2021, tahun yang cukup unik, mungkin juga tak terlupakan bagi semua orang. Wabah Covid-19 sudah menjadi pandemi. Semua aktivitas yang terhambat satu tahun belakangan mulai kembali tertata. Walaupun banyak yang dipaksa berhenti, memutar arah, atau berjalan secara daring. Salah satunya adalah datangnya bulan penuh berkah bagi umat muslim, bulan Ramadhan. Ramadhan kali kedua yang harus dijalani dengan situasi Covid-19 yang entah kapan akan berakhir.
Lantas bagaimana aku menjalani Ramadhan kali ini?Â
Ya, ini adalah Ramadhan untuk kesekian kalinya aku di tanah rantau. Bedanya, di situasi saat ini adalah aku berstatus sebagai mahasiswa semester akhir. Aku sedang menyelesaikan tugas akhir disini, bersama teman-teman satu kos yang berstatus tidak berbeda denganku. Walau begitu kita menjalani Ramadhan dengan cukup meriah. Saat sahur, kita saling membangunkan dengan cara mengetuk pintu kamar, diselingi juga suara alarm dari ponsel yang saling bersahutan
 Selama menjadi anak rantau, aku belum pernah keluar kos saat sahur. Dan Ramadhan kali ini aku akan mencobanya. Kukira suasana sahur akan ramai seperti saat menjelang berbuka puasa, ternyata memang ramai, namun hanya didominasi oleh kaum adam saja di sepanjang trotoar jalan yang ditempati pedagang kaki lima yang masih buka. Nyaliku dan Rana pun menciut, kemudian memilih untuk membungkus makanan yang kita mau untuk dimakan di kos saja. Padahal, kita ingin sekali mencoba makan disana dengan suasana sahur. Namun kita mengurungkan niat itu.
Saat sore hari, aku dan teman-teman di kos memasak menu untuk berbuka puasa, tidak jarang kita saling berebut kompor sebab di dapur kos hanya tersedia satu kompor dengan dua tungku api. Kemudian kita berbuka bersama di spot favorit kita, sebut saja kamar Rana. Atau jika sedang malas, kita berbuka puasa di kamar masing-masing. Untuk kali pertama, aku dan teman-teman kos menjalankan misi bagi-bagi takjil untuk orang-orang di jalanan
 Kita menargetkan pada tukang becak dan tukang parkir dengan cara membagikan satu persatu agar tidak memicu kerumunan, karena salah satu kebiasaan mayoritas orang adalah suka berebut. Jadi, sebisa mungkin kita menghindari hal itu. Ada rasa hangat ketika kita bisa melihat senyuman orang yang menerima pemberian kita. Terkadang mereka juga mengucapkan doa-doa tulus untuk kita. Kita menyelesaikan misi tepat sesaat sebelum adzan maghrib berkumandang. Kita pun kembali ke kos untuk berbuka puasa bersama.
Bagaimana dengan sholat Tarawihnya?
Tahun kedua Ramadhan di tengah pandemi Covid-19, kita sudah diberi kelonggaran untuk bisa melaksanakan sholat Tarawih berjamaah di masjid dengan syarat tetap menjaga jarak dan bermasker. Kebetulan, ada masjid yang cukup dekat dengan kompleks kosku, sehingga aku bisa menjangkaunya hanya dengan berjalan kaki. Jika rajin, ya, berangkat di awal waktu dengan berjalan kaki sambil bercanda ria, namun jika terlambat, ya, kita lari-lari sambil mengibarkan mukenah yang kita pakai.
Sesampainya di masjid pun dilanjutkan dengan menaiki tangga sambil ngos-ngosan. Saat itu, imam shalat Tarawih adalah Bupati yang baru saja menjabat. Aku sempat melihatnya, beliau tampak rapi dan mengenakan sarung bercorak batik, yang kutahu itu adalah salah satu produk sarung Al-Hazmi, sarung Khas Kudus, Jawa Tengah. Beliau begitu ramah menyapa setiap jamaah yang ada dalam sapuan pandangannya.
Setelah sholat Tarawih pun beliau dengan sabar menerima buku dari anak-anak yang meminta tandatangan. Ramadhan memang tidak akan lengkap jika tidak disertai tugas mengisi tandatangan imam sholat Tarawih di buku berjudul "Pondok Ramadhan." Sepulang dari sholat Tarawih, aku dan teman-temanku melanjutkan dengan tadarus di kamar kos masing-masing. Terkadang, kita juga belanja ke pasar untuk keperluan memasak untuk sahur ataupun berbuka puasa esok hari.