Mohon tunggu...
Dwi Kurniawati
Dwi Kurniawati Mohon Tunggu... Guru - Saya adalah seorang tenaga pendidik disalah satu sekolah

Saya sangat menyukai petualangan dan sangat mengagumi keindahan alam

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengelola Tren Self Diagnose pada Remaja dengan Media Self Bubble

14 Maret 2023   15:16 Diperbarui: 14 Maret 2023   22:31 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi self-diagnose yang justru membahayakan kesehatan mental | Sumber: shutterstock

Kondisi pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir 2 tahun telah memunculkan beragam dampak positif dan negatif di segala aspek kehidupan, sehingga dampaknya sangat dirasakan sampai sekarang. 

Kondisi tersebut telah memaksa siswa-siswi kita belajar secara mandiri menggunakan teknologi digital, di mana dengan kecanggihan teknologi tersebut sangatlah mudah bagi siswa/siswi untuk mengakses segala informasi kapan saja dan di mana saja.

Keterbatasan bersosialisasi dan minimnya ruang interaksi selama masa pandemi juga menyebabkan munculnya beragam permasalahan psikis bagi remaja, mereka seperti dibatasi oleh ruang dan kesempatan untuk berkomunikasi secara langsung di mana semua interaksi dan komunikasi banyak dilakukan secara online. 

Efeknya siswa merasa tertekan, stres, cemas, merasa memiliki masalah pada kesehatan mentalnya dan ternyata masih dirasakan oleh mereka sampai saat ini.

Bu, ada waktu sebentar? Saya ingin ngobrol tentang diri saya. Saya kayaknya lagi mental illness deh bu, depresi deh rasanya kalo inget-inget hal itu. Saya itu kayaknya ada gejala social anxiety disorder deh bu. Saya juga ADHD loh bu, saya kayaknya OCD bu itu gejalanya kayaknya mirip banget sama diri saya. Bu kalau kepikiran self harm itu dosa apa ngga ya bu?

Itulah beberapa curhatan beberapa remaja, ada yang menyampaikannya secara langsung dan ada juga yang dengan semangat menuliskannya lewat pesan melalui HP. Sedih, miris, kaget dan mengerikan rasanya mendengarkan ungkapan yang mereka sampaikan. 

Benarkah seberat itu permasalahan yang mereka hadapi? 

Sungguh saya merasa terkaget-kaget, dengan usia yang masih terbilang remaja belasan tahun, kosa kata mereka tentang kesehatan mental dan istilah-istilah dunia psikologi sangat luar biasa.

Lalu apakah memang benar permasalahan yang mereka hadapi seberat itu? Ataukah mereka memang ada ketertarikan pada bidang kesehatan jiwa/dunia psikologi? Atau memang mereka sedang mengalami permasalahan serius sehingga memaksa mereka mencari tahu dan meyakini bahwa mengidap masalah kesehatan mental yang mereka diagnosa sendiri.

Saya melihat fenomena ini sebagai self diagnose, yang akhir-akhir ini menjadi sangat trend di kalangan remaja, dan banyak dari mereka sudah tidak malu lagi memamerkan permasalahan mentalnya di media sosial dengan berbagai tujuan ada yang ingin menarik simpati untuk menaikkan popularitas atau sekedar untuk mencari perhatian banyak orang.

Self diagnose sendiri merupakan kegiatan mendiagnosis diri sendiri yang bisa dilakukan melalui pencarian informasi dari internet, informasi dari teman dekat, teman online yang memiliki kesamaan ketertarikan tentang kesehatan mental dan dari beragam artikel tentang isu kesehatan mental yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. 

Remaja yang melakukan kegiatan self diagnose umumnya membenarkan gejala-gejala yang mereka alami adalah benar gangguan mental tanpa perlu adanya pemeriksaan dari ahli seperti psikolog atau psikiater. Mereka sangat meyakini bahwa mereka memiliki gangguan mental A, B, C, D sampai Z  dan tidak ada pembuktiannya, padahal para ahli pun tidak semudah dan secepat itu dalam mendiagnosis seseorang.

Membiarkan tren self diagnose dikalangan remaja akan menyebabkan munculnya kekhawatiran yang berlebihan, sehingga memunculkan rasa cemas berlebih yang berkali-kali lipat. 

Remaja cenderung hanya fokus pada gangguan yang ia rasakan padahal belum tentu ia derita, sehinga dengan keyakinannya semakin hari ia akan semakin terpuruk dan akhirnya mencoba mencari treatment sendiri yang tidak tepat seperti minum obat tidur berlebihan, self harm hingga yang paling mengerikan jika sudah pada fase menemukan penyelesaian masalah yaitu dengan keinginan bunuh diri.

Meskipun self diagnose sebaiknya dihindari, namun fenomena ini sebenarnya memiliki sisi positif juga bagi remaja di mana mereka menjadi lebih mengenali dirinya dan semakin menyadari ada yang salah pada kesehatan mentalnya, namun demikian remaja tetap harus mengutamakan bahwa kegiatan self diagnose harus dilakukan dengan bijak yang mana harus komunikasi dengan orang tua, guru dan orang dewasa disekeliling lebih dapat membantu mengarahkan permasalahan yang dihadapi.

Sebagai guru BK, saya merasa sangat prihatin terhadap kondisi ini, namun saya tetap harus bijak dalam menyikapi semua permasalahan ini.

Saya harus mampu menjadi pendengar yang baik dari segala keluh kesah mereka, berempati terhadap apa yang mereka rasakan, memposisikan diri saya sebagai bagian dalam masalah yang mereka hadapi, dengan tidak menyalahkan mereka dan yang pastinya harus tetap terus mendukung, memberikan support dan memotivasi bahwa mereka tidak sendiri, sehingga mereka merasa sangat berharga dan mampu keluar dari permasalah tersebut.

Beberapa teknik yang saya pakai agar siswa dapat menggungkapkan apa yang dirasakan dengan lebih detail adalah dengan pendekatan konseling individual di mana di dalamnya saya menggunakan media self bubble. 

Media self bubble merupakan media berupa kertas  yang berisi beberapa gambar lingkaran seperti gelembung-gelembung dengan beragam ukuran.

Harapannya dengan menggunakan media self bubble ini, remaja lebih dapat mengenali dirinya dan mampu mengelompokkan permasalahan apa saja yang dirasakan pada dirinya secara lebih rinci dan lebih detail.

Pada media self bubble ini terbagi menjadi dua yaitu negative bubble (permasalahan/kelemahan diri) dan positive bubble (kekuatan diri), bubble ini terdiri dari beragam ukuran dari yang paling besar, besar, sedang, kecil dan sangat kecil dan inilah yang menggambarkan berat, sedang dan ringannya masing-masing masalah yang dirasakan pada dirinya. 

Setelah siswa mengenali kondisi positif dan negatif pada dirinya, kemudian dilanjutkan pada tahapan mengarahkan siswa untuk mampu mengasah kekuatan diri dan mampu menemukan  solusi dari permasalah tersebut. Lalu selanjutnya siswa harus mampu berkomitmen untuk menjalani hidup dengan kesehatan mental yang lebih baik untuk mewujudkan kondisi well being pada dirinya. 

Selain itu, saya juga menekankan kepada siswa agar menghindari mencari tahu informasi tentang permasalahan penyakit kesehatan mental secara online karena tidak semua informasi yang tersaji adalah benar, dan juga kredibilitas tes mental melalui media online masih diragukan, sebaiknya langsung berkonsultasi ke tenaga professional (psikiater/psikolog) dan jangan pernah menjadikan penderita gangguan mental lainnya sebagai rujukan untuk mencari informasi untuk melakukan treatment.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun