pasti disuruh bikin satu lagi kartu, khusus kartu Garuda. Nggak boleh ada dua-duanya, kartu logo Garuda dan Visa/Mastercard".

"Lha, kok di Perancis boleh ada 2 logo ?", si manager bertanya agak ngotot. Pembicara menjawab kalem, "Soalnya kan sejarahnya Carte Bleue ada duluan. Jadi sebelum mereka masuk, kita sudah punya jaringan dalam negeri sendiri. Kalau mereka mau masuk Perancis, ya harus mau pakai 2 logo. Kalau nggak mau pakai 2 logo, nggak usah masuk Perancis". Semua manager tertawa, "Enak banget ya kalau jadi negara kuat".

Seorang manager senior dari bank swasta berkata sebagai penutup. "Kami mendapat banyak info dari pertemuan ini. Kami akan sampaikan ke manajemen kami mengenai produk-produk ini. 

Sekaligus kami jelaskan ke atasan pentingnya memiliki jaringan internal dalam negeri. Kami dengar pemerintah kami sudah punya blue print di tahun ini mengenai gateway dalam negeri, kami akan dorong agar inisiatif itu didukung. 

Kami ingin punya Carte Bleue ala Indonesia sendiri, ini bisa membuat penghematan dan juga menambah sisi sekuriti transaksi di Indonesia".

Hm, ternyata seminar ini bermanfaat juga bagi diriku. Tadinya aku pikir ke Perancis ini cuma untuk menemani para manager yang meninjau pabrik. Ternyata banyak ilmu juga yang aku dapat.

ATM di Perancis dengan logo CB Carte Bleue . Sumber: pouruneautreeconomie.fr
ATM di Perancis dengan logo CB Carte Bleue . Sumber: pouruneautreeconomie.fr

Tahun 2017, Pemerintah Indonesia meresmikan GPN. Dan beberapa bank mulai meluncurkan kartu-kartu berlogo garuda. Aku sudah memimpikan kartu ini sejak tahun 1995 dulu itu. 

Dari diskusi para manager bank dulu itu, seharusnya kita bangga dengan jaringan internal ini. Ini adalah Carte Bleue milik kita sendiri. Transaksi kita tidak perlu diputar ke luarnegeri, cukup diproses lewat jaringan GPN. 

Saya melihat GPN ini sama seperti Carte Bleue yang dibanggakan warga Perancis. Mereka bangga dengan CarteBleue, kita bangga juga dengan GPN Garuda. Bedanya adalah warga Perancis bisa membawa kartu Carte Bleue mereka ke luarnegeri, sementara kartu GPN kita hanya bisa transaksi di dalam negeri. Gampang, kalau harus keluar negeri maka kita tinggal minta kartu tambahan di bank.

Semoga teman-teman yang tadinya tidak bangga dengan GPN, bisa berubah pikiran sejak sekarang. GPN adalah impian kita sejak lama untuk mandiri di routing transaksi dalam negeri. 

Transaksi kita harus diproses di dalam negeri sendiri. Lebih aman. Lebih hemat. Seperti warga Perancis bangga dengan kartu CB Carte Bleue mereka, kita juga bangga dengan kartu GPN Garuda kita.

Salam hangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun